Namaku Delisa, tapi orang-orang menyebutku dengan sebutan pelakor hanya karena aku berpacaran dengan seseorang yang aku sama sekali tidak tahu bahwa orang itu telah mempunyai pacar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Minggu pagi itu terasa lebih cerah dari biasanya. Matahari bersinar lembut, angin sepoi-sepoi menyapu dedaunan, dan langit biru tanpa awan seolah memanggil siapa pun untuk keluar rumah. Delisa berdiri di depan cermin kamar, mengenakan dress santai berwarna biru muda dengan motif bunga kecil. Ia tersenyum lebar sambil merapikan rambutnya.
Hari ini, ia akan pergi ke pantai bersama Azka. Akhir-akhir ini, momen mereka berdua terasa lebih berharga, terutama setelah berbagai cobaan yang sempat mengguncang hubungan mereka. Ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Delisa, hari di mana mereka bisa menghabiskan waktu berdua tanpa gangguan.
Azka tiba tepat pukul 8 pagi, mengenakan kaos putih sederhana dan celana jeans pendek. Ia membawa ransel kecil di punggungnya, lengkap dengan kacamata hitam yang membuatnya terlihat lebih santai.
“Kamu siap?” tanya Azka sambil tersenyum lebar.
Delisa mengangguk, menggenggam tas kecilnya. “Siap dong. Kamu bawa apa di tas itu? Bekal?” tanyanya penasaran.
Azka terkekeh. “Rahasia. Nanti juga kamu tahu.”
Perjalanan menuju pantai diiringi obrolan ringan dan tawa kecil. Mereka menaiki motor Azka, melewati jalanan yang mulai ramai oleh orang-orang yang juga ingin menikmati akhir pekan. Delisa memeluk pinggang Azka erat-erat, menikmati angin yang menerpa wajahnya.
Setelah sekitar satu jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di pantai. Hamparan pasir putih, deburan ombak, dan aroma laut langsung menyambut mereka. Suasana pantai sudah cukup ramai, tetapi tetap terasa damai. Delisa memandang sekeliling dengan mata berbinar-binar.
“Indah banget,” ucapnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Azka tersenyum di sampingnya. “Aku tahu kamu bakal suka. Makanya aku pilih pantai ini.”
Mereka berjalan menyusuri pasir pantai, mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Azka membuka ranselnya dan mengeluarkan tikar kecil, yang langsung ia bentangkan di bawah pohon kelapa yang rindang. Delisa duduk dengan hati-hati, sementara Azka mengeluarkan beberapa kotak makanan dan botol minuman.
“Kamu bawa makanan juga? Wah, lengkap banget!” seru Delisa dengan mata berbinar.
Azka mengangkat bahu santai. “Aku tahu kamu bakal lapar setelah main air. Jadi, aku siap-siap dari tadi malam.”
Delisa tersenyum manis. “Kamu perhatian banget, ya. Aku jadi makin sayang.”
Azka tertawa kecil. “Bagus dong. Jangan sampai ada yang ngalahin aku di hatimu.”
Setelah duduk sejenak, mereka memutuskan untuk berjalan di tepi pantai. Delisa melepas sandal, membiarkan kakinya bersentuhan dengan pasir lembut. Ombak kecil sesekali menyentuh kakinya, membawa sensasi dingin yang menyegarkan.
Azka menggenggam tangan Delisa dengan lembut. “Kamu kelihatan bahagia banget hari ini,” katanya.
Delisa mengangguk, memandang Azka dengan mata berbinar. “Tentu saja. Aku bersama orang yang paling aku sayang, di tempat seindah ini. Apa lagi yang kurang?”
Azka tersenyum, lalu berhenti berjalan. Ia memutar tubuh Delisa hingga mereka saling berhadapan. “Aku juga bahagia, Lis. Bisa lihat kamu tersenyum seperti ini, rasanya semua masalah kemarin nggak ada artinya.”
Delisa tersipu, merasakan pipinya memanas. Ia menunduk sejenak, lalu berkata pelan, “Terima kasih, ya, Ka. Kamu selalu bikin aku merasa istimewa.”
Azka mengangguk. “Itu karena kamu memang istimewa.”
Mereka melanjutkan berjalan hingga ke bagian pantai yang lebih sepi. Delisa melihat beberapa anak kecil sedang bermain pasir bersama keluarga mereka. Ia berhenti sejenak, memperhatikan anak-anak itu dengan senyum tipis.
“Kamu suka anak kecil?” tanya Azka tiba-tiba.
Delisa mengangguk. “Suka banget. Mereka lucu dan polos. Kalau lihat mereka, rasanya dunia jadi lebih indah.”
Azka tersenyum kecil, lalu bergumam, “Kalau nanti kita punya anak, aku yakin mereka bakal lucu seperti kamu.”
Delisa membelalakkan mata, wajahnya langsung memerah. “Ka! Jangan ngomong yang aneh-aneh!” protesnya sambil memukul pelan lengan Azka.
Azka tertawa lepas. “Lho, aku serius, kok. Masa kamu nggak percaya?”
Delisa hanya menggelengkan kepala, mencoba menyembunyikan rasa malunya. Mereka pun kembali ke tempat mereka duduk sebelumnya.
Azka mengeluarkan ponsel dan berkata, “Ayo, kita foto bareng. Nggak lengkap rasanya kalau nggak ada kenangan dari hari ini.”
Delisa setuju. Mereka mengambil beberapa foto, dari selfie berdua hingga pemandangan pantai di belakang mereka. Azka bahkan mencoba memotret Delisa diam-diam saat gadis itu sedang tertawa.
“Ka, jangan candid!” protes Delisa saat menyadari aksinya.
“Kenapa? Kamu kelihatan cantik banget tadi,” jawab Azka santai.
Delisa hanya bisa menghela napas dan tersenyum kecil. Ia merasa beruntung memiliki Azka, seseorang yang selalu tahu cara membuatnya merasa istimewa.
Setelah makan siang bersama, mereka memutuskan untuk bermain air di tepi pantai. Delisa berlari-lari kecil, mencoba menghindari ombak yang datang, sementara Azka mengejarnya sambil tertawa.
“Ka, kamu basah semua!” seru Delisa sambil tertawa terbahak-bahak.
Azka mengangkat bahu. “Nggak apa-apa. Yang penting kamu senang.”
Mereka bermain hingga lelah, lalu kembali duduk di tikar. Sore mulai menjelang, dan matahari perlahan turun ke ufuk barat, menciptakan pemandangan indah yang tak terlupakan. Delisa bersandar di bahu Azka, menikmati momen tersebut dengan damai.
“Ka,” panggil Delisa pelan.
“Hm?” Azka menoleh sedikit.
“Terima kasih, ya. Hari ini benar-benar hari yang indah. Aku nggak akan pernah melupakan ini.”
Azka tersenyum, lalu mengecup pelan puncak kepala Delisa. “Aku juga, Lis. Aku senang bisa melihat kamu bahagia. Kamu adalah orang terpenting dalam hidupku.”
Delisa merasa hatinya menghangat mendengar kata-kata itu. Mereka berdua duduk dalam keheningan, menikmati pemandangan matahari terbenam yang begitu memesona. Hari itu, Delisa menyadari satu hal: kebahagiaan sejati adalah saat ia bersama orang-orang yang ia cintai, seperti Azka.
Malam pun tiba, dan mereka bersiap untuk pulang. Delisa merasa lelah, tetapi hatinya begitu penuh dengan kebahagiaan. Ia tahu hari itu akan menjadi salah satu kenangan terindah dalam hidupnya. Di perjalanan pulang, ia memejamkan mata, membiarkan angin malam menyentuh wajahnya sambil tersenyum bahagia.
Azka melirik ke belakang saat motor melaju di jalan menuju rumah Delisa. Ia menyadari gadis itu memejamkan mata, tampak menikmati semilir angin malam. “Kamu ngantuk, Lis?” tanyanya dengan suara pelan, cukup keras agar terdengar melawan suara mesin motor.
Delisa membuka matanya perlahan. “Enggak, aku cuma menikmati anginnya. Rasanya tenang banget.”
Azka tersenyum kecil. “Bagus kalau begitu. Tapi kalau kamu capek, kita bisa berhenti sebentar di tempat yang ada warung kopi. Biar kamu nggak terlalu lelah.”
Delisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Nggak perlu. Aku nggak mau terlalu malam sampai di rumah. Mamah pasti sudah nunggu.”
Azka memahami dan melanjutkan perjalanan. Meski begitu, ia tetap menjaga kecepatan agar Delisa tidak merasa terlalu terhempas angin. Di kepalanya, ia memikirkan momen-momen hari itu. Tawa Delisa saat bermain air, ekspresinya yang malu-malu saat dipuji, hingga senyum hangatnya saat menyaksikan matahari terbenam. Semua itu membuat Azka merasa semakin yakin bahwa Delisa adalah orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
Setelah hampir satu jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di depan rumah Delisa. Azka mematikan mesin motor dan membantu Delisa turun. Gadis itu terlihat sedikit lelah, tetapi tetap tersenyum.
“Terima kasih sudah ngajak aku hari ini, Ka. Aku benar-benar senang,” ucap Delisa tulus.
Azka mengangguk sambil tersenyum. “Aku juga senang. Hari ini spesial buatku karena bisa melihat kamu bahagia. Istirahat yang cukup, ya. Jangan sampai sakit lagi.”
Delisa tertawa kecil. “Iya, aku janji. Kamu juga hati-hati di jalan, ya.”
Azka mengangguk. Sebelum naik motor, ia mendekati Delisa dan mengecup keningnya pelan. “Selamat malam, Delisa. Aku sayang kamu.”
Delisa tersipu, wajahnya sedikit memerah. “Selamat malam, Azka. Aku juga sayang kamu.”
Setelah Azka pergi, Delisa masuk ke rumah dan langsung disambut oleh mamahnya yang duduk di ruang tamu.
“Seru jalan-jalannya?” tanya mamah dengan senyum penuh arti.
Delisa mengangguk sambil melepas tasnya. “Seru banget, Mah. Azka ngajak aku ke pantai yang indah banget. Rasanya tenang, dan aku lupa semua masalah.”
Mamah tersenyum lega. “Baguslah kalau begitu. Mamah senang kamu bahagia. Tapi jangan lupa istirahat, ya. Kamu sudah cukup lelah akhir-akhir ini.”
Delisa mengangguk dan mencium pipi mamahnya sebelum menuju kamar. Malam itu, saat ia merebahkan diri di atas kasur, pikirannya kembali melayang ke momen-momen indah bersama Azka. Ia bersyukur memiliki seseorang yang begitu tulus mencintainya, meskipun banyak rintangan yang harus mereka hadapi.
Sementara itu, di perjalanan pulang, Azka tidak bisa berhenti tersenyum. Ia merasa puas karena hari itu berjalan sesuai rencana. Dalam hati, ia berjanji akan terus membahagiakan Delisa, apa pun yang terjadi. “Dia layak mendapatkan yang terbaik,” gumamnya pelan sambil memacu motornya pulang.
Malam itu, langit terasa lebih cerah, seperti memancarkan kebahagiaan yang tengah mereka rasakan. Bagi Delisa dan Azka, hari itu bukan hanya sekadar perjalanan ke pantai, melainkan juga sebuah pengingat betapa berharganya hubungan mereka.