Satu demi satu kematian terjadi di sekolah.
Jika di waktu biasa, orang tua mereka akan langsung menuntut balas. Tapi bahkan sebelum mereka cukup berduka, perusahaan mereka telah hancur. Seluruh keluarga dipenjara.
Mantan anak yang di bully mengatakan, "Jelas ini adalah karma yang Tuhan berikan, atas perbuatan jahat yang mereka lakukan."
Siswa lainnya yang juga pelaku pembully ketakutan, khawatir mereka menjadi yang selanjutnya. Untuk pertama kalinya selama seratus tahun, sekolah elit Nusantara, terjadi keributan.
Ketua Dewan Kedisiplinan sekaligus putra pemilik yayasan, Evan Theon Rodiargo, diam-diam menyelidiki masalah ini.
Semua kebetulan mengarahkan pada siswi baru di sekolah mereka. Tapi, sebelum Evan menemukan bukti. Seseorang lebih dulu mengambil tindakan.
PERINGATAN MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cerryblosoom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 HUTANG DI MASA KECIL
Di dalam gudang anehnya cukup bersih. Ada tumpukan kayu di bagian tengah yang sangat mencolok. Seharusnya dalam waktu yang lama kayu menjadi lapuk. Tapi kayu disini masih sangat bagus tanpa ada rayap yang menyerang.
Aria terus mencari setiap sudut, tapi dia masih belum juga menemukan apa yang dia cari.
Dia berhenti di tempat, mencoba memikirkan, dimana yang mungkin dijadikan tempat persembunyian di tempat seperti ini. Matanya melihat sekeliling, dan berhenti di tumpukan kayu. Terlihat sangat mencolok, jika memang ada sesuatu di bawahnya, maka orang lain akan kesulitan mencari.
Aria berjalan mendekati tumpukan kayu. Dia berhenti pada satu tempat yang terlihat mencurigakan
"Rupanya disembunyikan disini," gumam Aria.
...----------------...
Satu jam kemudian.
Aria sudah berada di depan toko kelontong. Dia masih harus bekerja malam ini.
Meski pemilik toko sudah memberinya keringanan sebagai pelajar. Aria masih tahu untuk tidak memanfaatkannya secara keterlaluan. Setidaknya untuk saat ini, karena dia masih membutuhkan uang dan alibi.
"Kamu sudah datang, Aria," sambut Aron seperti biasa.
"Ya, kak, aku akan berganti baju dulu," balas Aria.
Aron mengangguk, melambaikan tangan dan berkata, "Pergilah."
Tidak butuh waktu lama, bagi Aria untuk berganti pakaian, setelah selesai, dia langsung menghampiri tempat Aron berada.
"Aku akan bantu," kata Aria sambil berjongkok disamping Aron.
"Baiklah," balas Aron tidak menolak.
Keduanya mulai bekerja sama mendisplay barang di rak yang telah habis. Dengan tambahan satu orang pekerjaan pun menjadi lebih cepat selesai.
"Akhirnya selesai juga," Aron mendesah lega. Dia menepuk tangannya di udara. Lalu merenggangkan pinggang ke kiri dan kanan, sambil berkata, "Aku sudah mengerjakan semua ini dari tadi sore, tapi tidak selesai-selesai. Untung kamu membantuku. Jika tidak, mungkin aku sudah membuat semua ini berantakan saking kesalnya."
"Bagus jika aku membantu," kata Aria.
"Itu sudah jelas.... Ngomong-ngomong bagaimana ujianmu hari ini. Apa sulit?"
Keduanya membereskan peralatan yang tidak perlu, lalu kembali ke meja kasir. Beberapa pelanggan baru saja terlihat masuk ke toko.
"Biasa saja," jawab Aria sama seperti jawaban-jawaban sebelumnya.
Aron memiringkan kepala, "Sejak kemarin kamu berkata biasa saja, apa kamu berbohong padaku??"
"Tidak."
"Hmm, mungkinkah Nusantara High School sudah menurunkan standar mereka," Aron membuat pose berpikir.
Aria hanya mengedikkan bahu tidak tahu. Dia memang tidak tahu standar kesulitan di sekolah.
"Hanya ini saja, kak," kata Aria menyambut pelanggan.
Pelanggan itu mengangguk, sambil melihat sekeliling.
"Totalnya 127.000, kami ada promo-"
"Itu saja," potong pelanggan cepat. "Ini uangnya kembaliannya ambil saja."
"Terima kasih," balas Aria masih tersenyum ramah.
Pelanggan itu tak menatap Aria sama sekali, dia langsung membawa barang di meja, dan pergi dari toko.
"Sepertinya dia tidak dari sini," celetuk Aron.
Aria diam, dia sibuk memasukkan uang ke dalam laci meja.
"Aku baru pertama kali melihatnya. Dia juga masuk ke mobil yang terlihat mahal," Aron terus memperhatikan sampai mobilnya pergi, "Dari arahnya pergi, sepertinya dia akan menuju sekolahmu, Aria. Apa kamu familiar dengan wajahnya?"
Aria mendongak, melihat jalanan yang sudah sepi, "Mungkin itu guru atau seorang tamu."
"Yahh, itu tidak penting. Tapi Aria aku penasaran satu hal. Kenapa kamu memilih datang ke kota ini sendirian. Maksudku Malangit sangat jauh. Dan kamu bilang orang tuamu-" Aron tak berani melanjutkan. Hal itu terlalu sensitif.
Aria terdiam, dia tak mungkin mengatakan yang sejujurnya, bahwa dia ingin balas dendam.
"E, tidak apa jika kamu tak ingin menjawab, Aria. Aku sepertinya terlalu banyak bertanya," kata Aron tak enak.
"Tidak, kak. Aku kesini untuk mencari teman lama," balas Aria membuat alasan. Hanya itu satu alasan yang terpikirkan olehnya. Kebetulan dia punya seorang teman lama yang bisa dijadikan alasan.
Mendengar itu, Aron mengerutkan dahi, dia bertanya, "Teman? Gadis atau seorang pria?"
"Emm, pria," kata Aria dengan nada ragu.
Mata Aron melotot, apa ini semacam mengejar cinta monyet. Di otaknya muncul bayangan, Aria kecil bertemu bocah buaya yang membuat janji untuk menikah saat besar. Tapi kemudian bocah itu pergi tanpa kabar. Lalu Aria mencarinya ke kota sendirian dengan mengandalkan janji itu. Dan yang terjadi bocah itu sudah memiliki kekasih yang lain. Aria yang putus cinta berakhir bunuh....
"Tidak boleh!" seru Aron lantang.
Aria menghentikan gerakannya, menoleh dengan heran, dia hanya ingin mengambil alat kebersihan.
"Aku hanya-"
"Aria, kamu tidak boleh mencari bocah cecunguk itu," kata Aron memperjelas maksudnya.
"Bocah cecunguk apa?" tanya Aria tak mengerti.
"Siapa lagi kalau bukan cinta monyet mu itu."
Aria menunjuk dirinya sendiri, "Cinta monyetku," otaknya memikirkan pembicaraan sebelumnya. Seingatnya dia hanya mengatakan mencari seorang teman. "Ah, apa maksudnya teman pria itu adalah cinta monyetku," batinnya tersadar.
Melihat Aria yang terdiam lama, Aron semakin yakin, Aria pasti menganggap itu cinta sejati.
"Aria, kamu tidak boleh tertipu. Bocah cecunguk itu pasti sudah membohongimu. Dia tidak benar-benar menyukaimu."
"Kak Aron salah paham," kata Aria lemah.
"Jangan membelanya, Aria aku tahu kamu sangat polos, bocah itu pasti yang telah memanfaatkan kepolosan dan ketulusan mu," Aron menggertakkan gigi menahan amarah.
Melihat itu Aria hanya bisa mendesah tak berdaya. Jelas bukan itu maksudnya. Tapi masalahnya dia tidak pandai menjelaskan.
"Katakan padaku siapa bocah itu, aku akan menghajar nya," Aron membuat ancang-ancang meninju.
Aria menggeleng pelan, "Aku tidak tahu namanya."
Aron tercengang, "Hah! Bagaimana bisa!? Bagaimana bisa kamu tidak tahu namanya."
"Hemm, entahlah," Aria menopang dagu berpikir, nyatanya dia tidak tahu nama bocah lelaki itu. Saat bertemu mereka berdua sama-sama memberikan nama samaran. Tapi Aria yakin satu hal bocah kecil itu ada di ibukota, dia berkata dengan santai, "Yang pasti, dia ada di kota ini."
Aron tiba bisa berkata-kata, jika adik perempuannya yang melakukan ini, dia bisa dibuat mati berdiri.
"Aria, aku semakin yakin kamu bertemu penipu, itu pasti bocah breng-," Aron tak melanjutkan, dia tak bisa mengumpat di depan Aria. Dia hanya bisa menghelas nafas berat, kemudian berkata, "Entah bagaimana bisa, hahhh, aku tidak habis fikir, ibukota sangatlah luas, bahkan ada ribuan orang memiliki nama yang sama, dan kamu bahkan tidak tahu namanya. Tapi itu hal bagus, kamu tak perlu mencarinya lagi, lupakan bocah itu."
Aria hanya diam, dia tak membantah ataupun menyela. Dia tidak benar-benar ingin mencari bocah yang telah dia selamatkan itu. Lagipula itu sudah terjadi lama sekali. Setidaknya empat atau lima tahun yang lalu. Aria bahkan sudah melupakan wajahnya.
Tidak mungkin kan dia tiba-tiba mencarinya, hanya untuk menagih utang pertolongan hari itu.
Aria meraba dadanya, tempat dimana cincin yang telah dia jadikan liontin. Bocah itu memberikan benda ini sebagai jaminan. Aria selalu memakai nya selama ini. Bukan untuk harapan bertemu lagi dengannya. Dia hanya sesaat melupakannya. Terlalu banyak yang terjadi setelah pertemuan itu.
"Tidak kusangka tiba-tiba aku mengingatnya," Aria mendesah dalam hati.
Baru sekarang dia mengingatnya lagi. Mungkin hal yang bagus, dia menggunakan nama bocah itu sebagai alasan. Anggap ini sebagai hutang pertolongannya waktu itu. Dengan alasan ini tak akan ada yang mencurigai nya, yang tiba-tiba merantau ke kota tanpa sanak saudara.
Alasan terlibat cinta sepihak, lalu ditipu bocah nakal, lebih mudah dipercaya, mengingat wajahnya yang terlihat lugu dan polos.
"Aria kamu mendengar ku kan," desak Aron yang melihat Aria diam melamun lagi, "Jangan cari bocah itu lagi!"
"Ya, kak," balas Aria.
"Benar ya, kamu tidak membohongiku kan," Aron menjadi curiga, lantaran Aria yang menyetujuinya dengan sangat cepat.
Aria hanya mengangguk, ekspresinya sangat jujur.
"Baiklah, aku percaya padamu, aku tahu kamu anak baik," Aron mendesah lega. Tapi diam-diam dia mengutuk bocah penipu itu dalam hatinya. "Jangan biarkan aku bertemu dengan bocah itu. Atau aku akan menghabisinya."