Miang tidak sengaja menemukan membuka kotak terlarang milik leluhurnya yang diusir oleh keluarga seratus tahun lalu. Kotak itu berisi badik keemasan yang bila disentuh oleh Miang bisa berkomunikasi dengan roh spirit yang terpenjara dalam badik itu.
Roh spirit ini membantu Miang dalam mengembangkan dirinya sebagai pendekar spiritual.
Untuk membalas budi, Miang ingin membantu Roh spirit itu mengembalikan ingatannya.
Siapa sebenarnya roh spirit itu? Bisakah Miang membantunya mengingat dirinya?Apakah keputusan Miang tidak mengundang bencana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mia Lamakkara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Empat Keluarga Terkemuka
"Apa yang kamu lakukan? Bukankah selalu kukatakan kalau kamu harus adil melayani pembeli? Jangan memihak." Manajer toko mengomeli pelayan yang melayani I Miang tadi.
"Maaf, manajer. Saya cuma tidak ingin membuat masalah dengan salah satu keluarga terkemuka."Kata pelayan.
"Apa yang kamu takutkan? selama kita melayani dengan benar, dia tidak punya alasan membuat masalah. Kota ini juga bukan tanpa hukum."
"Cara pelayanan kamu yang seperti tadi justru menyinggung pelanggan dan mendatangkan masalah pada toko."
"Saya akan mengingatnya. Saya tidak akan berbuat salah lagi."
"Tidak ada lain kali!."
"Baik, tuan. Tidak ada lain kali." Pelayan berjanji sungguh-sungguh.
"Selama kamu tidak membuat kesalahan dalam pelayanan, jangan takut pada pelanggan nakal. Pemilik toko ini juga bukan orang yang bisa disinggung sembarangan orang."
Ketika si pelayan mendapat teguran, I Miang dan lainnya telah tiba di kedai.
"Aku akan memesan cemilan agak berat."
Kata I Miang begitu melihat Hining memberi isyarat pada pelayan kedai.
"Kamu itu seorang gadis, harus hati-hati menjaga badan. Perhatikan makananmu jangan sampai berlebihan dan membuatmu gemuk."I Rabia serius menasehati I Miang layaknya penatua.
"Justru kita ini masih muda jadi butuh banyak makanan sebagai sumber energi melakukan banyak hal." I Miang membantah.
"Kamu ini, ya. Bertingkah sesuka hatimu. Tidak mendengar kata tetua."
"Tetua?! Apa kamu menempatkan dirinu sebagai tetua di depanku? Kamu masih juniorku berdasarkan umur."I Miang menatap I Rabia dan mengerutkan kening.
"Tapi kalau diperhatikan, kamu memang terlihat lebih tua dariku."
"Miangg!!." I Rabia berteriak marah dan mengundang perhatian pengunjung lain.
"Ehhh...sudah. Jangan teriak, semua orang melihat kesini.Tenang." Hining bergerak cepat menenangkan I Rabia.
"Lihat, pelayan sudah datang. Kalian pesan makanan atau minuman dulu."
Hining menghela napas lega melihat I Rabia kembali duduk dan mulai melihat jenis makanan yang dijual di kedai. Di seberang, I Miang tersenyum tanpa rasa bersalah.
Hining merasa, menemani dua nona muda ini rasanya jadi pengasuh sekaligus juru damai. Dia harus siap-siaga melerai mereka di setiap kesempatan.
I Rabia memesan beberapa kue kering dan teh sedang I Miang memesan katirisala, kue dari beras ketan hitam yang dilapisi puding gula merah diatasnya dan segelas kopi. Hining sendiri memilih kue sikaporo, sejenis puding. Ini sangat pas dinikmati di hari panas seperti sekarang.
"Ngomong-ngomong, kalian tahu tentang empat keluarga terkemuka?." I Miang memulai percakapan.
"Bukankah itu keluarga yang dianggap diatas rata-rata dari keluarga lain di kota. Ada apa? Tumben kamu bertanya hal begini?." Kata I Rabia.
"Tadi aku sedikit bersitegang dengan salah satu nona muda dari empat keluarga terkemuka."
"Siapa itu?." Raut wajah I Rabia menjadi serius. Meskipun dia dan I Miang sering bersiteru dalam berbagai hal, dia tetap tidak suka mendengar orang lain mengganggu sepupunya itu. Dia tahu betul karakter I Miang bukan orang usil dan tidak masuk akal. Dia tidak akan memulai pertengkaran kecuali dia diganggu.
"Ini puang Dika dari keluarga Palangkai."
Kali ini Hining yang menjawab. Dia menceritakan kejadian di toko perhiasan barusan
"Si Dika ini memang agak arogan seolah keluarganya tidak terkalahkan." I Rabia mencibir.
"Aku kasi tahu, ya." Dia beralih ke I Miang.
"Kamu tidak perlu murah hati pada ke emoat Keluarga terkemuka karena kita ini adalah keluarga bangsawan terhormat di kota ini yang kedudukannya lebih tinggi bahkan keluarga walikota harus segan pada kita. Keluarga terhormat hanya ada, dua, keluarga La paturusi dan keluarga La Wero. Keluarga bangsawan terhormat selain kerabat dekat kerajaan, keluarga ini juga memiliki prestasi bagi kerajaan."
I Rabia menjelaskan dengan penuh semangat.
"Keluarga terkemuka itu empat keluarga yang memiliki kelebihan diatas rata-rata dari keluarga lain di kota ini. Keluarga terkemuka itu adalah keluarga La Bolong, keluarga puang Milu, keluarga puang Patau dan terakhir keluarga puang Palangkai."
"Keluarga La Bolong hampir semuanya pejabat, meskipun kebanyakan kelas rendah. Namun salah satu keluarga intinya bekerja sebagai pejabat resmi di kerajaan."
"Keluarga puang Milu adalah keluarga sastrawan dan pelajar. Rata-rata mereka guru di universitas dan sekolah."
"Keluarga puang Patau, keluarga pebisnis. Mereka bekerja sama dengan serikat dagang kerajaan."
"Keluarga puang Palangkai juga keluarga pebisnis. Paman kedua si Dika itu memiliki serikat dagang kecil tapi cukup di segani di beberapa kota. Mereka adalah tingkat terendah dari empat keluarga terkemuka."
"Sebenarnya, kenaikan keluarga puang Palangkai menjadi keluarga terkemuka juga karena keluarga La Wero yang dulu peringkat pertama dalam keluarga terkemuka naik menjadi keluarga bangsawan kehormatan."
I Miang manggut-manggut. " Begitu rupanya."
"Puang Dika itu arogan dan picik, kalau dia tidak membalas dendam pada kita dia mungkin akan membuat masalah pada pelayan toko atau tokonya."
I Rabia mencibir " Dia memiliki keberanian."
"Bahkan kalau dia berani, dia akan menerima akibatnya." I Miang menambahkan kemudian menyesap kopinya dengan tenang.
Tentu saja, I Rabia dan I Miang tahu siapa pendukung toko perhiasan itu. Dia benar-benar orang yang tidak hemat minyak bila seseorang menyinggungnya.
Selesai menikmati makanan di kedai, mereka berjalan-jalan di taman kota. Taman kota dibuat diatas tanah seluas dua hektar. Ada empat taman bunga berbagai jenis, ada juga taman kolam ikan hias dan taman kebun buah. Setiap taman ada kursi dan Gasebo untuk duduk dan beristirahat.
"Puang Rabiah, kamu disini?." Seorang pemuda dalam seragam resmi penjaga kota menyapa ketika mereka berjalan-jalan di taman bunga.
"Saya bertemu puang Mawang." I Rabiah menyapa dan menarik kedua temannya ke depan.
"Ini sepupu I Miang nona muda ketiga keluarga La Wero dan ini Hining, nona muda keluarga La Wero."
Puang Mawang mengangguk pelan.
"Saya bertemu nona muda ke tiga dan nona muda keluarga La Wero. Saya tuan muda ke enam dari keluarga La Bolong, Puang Mawang. keluarga La Bolong dan Keluarga La Wero masih kerabat. Kita akan saling menjaga di masa depan."
"Saya bertemu tuan muda ke enam keluarga La Bolong." I Miang dan Hining bersamaan.
"Kalian bisa berjalan-jalan dan ingat untuk hati-hati. Kalau ada masalah, kamu bisa memanggilku di rumah penjaga. Kembali ke rumah sebelum sore." Pesan puang Mawang sebelum meninggalkan mereka.
Sebagai satu-satunya nona muda keluarganya, dia sering dibawa keluar menemui kerabat sehingga dia mengenal kerabat. Apalagi nenek I Rabiah dan nyonya tua di keluarga La Bolong berteman baik.
"Puang Mawang adalah komandan penjaga kota, adik sepupunya menjadi kepala penjaga taman." ungkap I Rabia terus menyusuri taman bunga.