“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Empat
Setelah menghabiskan dua batang rokok, Axel masuk kembali ke ruangan. Dia melihat Elena yang masih duduk. Belum tidur. Dia lalu mendekatinya dan duduk ditepi tempat tidur.
Axel meraih tangan Elena dan menggenggamnya. Dia mengusapnya.
"Kenapa belum tidur?" tanya Axel dengan nada lembut.
"Aku masih kepikiran tentang kamu. Apa kamu berkelahi dengan Aldi?" tanya Elena.
Axel tersenyum. Dia mengusap wajah Elena. Lalu mendekati dan mengecup dahinya.
"Jangan pikirkan itu. Sudah aku katakan jika ini urusan laki-laki." Axel lalu naik ke ranjang. Membawa kepala Elena ke dalam pelukannya. Dia lalu mengusap rambut wanita itu.
"Sejak aku dekat denganmu, aku hanya membawa masalah untukmu. Aku ...."
Axel menutup mulut Elena dengan jarinya agar tak melanjutkan ucapannya. Dia tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Aku bahagia sejak dekat denganmu. Masalah yang sedang terjadi itu bukan salahmu. Semua memang ada bukan karena kita dekat. Satu yang aku inginkan, berjanjilah kamu tak akan meninggalkan aku. Apa pun yang akan terjadi, kita hadapi bersama."
"Aku yang seharusnya meminta padamu, jangan tinggalkan aku," ucap Elena.
"Sekarang kamu harus istirahat. Aku akan temani," balas Axel
Elena lalu membaringkan tubuhnya. Axel masih tetap berada di samping wanita itu.
"Apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Axel sambil terus mengusap rambut Elena.
Axel masih mengusap rambut Elena dengan lembut. Cahaya lampu kamar redup, hanya menyisakan bayangan samar wajah mereka.
Elena yang sudah mulai memejamkan mata, kembali membukanya. "Tanya apa?"
Axel menarik napas panjang sebelum akhirnya bertanya, "Sebenarnya … apa yang terjadi malam itu, Lena? Kenapa kamu sampai mencoba bunuh diri?"
Pertanyaan itu membuat Elena terdiam. Matanya beralih menatap langit-langit kamar, lalu menghela napas berat. Tangannya yang digenggam Axel bergerak sedikit, seolah ragu untuk menjawab.
"Aku tahu ini pasti ada hubungannya sama Aldi," lanjut Axel dengan suara pelan, seperti menahan emosi. "Tapi aku ingin dengar dari kamu. Aku ingin tahu semuanya. Biar aku paham, biar aku nggak cuma nebak-nebak."
Suasana mendadak hening. Hanya terdengar suara detak jarum jam di dinding. Axel tetap menunggu, sabar, meski dalam dadanya perasaan gelisah bercampur amarah sudah mulai bergolak.
"Aldi mengurungku, Xel." Suara Elena akhirnya pecah, nyaris seperti bisikan.
Axel menoleh cepat, menatap wajah Elena dengan mata terbelalak. "Mengurungmu?"
Elena mengangguk pelan. "Dia … dia kunci pintu kamar dari luar. Dia bilang aku nggak boleh keluar sebelum aku memaafkannya dan membatalkan gugatan cerai. Aku sudah teriak-teriak minta dibukakan, tapi dia tak menggubris. Dia tinggalkan aku di kamar sendirian. Malam itu aku merasa sangat takut, Xel. Aku tak bisa menghubungi kamu karena ponselku juga di tahan."
Suara Elena tercekat. Matanya berkaca-kaca. Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan ucapannya.
"Paginya saat dia bawakan sarapan, aku terpaksa melakukan itu agar bisa dibawa keluar." Air mata Elena akhirnya jatuh.
Axel merasakan napasnya memburu. Rahangnya mengeras, tangannya yang menggenggam jemari Elena semakin erat.
"Dia benar-benar melakukan itu padamu?" suara Axel terdengar berat.
Elena mengangguk pelan, tidak berani menatap Axel. "Aku cuma ingin keluar, Xel. Aku cuma ingin bebas dari rasa takut itu. Aku … aku nggak berniat mati, aku cuma ingin keluar."
Axel menutup mata sejenak, menahan emosi yang mendesak keluar. Dalam hatinya, ia ingin berteriak, ingin meledak. Membayangkan Elena terkunci sendirian sampai harus melukai dirinya sendiri hanya untuk menarik perhatian membuat darahnya mendidih.
"Lena .…" Axel mengusap air mata Elena dengan ibu jarinya. "Aku janji, hal kayak gini nggak akan terjadi lagi. Aku janji."
Elena menggigit bibirnya, lalu akhirnya mengangguk. "Aku percaya sama kamu."
"Untuk sekarang kamu harus tidur. Aku akan tetap di sini."
Axel lalu meraih selimut dan menutup tubuh Elena. Ia ikut berbaring di sisi wanita itu, membiarkan kepalanya tetap berada di pelukannya.
Suasana kamar menjadi hening kembali. Hanya terdengar napas Elena yang mulai teratur. Axel menatap wajah wanita itu lama, memastikan ia benar-benar tertidur, sebelum akhirnya memejamkan mata.
Malam itu mereka tidur di ranjang yang sempit, saling menempel karena tak ada banyak ruang. Tapi untuk pertama kalinya, Elena bisa tidur dengan lebih tenang.
Pagi menjelang. Cahaya matahari menembus celah gorden kamar. Axel sudah bangun lebih dulu, duduk di tepi ranjang sambil memandangi Elena yang masih tertidur. Ada rasa sayang sekaligus iba dalam tatapannya.
Saat Elena membuka mata, Axel tersenyum. "Pagi," ucap Axel pelan.
Elena hanya mengangguk kecil, bibirnya membentuk senyum tipis.
"Aku bawakan sarapan dari kantin. Kamu harus makan dulu sebelum aku ke kantor," ucap Axel sambil mengangkat nampan berisi bubur dan segelas susu.
Elena menurut. Axel membantu menyuapi perlahan. Setiap sendok yang masuk ke mulut Elena membuat Axel sedikit lega.
Setelah selesai, Axel merapikan tempat makan, lalu duduk kembali di sisi Elena. "Aku harus ke kantor sebentar. Tapi aku akan kembali lagi sore nanti."
Elena mengangguk, meski tampak enggan melepas Axel. "Hati-hati."
Axel tersenyum, lalu menunduk mencium kening Elena. "Istirahat yang banyak. Jangan pikir macam-macam. Jangan takut, ada orangku berjaga di luar."
Begitu keluar dari rumah sakit, ekspresi Axel berubah total. Wajahnya dingin. Pandangannya tajam. Ia melangkah cepat ke mobilnya.
Di perjalanan menuju kantor, pikirannya dipenuhi amarah. Setiap kata yang diucapkan Elena tadi malam terngiang di kepalanya. Tangan kanannya menggenggam setir kuat-kuat hingga buku-bukunya memutih.
"Aldi … kamu keterlaluan," gumam Axel dengan rahang mengeras.
Begitu sampai di kantor, Axel langsung memanggil asistennya.
"Tolong hubungi Aldi. Bilang aku ingin dia menghadap ke ruanganku segera!"
Asistennya yang melihat raut wajah Axel hanya bisa mengangguk cepat. "Baik, Pak."
Axel berjalan masuk ke ruangannya. Ia duduk di kursi, melepaskan dasi yang terasa mencekik lehernya. Tangannya menutupi wajah sejenak, mencoba menenangkan diri. Tapi semakin ia mencoba tenang, semakin besar amarah yang bergolak dalam dadanya.
Ia tahu pertemuan ini tak akan berjalan biasa. Ia harus bertemu Aldi. Harus.
pasti Anak itu punya Ridwan,oh senangye tengok Aldi ketipu😄😄😄😄