Setelah kematian yang tragis, dia membuka matanya dalam tubuh orang lain, seorang wanita yang namanya dibenci, wajahnya ditakuti, dan nasibnya dituliskan sebagai akhir yang mengerikan. Dia kini adalah antagonis utama dalam kisah yang dia kenal, wanita yang dihancurkan oleh sang protagonis.
Namun, berbeda dari kisah yang seharusnya terjadi, dia menolak menjadi sekadar boneka takdir. Dengan ingatan dari kehidupan lamanya, kecerdasan yang diasah oleh pengalaman, dan keberanian yang lebih tajam dari pedang, dia akan menulis ulang ceritanya sendiri.
Jika dunia menginginkannya sebagai musuh, maka dia akan menjadi musuh yang tidak bisa dihancurkan. Jika mereka ingin melihatnya jatuh, maka dia akan naik lebih tinggi dari yang pernah mereka bayangkan.
Dendam, kekuatan, dan misteri mulai terjalin dalam takdir barunya. Tapi saat kebenaran mulai terungkap, dia menyadari sesuatu yang lebih besar, apakah dia benar-benar musuh, atau justru korban dari permainan yang lebih kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Bayangan Yang Mengintai
Seraphina dan Lucian berlari menembus hutan.
Mereka baru saja lolos dari cengkraman Ordo Kegelapan, dan sekarang satu-satunya prioritas mereka adalah melaporkan semua yang mereka temukan ke Kuil Assassin.
Lucian, yang masih menahan nyeri di rusuknya akibat tendangan pria berambut perak tadi, melirik ke arah Seraphina.
"Bagaimana keadaanmu?"
Seraphina mengusap darah di sudut bibirnya, lalu menegakkan tubuhnya.
"Aku baik-baik saja. Lebih penting lagi, kita harus cepat sebelum mereka menyadari kita kabur."
Lucian mengangguk.
Tanpa membuang waktu, mereka berdua terus melaju melewati pepohonan, menyelinap di antara bayangan hutan malam.
Namun, sebelum mereka bisa mencapai batas hutan—
"Kalian pikir bisa pergi begitu saja?"
Suara dingin membuat keduanya langsung berhenti bergerak.
Dari balik pepohonan, tiga sosok muncul, mengenakan jubah hitam dengan lambang Ordo Kegelapan di dada mereka.
Seraphina mengerutkan kening.
Lawan lain lagi?
Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan kapak ganda di tangannya, menatap mereka dengan ekspresi sinis.
"Kami diperintahkan untuk menangkap kalian. Tapi, jika kalian melawan, kami diperbolehkan membunuh."
Lucian mendecak pelan. "Kenapa aku tidak terkejut?"
Seraphina menghunus belatinya, bersiap bertarung. Tidak ada pilihan lain.
Mereka harus mengalahkan orang-orang ini jika ingin kembali dengan selamat.
Pria bertubuh besar mengayunkan kapaknya ke arah Lucian dengan kekuatan luar biasa.
Lucian berhasil menghindar, namun angin dari serangan itu cukup kuat untuk merobek sebagian mantel hitamnya.
Seraphina tidak tinggal diam.
Dengan kecepatan tinggi, ia melompat ke belakang salah satu anggota Ordo Kegelapan, mencoba menyerang dari titik buta.
Namun, pria itu menoleh dengan cepat, menangkap serangan Seraphina dengan pedangnya.
"Kau lumayan cepat," katanya, menyeringai.
Seraphina mengeraskan rahangnya.
Orang-orang ini bukan lawan sembarangan.
Lucian melakukan manuver licik, menggunakan kecepatan dan kelincahannya untuk terus bergerak, membuat musuh sulit menyerangnya.
Seraphina menyadari strategi itu dan melakukan hal yang sama.
Mereka menghindari serangan, menyerang dengan cepat, lalu menghilang ke bayangan sebelum musuh bisa membalas.
Salah satu anggota Ordo Kegelapan mulai terlihat frustasi.
"Dasar pengecut! Hadapi aku secara langsung!"
Seraphina memanfaatkan kelengahan itu.
Dengan satu gerakan gesit, ia melompat ke bahu pria itu dan menusukkan belatinya ke lehernya.
Darah menyembur, dan pria itu terjatuh dengan mata membelalak, tak lagi bernyawa.
Dua orang lainnya mengeram marah. Lucian mengambil kesempatan untuk melukai lawan di hadapannya.
Pertarungan semakin sengit.
Namun, Seraphina dan Lucian bukan petarung biasa.
Dengan kerja sama mereka, dalam waktu singkat dua anggota Ordo Kegelapan lainnya juga tumbang.
Lucian menghela napas panjang, membersihkan darah di pedangnya.
"Kita harus pergi sebelum ada lagi yang datang."
Seraphina mengangguk, lalu mereka kembali berlari menuju Kuil Assassin.
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di Kuil Assassin.
Saat melihat mereka yang kembali dengan tubuh penuh luka dan napas terengah, para anggota kuil segera menghampiri.
Tetua kuil, seorang pria tua dengan wajah dingin bernama Duke Salvatore, menatap mereka tajam.
"Apa yang terjadi?"
Seraphina dan Lucian menjelaskan semua yang mereka temukan—tentang Ordo Kegelapan, altar sihir, dan pria misterius berambut perak yang kekuatannya di luar nalar.
Mendengar itu, Duke Salvatore terdiam sesaat, lalu menghela napas berat.
"Jadi, mereka akhirnya mulai bergerak..."
Lucian mengernyit.
"Kau tahu sesuatu?"
Duke Salvatore mengangguk pelan, lalu memberi isyarat agar mereka mengikutinya ke ruang rapat.
Di dalam ruangan itu, ia membuka sebuah peta kuno yang penuh dengan simbol dan tanda aneh.
Seraphina menatap peta itu dengan seksama.
"Apa ini?"
Duke Salvatore menatap mereka dengan serius.
"Ini adalah peta yang menunjukkan lokasi-lokasi di mana Ordo Kegelapan pernah melakukan ritual terlarang mereka."
Lucian dan Seraphina saling berpandangan.
"Jadi mereka sudah melakukan ini sejak lama?" tanya Lucian.
"Lebih lama dari yang kalian kira," jawab Duke Salvatore.
Ia menunjuk salah satu simbol di peta, yang berbentuk mirip dengan pola sihir yang Seraphina lihat di altar bawah tanah tadi.
"Jika apa yang kalian lihat memang benar, maka mereka sedang mencoba mengaktifkan sesuatu yang telah lama tersegel."
Seraphina mengerutkan kening.
"Sesuatu? Maksudmu... makhluk berbahaya?"
Duke Salvatore mengangguk pelan.
"Tepat sekali. Mereka ingin membangkitkan entitas kuno yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan dunia ini."
Ruangan mendadak sunyi.
Lucian menyilangkan tangannya.
"Dan kita harus menghentikan mereka."
Duke Salvatore menatapnya tajam.
"Kalian berdua telah menghadapi mereka secara langsung. Itu berarti kalian sudah masuk dalam daftar musuh mereka. Mulai sekarang, kalian harus selalu waspada."
Seraphina menghela napas panjang, mencoba mencerna semua informasi ini.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu—
Pertarungan mereka baru saja dimulai.
.
.
.
Seraphina dan Lucian berdiri di dalam ruang rapat Kuil Assassin, menatap peta kuno yang terbentang di atas meja.
Duke Salvatore, tetua kuil, baru saja memberi mereka peringatan bahwa Ordo Kegelapan sedang berusaha membangkitkan entitas kuno.
Suasana di dalam ruangan itu penuh ketegangan.
Seraphina, yang masih mencoba mencerna semua ini, akhirnya bertanya, “Apa rencana kita selanjutnya?”
Duke Salvatore menyilangkan tangannya, menatap mereka dengan mata tajam.
“Sebelum kita bertindak lebih jauh, kita harus mengumpulkan lebih banyak informasi.”
Lucian mengangguk setuju, tetapi ekspresinya tetap waspada.
“Jadi kita harus menyusup ke markas mereka?”
Duke Salvatore menatap Lucian lama, lalu mengangguk.
“Tepat sekali. Namun, kalian tidak akan pergi sendiri. Aku akan memilih beberapa orang lain untuk menemani kalian.”
Seraphina mengerutkan kening.
Sejujurnya, ia lebih suka bekerja sendiri atau dengan Lucian.
Namun, ia tahu mereka tidak bisa sembarangan menghadapi Ordo Kegelapan.
Seraphina menghela napas, lalu mengangguk.
“Baiklah. Kapan kita mulai?”
“Besok pagi,” jawab Duke Salvatore.
“Malam ini, kalian harus beristirahat dan mempersiapkan diri.”
Seraphina dan Lucian saling berpandangan, lalu mengangguk.
Mereka tahu—
Misi ini akan sangat berbahaya.
Setelah pertemuan selesai, Seraphina kembali ke kamarnya. Malam itu, ia tidak bisa tidur.
Pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan—bagaimana jika mereka gagal? Bagaimana jika Ordo Kegelapan sudah mengetahui rencana mereka?
Seraphina menghela napas, lalu bangkit dari tempat tidur.
Berdiam diri tidak akan membantu.
Ia keluar dari kamarnya dan berjalan menuju halaman belakang kuil, tempat para Assassin sering berlatih di malam hari.
Begitu sampai di sana, Seraphina menyadari bahwa ia tidak sendirian.
Lucian sedang berlatih dengan pedangnya, matanya penuh fokus.
Seraphina tersenyum tipis. Ia tidak terkejut. Lucian selalu seperti ini—tak pernah bisa duduk diam menjelang misi berbahaya.
“Kau tidak tidur?” tanya Seraphina, berjalan mendekat.
Lucian berhenti mengayunkan pedangnya, lalu menoleh.
“Kau juga tidak.”
Seraphina menarik napas dalam, lalu mengambil dua belatinya.
“Kalau begitu, ayo bertarung sebentar.”
Lucian mengangkat alis, lalu menyeringai.
“Kau yakin?”
Seraphina mengangguk tanpa ragu.
Tanpa basa-basi, mereka mulai bertarung.
Lucian menyerang lebih dulu, mengayunkan pedangnya dengan cepat.
Seraphina menghindar dengan lincah, lalu membalas dengan serangan balasannya sendiri.
Pertarungan mereka cepat dan mematikan—tanpa sihir, hanya mengandalkan keahlian bertarung fisik.
Namun, tak lama kemudian—
Mereka berdua berhenti secara bersamaan.
Ada sesuatu yang tidak beres.
Seraphina merasa ada seseorang yang mengawasi mereka.
Lucian juga merasakannya.
Mereka berdua saling bertukar pandang, lalu tanpa suara melompat ke atas atap kuil, mencari sumber kehadiran asing itu.
Namun, yang mereka temukan hanyalah bayangan yang bergerak cepat, menghilang ke dalam kegelapan malam. Lucian mengerutkan dahi.
“Sepertinya kita bukan satu-satunya yang tidak bisa tidur malam ini.”
Seraphina menatap bayangan yang menghilang itu dengan tajam.
“Mungkin Ordo Kegelapan sudah mengetahui keberadaan kita.”
Lucian mendecak pelan, lalu memasukkan pedangnya ke sarungnya.
“Kalau begitu, besok kita harus lebih waspada.” Seraphina mengangguk.
Mereka berdua kembali ke kamar masing-masing—
Namun, malam itu, tidak ada dari mereka yang benar-benar tidur.
Saat fajar tiba, tim mereka sudah siap berangkat.
Selain Seraphina dan Lucian, ada tiga orang lain yang ikut dalam misi ini:
Vance – seorang Assassin senior yang terkenal dengan kemampuannya dalam membunuh target tanpa suara.
Eris – seorang wanita bertubuh kecil dengan keahlian dalam racun dan penyamaran.
Kael – seorang ahli strategi yang sebelumnya pernah memata-matai Ordo Kegelapan.
Mereka berlima berdiri di gerbang Kuil Assassin, menatap jalanan hutan yang terbentang di depan mereka.
Duke Salvatore datang untuk memberi arahan terakhir.
“Ingat, tujuan utama kalian adalah mengumpulkan informasi. Jangan bertindak gegabah.”
Seraphina dan yang lainnya mengangguk.
Tanpa membuang waktu, mereka memulai perjalanan mereka ke markas Ordo Kegelapan.
Namun, yang tidak mereka sadari adalah—
Musuh sudah lebih dekat dari yang mereka kira.
Al-fatihah buat neng Alika beliau orang baik dan Allah menyayangi orang baik, beliau meninggal di hari Jumat bertepatan setelah malam nisfu syabaan setelah tutup buku amalan.. semoga beliau di terima iman Islamnya di ampuni segala dosanya dan di tempatkan di tempat terindah aamiin ya rabbal alamiin 🤲