Jihan, harus memulai kehidupannya dari awal setelah calon kakak iparnya justru meminta untuk menggantikan sang kakak menikahinya.
Hingga berbulan-bulan kemudian, ketika dia memutuskan untuk menerima pernikahannya, pria di masa lalu justru hadir, menyeretnya ke dalam scandal baru yang membuat hidupnya kian berantakan.
Bahkan, ia nyaris kehilangan sang suami karena ulah dari orang-orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Siapa Bianca?
Nggak mungkin nama laki-laki, pasti nama perempuan itu.
Tapi perempuan mana yang berani telfon suami orang malam-malam begini?
Aku bertanya-tanya dalam hati sambil menajamkan pendengaran untuk menguping pembicaraan mas Sagara melalui telfon.
"Iya, Bi?"
"Sudah sampai rumah, kenapa?"
"Belum selesai, nanti kalau sudah langsung ku kirim"
Mereka ngomong apa si? Mas Saga mau kirim apa?
Tahu-tahu mas Sagara membuka pintu dan keluar dari kamar kemudian menutupnya kembali.
"Mau kemana dia?" Aku bergumam lirih, menatap pintu yang tertutup rapat.
Menarik napas, aku lantas merebahkan diri dengan agak sedikit bergeser ke tepi tempatku biasa tidur.
Tiba-tiba bayangan ciuman kami beberapa saat lalu terlintas dan seolah menari-nari di atas kepalaku.
"Ini ciuman pertamaku" Ku tarik selimut hingga menutupi wajah. "Ciuman pertamaku di ambil oleh dosenku? Ah bukan bukan, tapi suamiku.
Suamiku ternyata dosenku sendiri? Gimana reaksi teman-teman jika mengetahui hal ini.
Pak Sagara adalah suaminya Jihan. Pasti akan menjadi tranding topik di kampus nanti.
Tapi ngomong-ngomong, apa yang mas Sagara pikirkan setelah menciumku? Apakah menganggapku wanita gampangan?
Duh,, bodoh sekali kamu Jihan. Harusnya kamu tolak tadi, atau menghindar. Masa iya, mengesahkan pertemanan tandanya pakai cium-cium, aneh.
Dahiku mungkin mengerut tajam, berspekulasi kalau mas Sagara sudah meledekku.
Astaga... Apa benar mas Sagara sedang mengerjaiku tadi? Ah Jihan, mau-maunya di cium.
Iihh bodoh-bodoh,,
Aku memukuli kepalaku sendiri, lalu bergerak memiringkan badan sekaligus menurunkan selimut karena merasa kepanasan.
Saat tengah sibuk dengan pikiranku sendiri, ku dengar suara pintu di buka.
Karena aku masih malu dan nggak berani memperlihatkan wajahku di hadapan mas Sagara, akupun pura-pura tidur.
Aku belum siap jika harus menunjukkan wajahku di depan dosenku itu.
Setelah lebih dari satu menit, mas Sagara mematikan lampu kamar, spontan mataku yang tadi tertutup reflek terbuka.
Pria itu lantas menyalakan lampu temaram yang ada di atas headboard sekalian mengatur suhu AC menjadi lebih dingin.
Ku pikir mas Sagara akan langsung tidur, ternyata tidak. Dia yang mengambil tempat di sampingku, duduk bersandar pada kepala ranjang dan mulai sibuk dengan laptopnya.
Sepertinya karena tadi aku mengajaknya bicara serta ada kejadian kontak fisik, pekerjaan mas Sagara jadi tertunda. Kemungkinan saat ini dia tengah melanjutkan pekerjaannya itu.
Tapi siapa Bianca yang barusan menelfonnya?
Apa sering menghubungi mas Sagara sebelumnya?
Ah, kenapa aku terusik dengan sosok bernama Bianca.
Mendadak aku teringat akan sesuatu.
Bianca? Apa Bianca seleb gram yang mendadak terkenal karena lirikan matanya itu?
Kok bisa kenal mas Sagara?
Kalau iya, masa si mas Sagara punya teman sekelas selebgram?
Tak ingin menebak-nebak karena justru akan membuatku pusing, aku berusaha keras untuk tidak memikirkannya.
Terserah, dan nggak mau tahu soal Bianca.
****
Paginya, aku yang masih malu-malu tak berani mempertemukan netra kami. Baik saat sama-sama mempersiapkan diri di kamar untuk pergi, dan juga saat sesi sarapan.
Beda dengan mas Sagara yang terus memandangku ketika aku diam-diam meliriknya.
"Kamu kenapa?" Tanya mas Sagara tanpa beralih dari tatapannya padaku.
Mengerutkan bibir, aku menimbang-nimbang apakah harus menanyakan soal wanita bernama Bianca yang tadi malam menelfonnya atau tidak.
Tapi rasa ingin tahu seakan membuatku memberanikan diri untuk bertanya.
"Kenapa?" Mas Sagara mengernyit heran.
Pelan, ku angkat kepalaku dan mulai mengeluarkan unek-unekku.
"Tadi malam yang telfon mas siapa?" Tanyaku ragu-ragu.
"Namanya Bianca, dia brand ambassador kosmetik dan skincarenya Lita, kenapa?"
"Ada urusan apa telfon malam-malam?"
"Dia minta salinan berkas starterkit "
"Starterkit?"
"Hmm" Sahutnya mengangguk sambil mengunyah makanan di dalam mulut.
"Kok ke mas, apa hubungannya?"
"Aku yang bikin starterkit produknya Lita, jadi dia minta ke aku"
"Kenapa nggak minta ke Lita aja? Lita pasti punya salinannya juga kan"
"Lita nggak bisa di hubungi katanya"
"Palingan cuma alasan dia aja" Sahutku lalu meneguk air di dalam gelas.
"Jangan di biasakan su'uzon, Jihan! Nggak baik"
"Ya kan bisa besok saja, nggak harus ganggu orang malam-malam"
Mendengar kalimatku, dia malah menatapku dalam-dalam.
Oh ya Tuhan, mas Sagara pasti mikir aku merasa terganggu sedang berciuman dengannya.
"Kenapa menatapku begitu?" Tanyaku heran. Ada perasaan gugup sebenarnya, tapi aku mencoba rilex agar mas Sagara tak menangkap kegugupanku.
"Kenapa habis di cium jadi lemot, jadi aneh gitu?"
"Le-lemot? Lemot gimana? Biasa aja"
"Jadi gugup gitu, mukanya juga merah"
"Hah?" Desisku reflek.
Pria itu malah tersenyum.
"Kenapa senyum-senyum? Apa mas mikir aku ini cewek gampangan?"
Mas Sagara mendesah pelan sambil menggelengkan kepala. "Memangnya kamu gampangan sama siapa aja selain sama mantan pacar kamu?"
"Enak aja, nggak ke siapa-siapa lah. Dan soal tadi malam, itu hanya tanda pertemanan kita, nggak lebih. So jangan mengartikan yang enggak-enggak"
Mas sagara kembali menggelengkan kepala, kali ini di sertai senyuman yang entah apa maksudnya.
"Di jaman modern seperti ini, sepertinya nggak mungkin pacaran tanpa kontak fisik"
"Mas nggak sedang menuduhku kan?" Tanyaku menyelidik.
"Aku nggak menuduhmu, aku lagi bicara soal zaman"
"Mas sendiri gimana, udah ngapain aja sama kak Lala, sama perempuan selain kak Lala juga?"
"Kakakmu itu pendiam, patuh, nggak kayak kamu, mbangkang terus kerjaannya"
"Loh kalau sesuatu itu nggak pas, salah misalnya, ya aku berhak protes dong"
Mas Sagara yang tahu-tahu sudah menghabiskan sarapannya, mengelap mulutnya menggunakan tisu. Setelah itu dia bangkit dari duduknya kemudian ku rasakan tangannya menyentuh sekaligus mengusap puncak kepalaku.
"Bianca bukan siapa-siapa, dia hanya partner bisnisnya Lita" Katanya. Tapi kalimatnya itu mampu menggetarkan isi dadaku. "Aku tunggu di ruang tamu" Tambahnya sebelum beranjak dari meja makan.
Mendapat perlakuan seperti barusan, tentu saja hatiku menghangat.
****
Di dalam ruang kelas, seperti biasa sambil menunggu dosen datang, aku, Emma dan Gabby duduk mengobrol. Tak hanya kami, beberapa teman-teman kami juga melakukan hal yang sama dengan geng mereka termasuk Nia yang berteman dengan Leli dan juga Afkarina.
"Eh, kayaknya ini bu Gauri nggak datang deh" Kata Gabby. "Kiita di kasih tugas sepertinya"
"Masa si" Tanya Emma berjingkrak. Dia yang memang lagi bad mood efek datang bulan, jelas senang jika jam mata kuliah nggak ada dosennya.
"Iya, bu Gauri kan anaknya pak Moko, ketua Senat di kampus kita, nah pak Moko mau menikahkan anak bungsunya, jadi artinya adiknya bu Gauri yang nikah"
"Oh ya, kamu tahu dari mana?"
"Papahku dapat undangan soalnya, akad serta resepsinya di adakan hari ini"
Aku hanya diam, seraya berfikir kalau kemungkinan mas Sagara juga dapat undangan.
"Resepsinya jam berapa, Gab?" Tanyaku ingin tahu.
"Kalau untuk papaku si pukul empat sore sampai pukul sepuluh, Ji. Papahku kan ikut golongan tamunya pak Moko. Untuk tamunya mempelai pengantin di undangan tertulis setelah akad nikah"
"Oh" Responku sambil mengangguk paham.
Bersambung.