"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Keluarga
Pagi itu, lorong rumah sakit terasa lengang. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun melangkah cepat menuju ruang ICU. Penampilannya cantik dan elegan, namun wajahnya sedikit pucat, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Wanita itu adalah Diva, ibu tiri Ziyo. Di sebelahnya berjalan seorang remaja lelaki berusia tiga belas tahun, Zian, adik tiri Ziyo.
"Ma... Kak Ziyo nggak apa-apa, 'kan?" suara Zian terdengar pelan, nyaris bergetar. Matanya memandang Diva dengan penuh harap, seolah mencari jawaban yang bisa menenangkan hatinya.
Diva menoleh, tangannya dengan lembut merangkul bahu Zian. "Kita harus berdoa, Sayang. Kakakmu kuat, dia pasti bisa melewati ini," jawabnya lembut, meskipun matanya memancarkan kesedihan yang sulit ia sembunyikan.
Setelah mencapai pintu ICU, seorang dokter keluar dengan wajah serius. Diva segera menghampirinya, pandangannya tegas meskipun tangannya sedikit gemetar. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kecemasan.
Dokter itu menghela napas berat sebelum menjawab. "Kondisi Ziyo masih kritis. Kami sudah melakukan operasi untuk menghentikan pendarahan dan memperbaiki tulang yang patah. Namun, dia mengalami trauma yang sangat parah, dan saat ini belum sadarkan diri. Kami juga menemukan kerusakan pada matanya... ada kemungkinan ia kehilangan penglihatannya secara permanen."
Diva tertegun. Matanya membesar, dan tangannya yang masih berada di bahu Zian mencengkeram lebih erat, seolah berusaha mencari kekuatan dari kehadiran putra bungsunya. "Tidak... tidak mungkin," gumamnya lirih, suaranya bergetar. Ia menggeleng pelan, menolak mempercayai apa yang baru saja ia dengar.
"Ma, Kak Ziyo bakal sembuh, 'kan? Dia nggak apa-apa, 'kan?" Zian bertanya lagi, suaranya terdengar semakin gemetar. Matanya yang mulai berkaca-kaca menatap ibunya dengan penuh harap.
Diva menarik napas dalam-dalam dan membungkuk di hadapan Zian. Dengan lembut, ia memegang kedua pipi anak itu, memaksa Zian untuk menatapnya langsung. "Kakakmu kuat, Zian. Kita harus percaya bahwa dia akan sembuh, ya? Kamu juga harus kuat untuk Kak Ziyo. Dia pasti ingin melihat kita tetap tegar."
Zian mengangguk kecil, meskipun air matanya mulai mengalir. "Aku janji akan kuat, Ma," ujarnya pelan.
Diva menegakkan tubuhnya, menatap dokter dengan mata yang masih memerah. "Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok. Apa pun yang diperlukan, saya akan tanggung biayanya. Tolong selamatkan dia."
Dokter itu mengangguk dengan simpati. "Kami akan melakukan yang terbaik, Nyonya. Saat ini, Ziyo membutuhkan istirahat penuh. Kita hanya bisa menunggu perkembangan selanjutnya."
Diva mengangguk pelan, menahan air mata yang hampir tumpah. Setelah dokter pergi, ia berdiri di depan pintu ICU, memandangi ruangan di mana tubuh Ziyo terbaring tak berdaya. Tangannya menyentuh kaca pintu, dan dari bibirnya terucap doa yang pelan namun penuh harap.
Di sudut lain koridor, Hania berdiri diam, mengamati kejadian itu dari jauh. Matanya menatap Diva dan Zian dengan penuh tanda tanya. "Siapa mereka? Apakah itu keluarganya?" pikirnya. Perasaan bersalah yang terus menghantui membuatnya ingin mendekat, tetapi ia merasa tidak punya hak. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah mengamati dalam diam, berharap pria yang ia lukai bisa segera pulih.
Sementara itu, Diva menghapus air matanya dengan saputangan, menguatkan diri di depan Zian. Senyum tipis terlukis di wajahnya saat ia merangkul anak itu. "Ayo, kita tunggu kabar baiknya bersama. Kita harus tetap di sini untuk Kak Ziyo," katanya dengan suara penuh kasih sayang, menciptakan gambaran sempurna seorang ibu yang penuh perhatian.
Namun, di balik senyumnya yang lembut, ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang ia jaga rapat-rapat dari dunia, bahkan dari Zian.
***
Waktu terus berputar, perlahan menggiring langit menuju malam. Lampu-lampu di lorong rumah sakit memancarkan cahaya temaram yang terasa semakin menyesakkan suasana. Di depan ruang ICU, Diva masih duduk menunggui Ziyo. Di sampingnya, Zian tampak tertidur dengan kepala bersandar di bahu ibunya. Namun, tidurnya gelisah. Sesekali, remaja itu membuka mata, seakan takut kehilangan waktu untuk melihat kakaknya.
Malam semakin larut, Diva mengusap lembut kepala Zian. "Zian, Sayang, sudah malam. Besok kamu harus sekolah. Pulang, ya? Biar Mama di sini menemani Kak Ziyo," bujuknya dengan suara lembut.
Zian menggeleng keras. "Aku nggak mau pulang, Ma. Aku mau di sini sampai Kak Ziyo sadar," jawabnya, matanya penuh tekad meskipun tubuh kecilnya tampak lelah.
Diva menarik napas dalam, berusaha tetap sabar. Ia memegang kedua bahu Zian, menatap anak itu dengan pandangan penuh kasih sayang. "Zian, Kak Ziyo pasti nggak akan suka kalau kamu begini. Kakak selalu bilang kamu harus istirahat cukup supaya bisa belajar dengan baik, 'kan? Kalau kamu sakit karena kurang tidur, Kak Ziyo pasti sedih."
Mendengar itu, tekad Zian mulai goyah. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia tetap ingin bertahan. "Tapi... aku mau ada di sini kalau Kak Ziyo sadar, Ma," ujarnya pelan, suaranya nyaris pecah.
Diva mengelus pipi Zian dengan lembut, memberikan senyum menenangkan. "Kalau Kak Ziyo sadar, Mama pasti langsung kabari kamu. Kamu percaya 'kan sama Mama?" tanyanya, memastikan.
Zian terdiam beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk dengan berat hati. "Oke, Ma. Tapi Mama janji, ya? Janji langsung kabarin aku," katanya dengan nada memohon.
"Janji," jawab Diva tegas, lalu mengecup kening anaknya. "Sekarang, ayo pulang. Supir sudah menunggu."
Dengan langkah enggan, Zian berdiri. Ia menoleh sekali lagi ke arah pintu ICU, seperti berharap bisa melihat kakaknya meski hanya sekejap. Setelah itu, ia berjalan meninggalkan lorong bersama supir yang menjemputnya. Sebelum benar-benar menghilang di tikungan, Zian berbalik dan melambaikan tangan kecilnya ke arah Diva. "Mama, jangan lupa kabarin aku, ya!" serunya sekali lagi.
Diva melambaikan tangan, menunggu sampai bayangannya lenyap dari pandangan. Begitu Zian pergi, ia menghela napas panjang, seolah beban di dadanya sedikit berkurang. Namun, sorot matanya kembali suram saat ia memalingkan wajah ke arah pintu ICU.
Seorang perawat yang sedari tadi memerhatikan interaksi itu mendekat. Wanita itu tersenyum kecil. "Anak Anda sangat menyayangi kakaknya. Saya jarang melihat adik yang sepeduli itu," komentarnya sambil mencatat sesuatu di papan data pasien.
Diva tersenyum tipis, mengangguk pelan. "Iya, Zian memang sangat menyayangi Ziyo. Bahkan, kadang-kadang dia lebih patuh pada kakaknya daripada pada saya," ucapnya dengan nada lembut, seolah tak keberatan dengan kenyataan itu.
Perawat itu tersenyum, lalu pamit untuk melanjutkan tugasnya. Diva kembali duduk, tatapannya kosong mengarah ke kaca pintu ICU. Di ujung koridor, Hania tetap berdiri diam, menyaksikan semua itu dari kejauhan. Ia tidak mendekat, hanya memerhatikan setiap gerak-gerik Diva dengan perasaan tak menentu. Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuat Hania merasa harus tetap berjaga. Ia tak tahu mengapa, tetapi naluri itu terlalu kuat untuk diabaikan.
Sementara itu, Diva menyandarkan punggungnya ke dinding, menutup mata sejenak. Senyum lembut yang tadi ia tampilkan di depan Zian kini memudar. Di balik wajah yang penuh kasih, ada rahasia kelam yang ia simpan rapat-rapat, sebuah kebenaran yang tak boleh terungkap, tidak sekarang. Tidak di saat semuanya masih kacau seperti ini.
***
Tiga hari kemudian.
Hania berdiri di balik kaca ruang ICU, mengintip dari celah kecil. Wajahnya pucat, tangannya gemetar menggenggam gagang pintu.
Sosok Ziyo terbaring di atas tempat tidur ICU, tubuhnya dikelilingi oleh kabel-kabel medis yang tersambung ke berbagai mesin. Kepalanya diperban tebal, menutupi hampir seluruh wajahnya, sementara kedua kakinya tergips hingga paha. Mesin ventilator mengeluarkan suara ritmis, menandakan bahwa napasnya masih bergantung pada alat itu.
Hania memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup keras. Namun, saat kembali menatap, rasa bersalah menyerangnya seperti gelombang besar. “Ini salahku,” bisiknya pelan, air mata mulai menggenang di matanya.
Namun, ia tak berani masuk. Tidak sekarang. Langkah kaki terdengar mendekat, semakin jelas. Dua sosok perempuan muncul di ujung koridor. Hania buru-buru mencari tempat untuk bersembunyi, tubuhnya gemetar. Namun, saat ia mengintip dari balik pilar, pandangannya terpaku.
Darahnya berdesir. Napasnya tertahan. Matanya membelalak tak percaya saat mengenali salah satu dari mereka.
"Tidak. Ini tidak mungkin. Dia... di sini?"
...🔸"Penyesalan adalah guru yang baik, tetapi jangan biarkan ia menjadi penjara yang mengurungmu. Belajarlah, lalu melangkahlah."🔸...
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Hania pergi ziyo ada yg hilang walaupun tidak bs melihat wajah hania ziyo bs merasakan ketulusan hania walaupun ada yg disembunyikan hania....
Dalang utama adalah diva ingin mencelakai ziyo dan pura2 baik didepan ziyo bermuka dua diva ingin menguasai perusahaan.....
Dasar ibu diva hanya mementingkan diri dan tidak mementingkan kebahagiaan Zian..
Diva tidak akan tinggal diam pasti akan mencelakai ziyo lagi....
bagus hania bantu ziyo sembuh dan pulih lagi musuh msh mengincar ziyo....