abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Suara dari Kegelapan
lAngin dingin malam itu bertiup begitu kencang, menyapu pepohonan yang ada di luar kastil, menciptakan suara gemerisik yang menyerupai bisikan. Isabella menutup jaket tebalnya lebih erat, merasakan hawa dingin yang menggerogoti kulit. Langkah-langkahnya terdengar menggema di jalan setapak berbatu, menuju pintu besar kastil Belmorn yang menjulang tinggi. Dinding kastil yang terbuat dari batu tua tampak lusuh dan penuh lumut, seolah-olah telah bertahun-tahun tidak pernah tersentuh sinar matahari. Suasana yang suram ini semakin diperburuk dengan kabut yang menyelimuti sekitar kastil, membuatnya tampak seperti bangunan yang terperangkap dalam waktu.
Isabella menoleh ke belakang, melihat sepuluh teman dekatnya mengikuti langkahnya. Mereka tampak penuh semangat, meskipun ada kecanggungan yang tak bisa disembunyikan. Beberapa di antara mereka pertama kali datang ke tempat terpencil ini, sementara yang lain—termasuk Isabella—merasa ada sesuatu yang tak biasa tentang kastil ini. Namun, semua kesan itu ditutupi dengan antusiasme liburan. Mereka ingin menikmati liburan musim dingin di sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota.
“Selamat datang di Kastil Belmorn,” suara seorang pria tua muncul dengan tiba-tiba, mengalihkan perhatian mereka dari suasana di sekitar kastil. Wajah pria itu tak begitu jelas terlihat, terhalang bayang-bayang dari lampu minyak yang dipasang di dinding kastil. Sosoknya kurus dan tinggi, mengenakan jas hitam yang tampak kotor dan usang. "Saya penjaga kastil ini. Silakan masuk, para tamu terhormat."
Isabella menatap pria itu dengan rasa penasaran yang semakin dalam. Ada sesuatu yang aneh dalam cara pria itu berbicara, seolah-olah ia tahu lebih banyak daripada yang ia ungkapkan. Namun, mereka tidak punya pilihan selain mengikuti ajakan pria itu dan memasuki gerbang kastil yang terbuka perlahan. Gerbang besar itu berderit, seperti mengeluarkan suara keluhan dari sebuah masa lalu yang terlupakan.
Saat mereka melangkah memasuki kastil, hawa dingin semakin terasa. Dinding-dinding batu yang dingin dan gelap memantulkan cahaya temaram dari lampu minyak yang menggantung, menciptakan bayang-bayang yang panjang dan menakutkan di setiap sudut. Langkah kaki mereka menggema di sepanjang lorong-lorong panjang, yang di beberapa tempat terlihat berdebu dan tertutup belukar tanaman liar yang merayap ke dalam bangunan. Setiap pintu yang mereka buka terasa berat dan berderit, seakan melawan mereka yang ingin menjelajah.
"Sepertinya ini kastil yang... agak suram," ujar Jonathan, teman dekat Isabella, sambil menyeringai dan menatap keliling. Wajahnya tampak ceria seperti biasa, namun ada kilatan ketidaknyamanan di matanya.
“Apa kau pikir ini lebih menakutkan daripada yang kita bayangkan?” Tanya Maria, sahabat dekat Isabella, dengan nada yang sedikit gemetar. "Aku merasa seolah ada yang mengawasi kita."
Isabella hanya mengangguk pelan, berusaha menenangkan diri. Namun, perasaan aneh itu semakin lama semakin kuat. Lorong-lorong yang gelap ini seperti memiliki kehidupan sendiri, dan langkah kaki mereka seolah-olah membuat udara di sekitar terasa semakin berat.
Malam itu, mereka makan malam bersama di ruang makan besar, yang memiliki perapian besar yang menyala dengan api yang hangat. Makanan yang disajikan sederhana, namun cukup lezat. Namun, Isabella tidak bisa menghilangkan rasa cemas di dadanya. Suasana kastil yang begitu sunyi, dipadukan dengan kenyataan bahwa mereka berada begitu jauh dari dunia luar, membuat ketegangan tak terhindarkan. Setelah makan malam, mereka memilih untuk beristirahat di kamar masing-masing.
Isabella masuk ke dalam kamarnya yang besar. Dinding-dindingnya dipenuhi lukisan tua, dan tirai-tirai tebal menutupi jendela besar yang menghadap ke luar. Lampu minyak menyala dengan redup di samping ranjang besar yang dilapisi kain sutra. Meski terlihat nyaman, ruangan itu tetap memberi kesan seram. Isabella melepaskan jaketnya, berbaring di atas ranjang, mencoba menenangkan pikiran yang terus bergolak.
Namun, malam semakin larut, dan sebuah suara ketukan datang dengan pelan, seolah memecah kesunyian malam yang hening. Tiga ketukan pendek yang menggetarkan pintu kamarnya. Isabella terdiam, matanya terbuka lebar. Ketukan itu terdengar sangat jelas, meski di luar kamar, tidak ada suara langkah kaki atau aktivitas lain yang terdengar.
“Siapa itu?” Isabella berbisik pelan, tetapi tidak ada jawaban. Ia mengintip melalui lubang kunci pintu, namun tak ada siapa-siapa di luar sana. Hanya lorong gelap yang menanti.
Perasaan aneh itu semakin menguat. Isabella merasa ada sesuatu yang salah. Ketika ia mundur dari pintu, tiba-tiba sebuah bayangan gelap melintas cepat di ujung lorong, hanya terlihat sekilas sebelum lenyap. Isabella terlonjak, jantungnya berdetak kencang. Tetapi, sebelum ia bisa bergerak, suara jeritan keras terdengar dari arah ruang bawah tanah. Itu bukan sekadar jeritan biasa. Jeritan yang penuh dengan rasa takut, seolah-olah kehidupan seseorang sedang direnggut dengan kejam.
Dengan terburu-buru, Isabella berlari keluar kamar dan menuju ke tempat asal suara. Teman-temannya sudah berkumpul di depan pintu ruang bawah tanah, wajah mereka pucat dan ketakutan. Elisa, salah satu teman mereka, terbaring tak bernyawa di lantai. Tubuhnya penuh dengan luka-luka yang mengerikan. Di sekitar tubuhnya terdapat genangan darah, sementara di atas dinding, dengan darah yang masih segar, ada tulisan yang tampaknya sengaja ditorehkan: “Mereka akan datang.”
Jonathan tersentak, wajahnya pucat pasi. “Apa yang terjadi padanya? Siapa yang melakukan ini?”
Maria berlari ke sisi tubuh Elisa, menunduk dengan penuh ketakutan. “Ini... ini bukan kecelakaan, ini pembunuhan!” suara Maria bergetar, sukar untuk dipahami.
Isabella memandang sekeliling, merasakan ada sesuatu yang mengawasi mereka. Semua pintu terkunci, dan mereka terperangkap di dalam kastil ini. Keheningan yang mencekam menambah rasa takut yang semakin menguasai diri mereka. “Kita harus segera pergi dari sini,” Viktor, yang biasanya lebih pendiam, berkata dengan suara rendah, “Ini bukan tempat yang aman.”
Namun, sesuatu menahan mereka. Suasana semakin tegang, udara semakin berat, dan Isabella mulai merasakan adanya kekuatan gelap yang bermain di kastil ini. Sebuah kekuatan yang sudah lama ada, yang telah menunggu saat yang tepat untuk mengambil korban.
Isabella merasa seolah mereka terjebak dalam sebuah permainan yang jauh lebih mengerikan dari yang mereka bayangkan. Kastil ini bukan hanya sebuah tempat, melainkan sebuah penjara yang menyimpan rahasia kelam, yang siap menelan mereka satu per satu.
Keheningan itu akhirnya pecah dengan suara langkah kaki berat yang datang dari lorong yang gelap. Langkah-langkah itu mendekat dengan cepat, seperti sesuatu yang mengejar mereka.
"Apa itu?" tanya Jonathan dengan suara tercekat, tapi tak ada jawaban.
Di tengah ketegangan yang semakin mencekam, Isabella tahu satu hal: mereka tidak bisa kembali. Teror yang sebenarnya baru saja dimulai.