Ketika mimpi berubah menjadi petunjuk samar, Sophia mulai merasakan keanehan yang mengintai dalam kehidupannya. Dengan rahasia kelam yang perlahan terkuak, ia terjerat dalam pusaran kejadian-kejadian mengerikan.
Namun, di balik setiap kejaran dan bayang-bayang gelap, tersimpan rahasia yang lebih dalam dari sekadar mimpi buruk—sebuah misteri yang akan mengubah hidupnya selamanya. Bisakah ia mengungkap arti dari semua ini? Atau, akankah ia menjadi bagian dari kegelapan yang mengejarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veluna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
rahasia dibalik lorong rumah sakit
"Apa kita benar-benar harus masuk ke sini?" tanyaku, suaraku nyaris berbisik. Ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat tengkukku meremang.
Ibu menoleh ke arahku, senyumnya tetap lembut meski ada nada tegas dalam jawabannya. "Kita hanya akan berada di sini sebentar, Nadira. Jangan khawatir."
Bangunan rumah sakit ini megah, tapi terlihat tua dan terlupakan. Dindingnya dipenuhi retakan, dan cat yang mengelupas membuat tempat ini terasa dingin dan tak ramah. Aku jadi penasaran bagaimana ibu bisa yakin membawa adikku berobat di sini. Kami melangkah melewati pintu utama, dan aku segera menyadari bahwa tempat ini kosong—terlalu kosong.
"Ibu, kenapa tempat ini sepi sekali?" tanyaku, mencoba menekan rasa cemas yang mulai membebani dadaku.
Mira menatap sekeliling, tampak tak kalah gelisah. "Iya, Bu. Kok nggak ada orang sama sekali? Nggak ada suster atau resepsionis."
Ibu hanya melambaikan tangan, seolah menenangkan. "Mungkin mereka sedang istirahat. Sudah, jangan terlalu banyak berpikir. Juga, bisa jadi karena ini rumah sakit yang jauh dari kota, makanya sepi."
Kami terus berjalan menyusuri lorong panjang yang remang. Lampu-lampu neon di atas kepala berkelap-kelip, membuat bayangan kami tampak bergerak sendiri di dinding. Semakin dalam kami melangkah, semakin aku merasa ada yang salah. Tidak mungkin sebuah rumah sakit bisa sekosong ini.
Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar dari balik pintu salah satu ruangan. Refleks, aku berhenti dan memandang Mira. "Dengar itu?" bisikku.
Mira mengangguk, wajahnya memucat. Aku mendekat ke pintu, mengintip melalui celah kecil. Apa yang kulihat membuat darahku membeku.
Di dalam ruangan itu, beberapa orang yang tampak seperti pasien berdiri dengan tubuh kaku dan mata kosong. Mereka bergerak lambat, seperti boneka rusak. Tapi sesuatu tentang mereka terasa sangat... salah.
Aku mundur dengan cepat, menabrak ibu yang ada di depanku. "Bu, ada yang aneh di sini. Kita harus pergi sekarang," kataku, panik.
Namun, ibu menatapku dengan tenang. "Kita belum selesai di sini, Sophia. Adikmu masih harus berobat, dan berhentilah berhalusinasi."
"Aku nggak halusinasi, Bu! Itu nyata, ada hantu di dalam!" ucapku meyakinkan ibu.
Ibu tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia berjalan lebih dalam ke lorong, sementara aku dan Mira saling menatap dengan ketakutan.
"Ibu, tunggu!" seruku, mengikuti langkahnya. Tapi sebelum aku bisa menyusul, suara langkah kaki terdengar dari arah lain.
Aku menoleh dan melihat mereka—orang-orang aneh dari ruangan tadi—keluar dari pintu-pintu yang ada di belakang kami. Mereka berjalan ke arah kami dengan gerakan lambat tapi pasti. Mira menggenggam tanganku erat, wajahnya penuh ketakutan.
"Kak Sophia, mereka siapa? mereka mau ngapain?"
Aku tak tahu harus menjawab apa. "Lari, Mira!" seruku, menarik tangannya.
Kami berlari melewati lorong-lorong yang seolah tak ada ujungnya. Bayangan kami membayang-bayang di dinding. Ketika kami sampai di sebuah persimpangan, aku melihat ibu berdiri di sana, menatap kami dengan ekspresi datar.
"Kalian berdua jalannya lamban sekali," ucap ibu ketus.
"Ibu! Mereka mengejar kita! Kita harus keluar dari sini!" seruku dengan napas terengah.
Namun, ibu hanya menatap kami dengan tenang. "Berhentilah membuat kekacauan, Sophia."
Sebelum aku sempat berkata lebih jauh, suara langkah kaki mereka semakin mendekat. Mira gemetar ketakutan, dan aku hanya bisa memeluknya, mencoba melindunginya.
"Ibu, ayo kita lari sekarang!" desak ku.
Akhirnya, kami berlari. Setiap melewati pintu ruangan, dari pintu itu keluar makhluk-makhluk tadi—bentukannya persis seperti mayat hidup. Saat kami sampai di pertigaan lorong, kami terkepung oleh mayat itu. Aku rasa total jumlahnya mungkin puluhan, jika tidak lebih.
Kami hanya bisa diam, pasrah, tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan menarik kami ke dalam ruangan di belakang. Orang itu kemudian membawa kami turun ke lantai bawah.
Sesampainya di bawah...
"Siapa kamu?" tanyaku dengan suara gemetar.
"Sebaiknya tenangkan diri kalian dulu," ucapnya.
Kami duduk di lantai yang dingin dan lembap, mencoba menenangkan diri. Pemuda itu merobek sepotong kain dari bajunya yang lusuh dan membalut luka di lenganku yang entah kapan dan di mana aku mendapatkannya. "Kamu harus berhati-hati. Mereka bisa mencium bau darah," katanya sambil bekerja.
saat aku melamun tiba tiba aku ingat, tempat ini pernah muncul dalam mimpiku pantas saja saat pertama kali sampai tadi rasanya sedikit familiar
Aku mengamati wajahnya yang penuh luka dan bekas-bekas penderitaan. "Kenapa kamu menolong kami?" tanyaku, bingung kenapa seseorang dalam kondisi seburuk itu mau mengambil risiko untuk menyelamatkanku.
Pemuda itu tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak mencapai matanya. "Karena aku tahu apa yang mereka lakukan di sini, dan aku tidak ingin ada orang lain yang mengalami hal yang sama. Tapi aku lumayan penasaran, dari mana kalian mendapatkan info mengenai rumah sakit ini?"
"Ibuku menemukannya di internet," jawabku, diikuti anggukan dari ibu.
Setelah beberapa saat, ketika detak jantungku mulai melambat, aku bertanya lagi, "Kamu sendiri bisa sampai di sini?"
Pemuda itu menghela napas panjang sebelum menjawab, "Sebelumnya, perkenalkan, namaku Alan. Dulu aku adalah seorang siswa di sekolah ini."
"Tempat ini dulunya adalah sebuah sekolah yang dikelola oleh seseorang yang sangat baik hati. Saking baiknya, semua yang masuk ke sekolah ini tidak dikenakan biaya, bahkan sekolah ini menyediakan tempat tinggal. Namanya Ibu Selena. Tapi karena usianya yang sudah tua, Bu Selena sering sakit, dan kemudian meninggal. Setelah Bu Selena pergi, sekolah ini diambil alih oleh sahabatnya, Pak Harto. Awalnya, semua berjalan normal. Tapi setahun kemudian, sekolah ini mulai terasa berbeda. Para murid di sini banyak yang tidak diberi makan, sering dipukul, dan banyak kekerasan lainnya. Bahkan, banyak murid yang hilang. Tak lama kemudian, Pak Harto berhasil mengubah label sekolah ini menjadi rumah sakit."
"Mayat hidup yang kalian lihat tadi itu adalah para murid di sekolah ini dulu dan juga pasien rumah sakit ini. Entah Pak Harto terobsesi dengan apa, intinya, setiap malam keluar cahaya aneh dari dalam gubuk di samping gedung ini, pasti salah satu dari siswa hilang. Sepertinya dia ingin menemukan cara untuk menghidupkan kembali orang mati, tapi eksperimennya selalu berakhir dengan kegagalan."
Aku tahu aku harus keluar dari tempat ini. "Bagaimana kita bisa keluar dari sini?" tanyaku, mencoba menahan rasa panik.
Alan memandangku dengan serius. "Ada jalan keluar di belakang rumah sakit. Ikuti aku."
Kami mulai bergerak perlahan, berhati-hati agar tidak menarik perhatian mayat hidup yang berkeliaran di atas kami. "Ayo cepat, kita tidak punya banyak waktu," bisik Alan saat kami melintasi tembok.
Namun, saat kami naik, Alan tetap tinggal. "Aku sudah tidak punya tujuan apa pun, jadi aku akan tetap di sini. Takutnya, suatu saat nanti ada korban lain," katanya sebelum kami berpisah.
mampir juga dikerya ku ya jika berkenan/Smile//Pray/