"Menikahlah denganku, maka akan kutanggung semua kebutuhanmu!"
Karina Anastasya harus terjebak dengan keputusan pengacara keluarganya, gadis sebatang kara itu adalah pewaris tunggal aset keluarga yang sudah diamanatkan untuknya.
Karina harus menikah terlebih dahulu sebagai syarat agar semua warisannya jatuh kepadanya. Hingga pada suatu malam ia bertemu dengan Raditya Pandu, seorang Bartender sebuah club yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafafe 3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghadapi Tekanan Baru
Pandu melangkah cepat menuju ruang rapat, wajahnya tegang. Panggilan darurat dari ayahnya pagi ini membuatnya segera meninggalkan Karin, yang masih setengah tertidur, untuk datang ke perusahaan.
"Ini pasti serius," gumamnya, tangannya menggenggam erat ponsel.
Sesampainya di kantor, dia langsung diterima oleh ayahnya yang tampak muram. "Ada masalah besar. Anggaran kita mengalami penurunan drastis. Aku butuh kau di sini sekarang juga, Pandu."
Pandu mendudukkan dirinya dengan cepat, menyelami setumpuk laporan di depan matanya. Wajahnya serius dan penuh fokus. Setengah jam berlalu, dan akhirnya ia menghela napas panjang.
Pa," Pandu menatap ayahnya dengan sedikit kesal, "ini hanya kesalahan pencatatan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Ayahnya terdiam sesaat, sebelum akhirnya tertawa kecil, merasa lega. "Syukurlah. Tapi, kita memang harus lebih waspada."
Pandu menggeleng-geleng sambil tersenyum tipis. "Kau hampir membuatku terkena serangan jantung, Pa."
Hari-hari berikutnya, Pandu semakin terlibat dalam bisnis keluarga. Ia menangani berbagai proyek besar dan mulai mendapatkan tanggung jawab lebih. Meski perusahaan mulai menunjukkan kemajuan, Pandu merasakan tekanan yang semakin berat. Tugas yang datang bertubi-tubi mulai merampas waktu istirahatnya. Siang dan malam ia habiskan di depan laptop, menghadiri rapat, dan mengurus berbagai urusan.
Karin, yang sudah mulai stabil dengan OCD-nya, mulai khawatir. Pandu sering pulang larut malam, dengan wajah yang semakin kusut dan lelah.
"Sayang, kau baik-baik saja?" tanya Karin suatu malam ketika Pandu hampir tertidur di sofa.
Pandu hanya mengangguk lemah. "Aku hanya lelah. Besok ada rapat lagi, dan aku harus menyelesaikan proposal sebelum tidur."
Karin menatap suaminya dengan cemas. "Kau sudah bekerja terlalu keras. Kau perlu istirahat."
Pandu tersenyum kecil, meski wajahnya pucat. "Aku baik-baik saja, Karin. Jangan khawatir tentangku. Yang penting, kau sehat. Itu yang terpenting."
Namun, di balik senyum itu, Pandu tahu tubuhnya mulai menolak beban yang semakin berat. Dia merasa bertanggung jawab atas perusahaan keluarganya, tapi juga tidak ingin membuat Karin khawatir. Dia mencoba untuk tetap terlihat kuat, padahal setiap malam, rasa lelahnya semakin menumpuk.
Satu malam setelah bekerja tanpa henti selama seminggu penuh, Pandu akhirnya jatuh sakit. Tubuhnya demam tinggi dan ia hampir tidak bisa bangun dari tempat tidur. Karin yang melihat keadaan Pandu menjadi sangat panik.
"Pandu! Kau demam! Kau butuh dokter!" seru Karin, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
Pandu, dengan mata yang setengah tertutup, hanya menggeleng. "Aku hanya butuh tidur. Jangan khawatirkan aku."
Namun, Karin tidak tinggal diam. Ia merawat Pandu dengan penuh kasih sayang, menyiapkan kompres dingin, membuatkan sup hangat, dan terus berjaga di sampingnya. Kali ini, Karin yang mengambil alih peran Pandu, merawatnya dengan perhatian penuh.
Setiap kali Pandu terbangun di tengah malam, Karin ada di sana, duduk di sampingnya sambil memegang tangannya. "Kau sudah melakukan banyak hal untukku, sekarang giliran aku yang menjagamu."
Pandu tersentuh dengan perhatian Karin, tapi di dalam hatinya, ia merasa bersalah. Ia tak ingin Karin merasa terbebani.
"Karin… aku tidak ingin kau stres karena ini. Aku bisa menangani semuanya," gumam Pandu dengan suara serak.
Karin menggeleng pelan. "Pandu, kau tidak harus memikul semua beban sendirian. Kita ini tim. Jika kau jatuh, aku akan ada di sini untukmu. Sama seperti kau selalu ada untukku."
Setelah beberapa hari, Pandu mulai pulih. Namun, pengalaman jatuh sakit itu membuatnya merenung. Dia tak bisa terus bekerja seperti ini tanpa memikirkan kesehatannya sendiri. Karin, yang sekarang lebih stabil dengan OCD-nya, membuktikan bahwa dia bisa lebih mandiri dan bahkan membantu Pandu melewati masa-masa sulit.
"Karin," kata Pandu suatu pagi, ketika mereka sarapan bersama. "Aku sadar, aku tak bisa terus seperti ini. Kau benar. Kita ini tim, dan aku harus belajar untuk berbagi beban."
Karin tersenyum, merasa lega mendengar kata-kata suaminya. "Aku akan selalu ada untukmu, Pandu. Sama seperti kau ada untukku."
Saat mereka berdua saling bertatapan dengan senyum, ponsel Pandu kembali berbunyi. Sebuah pesan dari perusahaan, "Krisis baru muncul. Kami butuh kau segera datang."
Pandu menatap layar ponselnya dengan cemas, dan kali ini, ia merasa tekanan itu datang lebih kuat dari sebelumnya.
Pandu menatap Karin dengan raut wajah yang penuh dilema. "Krisis lain lagi…"
Karin menggenggam tangannya erat. "Kita akan hadapi bersama. Kau tidak sendiri, ingat?"
Namun di dalam hatinya, Pandu tahu bahwa krisis ini mungkin lebih besar dari yang pernah ia hadapi sebelumnya.