Namaku Delisa, tapi orang-orang menyebutku dengan sebutan pelakor hanya karena aku berpacaran dengan seseorang yang aku sama sekali tidak tahu bahwa orang itu telah mempunyai pacar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Hari itu langit cerah, angin sepoi-sepoi menghembus lembut di halaman rumah keluarga Azka. Setelah beberapa hari dirundung kekhawatiran, akhirnya orang tua Azka sudah pulih sepenuhnya dan kembali ke rumah. Berita itu membuat Delisa merasa lega. Ia sudah tak sabar untuk mengunjungi mereka bersama kedua orang tuanya.
“Mamah, Papah, ayo kita segera berangkat. Kasihan Tante dan Om kalau kita terlambat,” ujar Delisa sambil memeriksa isi tasnya untuk memastikan membawa buah-buahan dan bingkisan lainnya.
“Iya, sabar dong, Sayang,” jawab Papahnya sambil tertawa kecil.
Setelah semuanya siap, mereka bertiga berangkat ke rumah Azka. Perjalanan tak terlalu jauh, hanya sekitar 20 menit dari rumah Delisa. Sepanjang jalan, Delisa tak henti-hentinya memikirkan Azka. Ia tahu betapa beratnya situasi yang telah dilalui oleh Azka dalam beberapa hari terakhir. Ia berharap kehadirannya bisa sedikit meringankan beban yang dirasakan oleh pacarnya itu.
Sesampainya di rumah Azka, mereka disambut dengan senyuman hangat oleh ibunya Azka yang sudah terlihat lebih segar. Ayah Azka pun tampak duduk di sofa dengan wajah yang kembali ceria.
“Om, Tante, syukurlah kalian sudah pulih. Kami semua khawatir banget,” ucap Papah Delisa sambil menjabat tangan Ayah Azka.
“Terima kasih, Mas. Alhamdulillah, sekarang kami sudah jauh lebih baik. Terima kasih juga sudah datang,” jawab Ayah Azka dengan tulus.
Delisa mendekat ke arah ibunya Azka dan memeluknya dengan lembut. “Tante, aku senang banget Tante sudah sehat,” katanya dengan suara lembut.
“Terima kasih, Nak Delisa. Tante juga senang sekali kamu mau menjenguk. Tante banyak dengar dari Azka, kamu sangat perhatian,” jawab Ibu Azka sambil tersenyum.
Tak lama, Azka muncul dari dapur sambil membawa beberapa gelas teh manis. Melihat Delisa, senyumnya langsung merekah. “Hei, Del! Kamu datang!”
Delisa tersenyum kecil dan mengangguk. “Tentu saja aku datang. Mana mungkin aku nggak datang menjenguk keluargamu.”
Azka tertawa kecil dan menempatkan gelas-gelas teh di meja. Ia kemudian duduk di samping Delisa. “Kamu nggak tahu betapa senangnya aku sekarang. Rasanya seperti beban besar sudah terangkat,” kata Azka dengan nada lega.
Mereka semua kemudian duduk bersama di ruang tamu, berbincang-bincang ringan. Mamah dan Papah Delisa tampak akrab berbincang dengan orang tua Azka, membahas berbagai hal, mulai dari kesehatan hingga rencana-rencana ke depan. Sementara itu, Azka dan Delisa lebih banyak berbicara dengan nada pelan, tak ingin mengganggu pembicaraan para orang tua.
“Terima kasih sudah mendukungku, Del,” bisik Azka sambil menatap gadis itu dengan penuh rasa terima kasih.
Delisa hanya tersenyum. “Aku selalu ada buat kamu, Azka. Jangan ragu untuk berbagi apa pun denganku.”
Azka mengangguk, merasa semakin beruntung memiliki Delisa di sisinya.
...****************...
Tak lama, Ibu Azka mengajak mereka semua ke meja makan. “Ayo, kita makan siang bersama. Meski sederhana, mudah-mudahan bisa dinikmati.”
Di meja makan, suasana terasa begitu hangat. Hidangan sederhana seperti ayam goreng, sayur asem, dan sambal terhidang dengan rapi. Semua menikmati makan siang itu sambil melanjutkan obrolan mereka.
“Azka ini memang anak yang kuat,” kata Papah Delisa sambil melirik Azka. “Kamu hebat bisa tetap tegar mendampingi orang tuamu dalam situasi sulit seperti kemarin.”
Azka hanya tersenyum malu. “Terima kasih, Om. Semua itu karena dukungan dari Delisa juga.”
Ucapan Azka membuat Delisa tersipu, namun ia merasa bahagia mendengar pengakuan itu.
“Delisa juga anak yang baik,” tambah Ibu Azka. “Tante sangat bersyukur Azka punya seseorang seperti kamu.”
Delisa hanya bisa tersenyum sambil menunduk, merasa terharu mendengar pujian itu. Ia tahu bahwa hubungannya dengan Azka bukan hanya sekadar hubungan antar pasangan, tetapi juga melibatkan hubungan yang erat antara kedua keluarga mereka.
...****************...
Setelah makan siang, Azka mengajak Delisa keluar ke halaman belakang. Mereka duduk di bangku kecil yang berada di bawah pohon mangga, menikmati angin sepoi-sepoi.
“Del, aku nggak tahu bagaimana jadinya kalau kamu nggak ada,” kata Azka tiba-tiba.
Delisa menoleh, sedikit bingung. “Maksudmu?”
“Aku benar-benar merasa lemah saat melihat orang tuaku di rumah sakit. Tapi setiap kali ingat kamu, aku merasa punya kekuatan lagi. Kamu memberiku alasan untuk tetap kuat,” jelas Azka dengan suara pelan.
Delisa merasa matanya sedikit berkaca-kaca. Ia tahu Azka bukan tipe orang yang sering mengungkapkan perasaannya, jadi mendengar kalimat itu membuat hatinya hangat.
“Kamu juga harus tahu, Azka, aku selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi,” jawab Delisa sambil menggenggam tangan Azka.
Azka tersenyum dan menggenggam tangan Delisa lebih erat. “Aku nggak akan pernah melupakan semua yang sudah kamu lakukan untukku, Del.”
Mereka duduk di sana selama beberapa saat, menikmati momen kebersamaan tanpa banyak bicara. Hanya keheningan yang diisi oleh suara burung dan angin yang berhembus lembut.
...****************...
Setelah beberapa jam berbincang dan menghabiskan waktu bersama, akhirnya Delisa dan kedua orang tuanya berpamitan untuk pulang.
“Om, Tante, terima kasih atas kunjungannya. Kami sangat menghargai,” kata Ayah Azka sambil berjabat tangan dengan Papah Delisa.
“Tidak masalah, Mas. Kami juga senang melihat kalian sudah pulih,” jawab Papah Delisa dengan tulus.
Ibu Azka memeluk Delisa sekali lagi sebelum mereka pergi. “Delisa, jangan sungkan untuk datang lagi, ya. Tante senang sekali kalau kamu main ke sini.”
Delisa mengangguk dengan senyuman manis. “Pasti, Tante. Aku pasti akan datang lagi.”
Azka mengantar Delisa hingga ke depan mobil. Sebelum Delisa masuk, ia berbisik pelan, “Terima kasih sudah datang hari ini. Kamu benar-benar membuat hariku lebih baik.”
Delisa hanya tersenyum dan berkata, “Aku akan selalu ada untukmu, Azka.”
Mobil pun melaju, meninggalkan rumah Azka. Di dalam mobil, Delisa merasa lega dan bahagia. Ia tahu bahwa meski sempat mengalami masa-masa sulit, ia dan Azka selalu memiliki satu sama lain untuk saling mendukung.
Sementara itu, Azka berdiri di depan rumahnya, menatap mobil Delisa yang semakin menjauh. Ia merasa bersyukur memiliki Delisa, seseorang yang bukan hanya menjadi pacar, tetapi juga partner sejati dalam menghadapi setiap lika-liku kehidupan.
Saat mobil mulai menjauh dari rumah Azka, Delisa melirik ke luar jendela, membayangkan senyuman Azka yang baru saja ia tinggalkan. Ia merasa lega karena hari ini menjadi momen untuk mempererat hubungan mereka, baik sebagai pasangan maupun antar keluarga.
"Mamah, Papah, tadi aku merasa seperti keluarga di sana. Om dan Tante sangat baik," ujar Delisa pelan.
Mamahnya tersenyum. "Itu karena mereka juga menganggapmu istimewa, Del. Kamu beruntung punya hubungan yang baik seperti ini."
Sementara itu, di rumahnya, Azka duduk di teras, mengingat setiap momen kebersamaannya dengan Delisa hari itu. Ia bertekad untuk selalu menjaga hubungan mereka, apapun yang terjadi. Hari itu terasa istimewa, seperti batu loncatan menuju hubungan yang lebih dalam dan penuh makna.