Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Bersalah
-Dalam Mobil Van-
Hening. Emily duduk memandang kosong keluar jendela. Ekspresinya murung, jauh dari semangat yang biasanya ia tunjukkan di lokasi syuting. Yubin, yang memperhatikannya sejak tadi dari kejauhan, akhirnya memutuskan untuk menghampiri. Ia membuka pintu van dan melangkah masuk dengan hati-hati.
Tuk!
Pintu itu ditutup pelan oleh Yubin, menciptakan ruang privat hanya untuk mereka berdua.
“Emily, kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan nada lembut.
“Hm, aku baik-baik saja,” jawab Emily singkat tanpa menoleh.
“Kamu yakin?” Yubin menyipitkan mata, berusaha membaca wajah Emily. Namun yang ia lihat hanyalah ekspresi kaku, seperti sedang menahan sesuatu.
Yubin mendekat, duduk di sampingnya, dan perlahan menggenggam tangan Emily. Sentuhan itu membuat gadis itu tersentak kecil, lalu menunduk.
Tubuhnya mulai gemetaran. Hanya dalam hitungan detik, tangis Emily pecah.
“A-aku nggak baik-baik saja,” ucapnya terisak, suaranya bergetar.
Yubin menatapnya penuh cemas. “Apa yang terjadi, Emily?”
Bukannya menjawab, Emily justru menangis semakin keras. Yubin, tanpa pikir panjang, menarik tubuh Emily ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggung gadis itu dengan lembut, berusaha menenangkan.
“Dia…” Emily mulai berbicara di sela tangisnya. “Dia melecehkan aku lagi, kemarin malam.”
Kalimat itu bagaikan pisau yang menghujam hati Yubin. Tangannya yang sedang mengusap punggung Emily mendadak terhenti.
“Siapa? Mattheo?” tanya Yubin dengan nada menahan amarah.
Emily mengangguk pelan, tangisnya semakin terdengar menyayat. “Dia menamparku… Dia berlaku kasar. Dia marah besar karena Mr. Tano membatalkan kerjasama dengannya. Dia… melampiaskan semuanya ke aku.”
DEG!
Yubin tertegun. Pernyataan itu membuat jantungnya berdebar hebat. Ia tahu penyebab kerjasama itu batal. Dirinya. Ucapan Yubinlah yang membuat Mr. Tano berubah pikiran soal proyek itu.
Hati Yubin diliputi rasa bersalah yang amat dalam. Namun kini, ia hanya bisa memeluk Emily lebih erat, mencoba memberikan rasa aman meski di dalam dirinya berkecamuk berbagai emosi.
“Emily, aku minta maaf, ini semua karena kesalahanku.” Ucap Yubin di dalam hati, “aku yang membuat kekacauan itu terjadi.”
****
Setelah berhasil menenangkan Emily di dalam mobil van, Yubin perlahan turun. Namun langkahnya terasa berat, seolah bayang-bayang rasa bersalah menahannya. Ia memutuskan pergi ke toilet, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.
Tok!
Pintu toilet ia tutup dan kunci rapat. Dengan perlahan, ia berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya. Wajahnya tampak lelah dan penuh kesedihan. Pikirannya kembali terbayang pengakuan Emily tentang Mattheo, presedir yang seharusnya melindungi, bukan menyakiti.
“Aku bodoh…” gumamnya pelan, mengepalkan tangan di atas wastafel.
Tangannya yang gemetar meraih ponsel di saku. Ia menatap layar, mencari nama “Nano” di daftar kontaknya. Setelah menemukannya, Yubin terdiam sejenak, ragu. Namun ia tahu, ini harus dilakukan. Dengan tarikan napas panjang, ia menekan tombol panggil.
-In Calling-
“Hallo?” Suara Nano terdengar di ujung sana, terdengar ramah namun tegas.
“H-hallo? I-ini dengan Nano?” suara Yubin terdengar gugup, hampir bergetar.
“Iya, ini saya. Ada apa, Yubin?”
Yubin tertegun sejenak. Kesadarannya menyentak—Nano tahu namanya. Itu berarti Nano menyimpan nomornya. Ia menggigit bibir, mencoba meredakan kegugupannya.
“Yubin?” panggil Nano lagi, kali ini terdengar sedikit heran.
“O-oh, itu… a-aku ingin bertemu dengan Mr. Tano, apa bisa?”
“Hmm, ada perlu apa?” tanya Nano, nadanya kini serius.
“Itu… aku ingin bertanya soal kerjasama Mr. Tano dengan presedirku yang… yang dibatalkan.”
“Ah, soal itu.” Nano terdengar berpikir sejenak. “Baik, aku akan menanyakannya pada beliau terlebih dahulu. Aku akan mengabarimu secepatnya.”
“Baiklah, terima kasih,” jawab Yubin dengan nada pelan namun penuh rasa syukur.
“Iya,” balas Nano singkat sebelum menutup panggilan.
Yubin menatap layar ponselnya yang kini kembali gelap. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan emosi yang membuncah. Tangan gemetar itu perlahan ia genggam kuat, berusaha menyusun keberanian untuk langkah selanjutnya.
“Aku harus menyelesaikan ini,” bisiknya pelan, menatap bayangannya di cermin sekali lagi.
****
Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaan singkatnya. Emily dan Yubin kembali ke agensi dengan mobil van.
Di dalam van itu, Yubin menatap Emily yang hanya diam memandangi luar jalanan.
Perasaan bersalah terus terselimutkan dihatinya.
Dia menggenggam tangan Emily. Dimana Emily kemudian menunduk dan menatap genggaman itu.
Emily tersenyum sendu, kembali dia menatap luar jalan dengan menghela napas yang terlihat begitu berat.
****
📍Mvvo Entertainment
-Ruangan Mattheo-
Ruangan itu dipenuhi hawa tegang. Mattheo duduk di kursinya dengan wajah yang terlihat frustrasi. Di seberangnya, Reymond berdiri tegap, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
“Kalau saya boleh tahu, apa yang sebenarnya terjadi, Pa? Kenapa Mr. Tano tiba-tiba membatalkan kerja sama itu?” tanya Reymond hati-hati, meski ia tahu pertanyaan itu bisa saja memicu amarah Mattheo lebih jauh.
Mattheo menghela napas panjang, lalu menatap Reymond dengan mata yang menyala emosi. “Papa juga nggak tahu! Ini sangat menjengkelkan!” bentaknya. Tangannya mengepal di atas meja. “Dia seperti sedang mempermainkan papa, tertawa puas di belakang kita!”
Reymond mengangguk pelan, mencoba tetap tenang meski suasana memanas. “Papa yakin dia benar-benar berniat mempermainkan kita?” tanyanya, mencoba memancing jawaban lebih jelas.
“Kamu pikir apa? Semua ini bukan kebetulan!” balas Mattheo dengan nada tinggi. Ia lalu menatap Reymond dengan tajam. “Kamu… akan bertemu dengannya?”
Reymond menegakkan tubuhnya, sedikit ragu sebelum menjawab. “Mungkin. Saya berpikir untuk menanyakannya langsung nanti, Papa Mertua.”
Mattheo langsung melambaikan tangan, seolah menolak ide itu. “Sebaiknya tidak usah! Itu akan membuat kita terlihat seperti mengemis pada perusahaan mereka. Harga diri kita lebih dari itu!”
“Tapi—” Reymond mencoba membantah, namun Mattheo memotongnya.
“Namun…” Mattheo menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Suaranya sedikit melunak, meski tetap penuh emosi. “Papa yakin ada sesuatu yang ingin dia bicarakan denganmu. Papa hanya merasa ada motif lain di balik semua ini.”
Reymond mengangguk dengan keyakinan. “Kalau begitu, saya akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan juga… apa yang dia inginkan dari saya.”
Mattheo memicingkan matanya, ekspresinya masih penuh amarah. “Bagus. Tapi ingat, papa tetap nggak senang. Jika dia memang mempermainkan papa, dia akan menyesal.”
Reymond menatapnya sebentar, lalu mengangguk lagi sebelum keluar dari ruangan itu, meninggalkan Mattheo yang masih bergulat dengan amarahnya sendiri.
****
Setelah pertemuannya dengan Mattheo, Reymond keluar dari ruangan presedir dengan langkah yang perlahan. Wajahnya terlihat berat, masih memikirkan pembicaraan yang barusan terjadi. Ia berjalan menuju lobi untuk keluar gedung, tempat mobilnya terparkir di depan.
Di tengah langkahnya, matanya menangkap sosok yang familiar. Dari pintu depan perusahaan, Emily masuk dengan ekspresi yang datar.
Reymond menghentikan langkahnya sejenak. Ia mempertimbangkan untuk menyapanya, mungkin untuk sekadar memperbaiki hubungan mereka yang terasa renggang akhir-akhir ini. Namun, harapan itu pupus ketika Emily berjalan melewatinya tanpa sedikit pun menoleh, apalagi memberi salam.
Di belakang Emily, Yubin mengangguk sopan ke arah Reymond sambil mengikuti langkah rekannya. Mereka berdua berhenti di depan lift, menunggu pintu terbuka.
Reymond hanya bisa menghela napas panjang. Ada perasaan bersalah yang terlihat jelas yang dia rasakan. Ia tahu, perubahan sikap Emily bukan tanpa alasan. Perasaan bersalah yang selama ini ia pendam hanya membuat jarak di antara mereka semakin nyata.
-Di Dalam Lift-
“K-kamu tumben nggak menyapa Pak Reymond, Emily? Ada apa?” tanya Yubin dengan nada hati-hati sambil melirik sahabatnya yang berdiri di sampingnya.
“Gak kenapa-kenapa, eonnie,” jawab Emily singkat, tanpa menoleh.
“Kamu yakin?” desak Yubin, masih penasaran.
Akhirnya, Emily menoleh. Matanya menatap langsung ke arah Yubin, menyiratkan perasaan yang campur aduk.
“Bukannya eonnie sendiri yang selalu mengingatkan aku untuk tidak terlalu dekat dengan Pak Reymond?” ucap Emily pelan, tapi tegas. “Dan aku mulai sadar, kalau aku memang harus menghindar.”
Yubin tercekat. Ia tidak tahu harus merespons apa. Kalimat Emily terdengar dingin, tapi ada kejujuran yang sulit dibantah. Mungkin saat ini, pikir Yubin, Emily sedang terlalu sensitif untuk dihadapi dengan kata-kata lain.
Yubin hanya mengangguk pelan. Diam-diam, ia merasa bersalah karena mungkin, tanpa sadar, ia yang membuat Emily semakin menjauh dari Reymond.