"Tak harus ada alasan untuk berselingkuh!"
Rumah tangga yang tenang tanpa badai, ternyata menyembunyikan satu pengkhianatan. Suami yang sempurna belum tentu setia dan tidak ada perempuan yang rela di duakan, apalagi itu di lakukan oleh lelaki yang di cintainya.
Anin membalas perselingkuhan suami dan sahabatnya dengan manis sampai keduanya bertekuk lutut dalam derita dan penyesalan. Istri sah, tak harus merendahkan dirinya dengan mengamuk dan menangis untuk sebuah ketidak setiaan.
Anin hanya membuktikan siapa yang memanggil Topan dialah yang harus menuai badai.
Seperti apa kisahnya, ikuti cerita ini ya☺️🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suesant SW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3. Bukan Layangan Putus
Semua pertanyaan itu berkecamuk di dalam dada Anin, seakan ingin mendobrak kesabarannya.
"Bagaimana sayang? Kenapa kamu melongo begitu?" Pertanyaan Galih membuat Anin terpaksa kembali mengurai senyum di bibirnya.
"Aku sedang memikirkan, betapa menyenangkan holiday dengan ayang di puncak." Anin menyahut sedikit getir.
"Ok! Nanti ku atur jadwal, siapa tahu akhir minggu ini kita bisa weekend di sini. Aku juga capek kerja terus nih, rasanya kangen jalan-jalan sama istriku yang cantik." Ocehan Galih yang seperti ini biasanya akan membuat Anin berbunga-bunga. Tapi, tidak kali ini. Dia tahu, suaminya itu sedang berbohong padanya.
"Ayang pulang kapan?" Tanya Anin kemudian.
"Lusa, sayang. Besok malam kan' ada undangan ulang tahun teman kampusku. Tidak enak kalau tak datang karena kebetulan juga aku ada di sini. Hitung-hitung reunian juga. Tidak apa-apa kan', sayang?"
"Oh, ya. Of course. I'm fine." Jawab Anin segera, gelegak rasa marah dan cemburu itu serasa berputar di perutnya. Dia tahu mungkin di dalam kamar itu dari sudut yang tak terlihat olehnya, Ratna sedang menatap mesra suaminya, apa yang mungkin mereka lakukan dalam satu ruangan tertutup bersama, Anin tak bisa membayangkannya.
"Baiklah, aku tutup dulu. Aku mau mandi dulu, sayang. Gerah di sini panas. Biar segar."
Gerah? Sejak kapan puncak cuacanya panas? Apa lagi di musim penghujan seperti ini?
"See you my wife. Nanti malam selepas meeting aku telpon ya, seperti biasa sebelum tidur. Aku tidak bisa tidur kalau belum liat kamu. I love you, muach."
Klik.
Panggilan video call itu berakhir. Anin tak bisa menahan gemuruh dalam dadanya, tangisnya pecah. Dia tak tahu kenapa, dia hanya ingin menangis saja! Wajah Ratna yang selalu ada untuknya dalam suka dan duka itu, teman rasa saudara. Dan itu mungkin sedang berasyik masyuk dengan suaminya di sana. Rasanya, semua roh jahat merasuk dalam dirinya, dia sanggup mencabik-cabik orang karena rada sakit yang sedang di tanggungnya.
"Tidak! Aku harus berdiri sebagai perempuan dalam level yang berbeda, aku tak akan melabrak, menginterogasi mereka sekarang dan berteriak dalam murka serta cemburu. Aku akan mengikuti permainan kalian, ku telusuri semua yang ingin ku ketahui, mempermainkanku ada harganya! Bagi kalian aku adalah victim yang mungkin lemah dan tak berdaya bahkan tak tahu apa-apa,
Tapi permainan baru saja dimulai dari pihakku sayang, jika terbukti kamu berselingkuh di belakangku!"
***
Malamnya, Anin menunggu dengan gelisah telpon dari sang suami, dia sengaja tidak menghubungi lebih dulu.
Mata Anin tertumbuk pada jam dinding, hampir jam sepuluh malam kurang lima menit. Seperti biasa, Galih akan menelponnya rutin jika dia berada di luar kota, Anin tak pernah memintanya begitu tetapi Galih sendiri yang melakukannya dengan suka rela sejak dulu, seperti rutinitas.
Jika melihat seperti ini, sebagai istri, Anin tak pernah mempunyai peluang untuk curiga pada Galih. Dia suami sempurna!
Ocehan Reno yang polos soal di bandara beberapa minggu yang lalu, membuka mata Anin, bahwa rumah tangganya yang tak beriak itu tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Anin beranjak ke kamar mandi, menyikat gigi dan membersihkan wajahnya. Dia tak ingin wajah sembabnya setelah berkali-kali menangis sedari sore tadi. Air mata itu turun sendiri, meski Anin tak menginginkannya.
Dredeeeeeed...
Tanpa perlu menunggu lama ponselnya menggelepar di genggaman, Anin segera menyambut panggilan dari suaminya itu. Seperti biasa video call.
"Hallo, sayang..." Suaminya itu masih dalam balutan kemeja biru malam, terlihat rapih dan tampan meski hampir tengah malam.
"Maaf lambat dua menit dari seharusnya, aku tadi berada di dalam masih, meetingnya belum selesai."
"Tidak apa-apa. Kalau sibuk tidak perlu memaksa telpon." Sahut Anin datar.
"Gigi sudah tidur?"
"Sudah dari jam delapan tadi."
"Oh. Hari ini aku belum dengar suaranya. Besok pagi saja aku telpon dia."
Anin tak menjawab, dia hanya mengangguk.
"Ya, sudah sayang kalau begitu. Aku cuma mau ngabarin kamu. Meetingnya belum selesai, takutnya kamu menunggu."
"Akh, aku tidak terlalu menunggu kebetulan aku sedang membaca novel online saja karena belum mengantuk." Alasan Anin.
"Hey, sayang...aku kan sudah bilang, jangan melototin ponsel terus, baca novel online, nanti matamu sakit lho. Sebaiknya cepat tidur kalau sudah malam. Besok kamu ada rencana kemana?"
Seperhatian itu suaminya itu, adakah yang percaya kalau suaminya itu berselingkuh? Anin mengerutkan dahinya.
"Mengantar Gita sekolah, singgah ke salon mungkin sambil menunggu dia pulang. Mungkin aku perlu creambath sesekali."
"Tuh, aku sudah bilang, sering-sering saja me time. Kamu pasti capek tu di rumah ngurus rumah. Ke salon, perawatan pedi medi, creambath atau apalah...biar kamu rileks dan happy. Di rekening masih ada kan? Aku transfer lagi? Ada kartu kredit yang ku kasih itu jarang kamu pakai, jangan di tahan-tahan sayang, aku kerja buat kamu dan Gita. Yang menghabiskan duitku siapa kalau kamu kikir begitu." Suara tawa renyah suaminya itu, berdengung di telinga Anin.
Suaminya ini, selalu saja membuatnya tak punya keluhan apapun.
"Aku mau mengajak Ratna menemaniku besok ke salon, kami berdua sudah hampir satu bulan ini tak bertemu." Ucap Anin tiba-tiba. Dan seperti harapan Anin, dia melihat sejenak wajah suaminya itu terkesiap.
"Rat...Ratna?"
"Ya."
"Oh, tentu saja." Sahut Galih kemudian, lalu kembali menjadi tenang. Senyumnya mengembang.
"Tapi, nomornya tak bisa di hubungi seharian ini " Anin mengerutkan dahinya seolah-olah dia kebingungan.
"Mungkin dia belum pulang dari Jogja." Galih berdalih.
"Oh, ya? Apa kamu tahu kabarnya?"
"Akh, ti..tidak. Aku hanya menebak saja." Jawab Galih, sekarang Anin bisa menangkap sesungguhnya raut itu terlihat ragu ketika dia meneliti dengan sungguh-sungguh.
"Oke, baiklah ayang...besok pagi aku coba hubungi dia, aku juga rindu padanya. See you tommorow. Jaga kesehatan, jangan tidur terlalu malam. Kalau sudah beres meetingnya sebaiknya istirahat, kamu terlihat capek dari biasanya." Kalimat penutup dari Anin serupa sindiran, tentu saja wajah Galih terlihat berbeda dari biasanya, dia berusaha menyembunyikan sesuatu tentang keberadaan Ratna. Mendengar Anin mencarinya barang tentu dia kelabakan, orang yang sedang di bicarakan mereka sedang berbaring rileks dengan lingerie warna merahnya, menunggu Galih kembali ke kamar.
"Sayang, aku tidak terlalu capek kok, melihat wajahmu malam ini aku kembali segar bugar."Sambut Galih sambil mengedipkan mata pada Anin.
Selama ini, hati Anin akan bertebaran bunga seribu kembang jika di lontarkan kalimat rayu seperti itu dari suaminya tetapi malam ini dia merinding hingga perutnya mulas oleh rasa jijik. Rayuan itu sungguh membuat isi perutnya bergolak.
"Cepat pulang lusa ya, Gigi sering nanya papanya."
"Tentu saja, akupun tak betah di sini, aku rindu rumah. home sweet home."
Anin menelan ludahnya, dia nyaris mengeluarkan serapah.
BOHONG! PENDUSTA! Kamu tak pernah merindukan rumah, sandiwaramu benar-benar tak bercela, sementara kamu memadu nafsu dengan si ****** sahabatku sendiri!
Tentu saja kalimat itu, hanya tertahan di tenggorokannya.
"Selamat malam, Ayang," Senyum kecut di kirimkan Anin
"Selamat malam juga sayang, i love you so much. Muach..."
Bersikap semuanya baik-baik saja itu ternyata sulit! Air mata Anin mengalir begitu saja seolah kelenjar rongga matanya itu telah mati rasa, cairan itu keluar tanpa di sadarinya malah.
"Berhenti menangis, Anindya! Kamu telah memboroskan air matamu yang berharga untuk para pengkhianat." Pekik suara hatinya.
Anin mengusap air matanya dengan kasar. Matanya beralih pada Gita yang tertidur nyenyak di atas ranjang.
Wajah polos itu sungguh tak tahu apa-apa, dia tak akan menunjukkan kesedihannya di depan gadis kecilnya ini.
"Aku bukan layangan putus! Kita akan lihat seperti apa semuanya ini akan berakhir. Apapun alasanmu, mengkhianatiku yang telah setia padamu bukan hal yang mudah untuk ku maafkan. Ratna, kita teman sejak lama, semua tentangku tak ada yang tak kau tahu tapi jika kamu merampas suamiku maka ku ciftakan neraka untukmu!"