Di antara cinta yang tak terucap dan janji yang tak sengaja diucapkan harus menjadi sesuatu yang ditanggung jawabi oleh Rafael. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang hampir terbilang sempurna, Rafael harus kehilangan wanita yang dicintainya sekaligus menerima kehadiran seorang gadis yang sangat ia sayangi—Adeline.
Dua tahun setelah pernikahannya dan bangun dari segala keterpurukannya, Rafael harus terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia akan memilih cinta yang sebelumnya hilang atau tetap bersama dengan seseorang yang selama ini menemani masa-masa sulitnya? Setiap pilihan datang dengan konsekuensi dan setiap keputusan menuntunnya pada jalan yang tak terduga.
Ketika cinta dan masa lalu bertabrakan, apakah Rafael akan mengikuti hati atau logika? Bagaimana jika pilihan yang benar ternyata sesuatu hal yang paling sulit ia jalani? Temukan kisahnya dengan meng-klik ‘Mulai Membaca’.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyushine / Widi Az Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HC 27
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, dan Rafael masih belum juga sadarkan diri, demamnya pun belum turun sejak dia ditemukan pingsan tadi. Dengan telaten Adeline merawatnya, mulai dari mengompresnya hingga menggantikan pakaiannya.
Adeline mengambil peralatan medis yang memang sengaja dia siapkan dirumah untuk berjaga-jaga. Adeline menyuntikkan jarum infus kepada Rafael agar setidaknya pria itu tetap bisa menerima asupan selama tidak sadarkan diri dan juga Adeline memasukkan obat pada saluran infus yang telah dipasang olehnya.
Merasa harus merawatnya hingga benar-benar pulih, Adeline kembali kamarnya sejenak untuk mengambil ponselnya, namun sebelum itu, tak lupa untuknya menutup bingkai foto Rachel yang terletak dinakas dekat ranjang Rafael.
Adeline menghubungi kepala bagiannya, bahkan dia pun menghubungi kepala dokter untuk meminta izinnya agar bisa mendapatkan cuti beberapa hari. Tak lupa dia juga menghubungi Efran untuk memberitahunya bahwa untuk dua hari kedepan dia tidak akan pergi ke rumah sakit.
“Apa aku harus mengecek kondisinya?” ucap Efran dari seberang sana dan Adeline terkekeh menanggapinya. “Kenapa? Apa aku salah bicara?” tambahnya lagi polos.
“Tidak, hanya saja apa kau melupakan diriku yang sebagai seorang perawat dirumah sakit? Aku sudah memberikan obat melalui selang infus yang ku pasang, aku juga sudah mengecek kondisinya sebelumnya. Jadi, kau tidak perlu repot-repot datang kemari hanya untuk memeriksa kak Rafa.”
“Begitu ya. Baiklah jika begitu kau juga harus jaga kesehatanmu. Kau harus makan, aku yakin jika kau pasti belum makan dan hanya sibuk menjaganya, 'kan?”
“Aku akan makan nanti, terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku, Fran.”
Setelah mengakhiri panggilan dengan Efran, Adeline kembali ke kamar Rafael untuk mengecek kondisinya. Demamnya sudah sedikit turun dan itu sangat melegakan bagi Adeline, meski begitu Adeline tetap menjaganya dan mengontrol jaringan selang infusnya untuk memastikan agar tidak tersumbat. Merasa lelah, tanpa sadar Adeline tertidur dikamar Rafael dengan posisi duduk dimana tangannya menjadi tumpuan untuk kepalanya.
Pagi harinya, Rafael membuka kedua matanya secara perlahan, ia merasa tangannya kanannya begitu kebas, dan ketika melirik ternyata ada Adeline disana yang secara tidak sadar bahwa tangan wanita itu telah menindih tangannya sebagai tumpuannya untuk dia tidur.
Menyadari di tangan kirinya tengah di infus, Rafael yakin jika Adeline sudah menjaganya semalaman meski Rafael tidak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya sendiri. Tidak tega untuk mengganggunya, Rafael mencoba menahan rasa kebasnya itu agar Adeline bisa tidur lebih lama lagi.
Saat sinar matahari masuk melalui celah-celah kamar bersamaan dengan deringan ponsel yang terus berbunyi membuat Adeline membuka kedua matanya dan secara spontan Rafael menutup matanya untuk berpura-pura belum sadarkan diri.
Pandangan Adeline tidak langsung tertuju pada ponselnya yang tengah berdering, namun dia menatap Rafael lebih dulu sekaligus mengecek suhu tubuh pria itu, dan beruntung demamnya sudah turun. Tak lupa juga ia memeriksa infusan yang sedikit lagi sudah mulai habis.
"Istirahat lah kak. Aku harap setelah aku selesai membuatkan sarapan, kau segera bangun ya." Gumam Adeline.
Lagi-lagi ponselnya kembali berdering, dan takut mengganggu istirahat Rafael, Adeline bergegas membawa ponselnya keluar untuk bicara di luar kamar Rafael.
"Kau sedang apa? Kenapa lama sekali menerima panggilanku?" Orang diseberang sana tampak tak sabaran dan sedikit kesal ketika Adeline sudah menerima panggilan darinya.
"Ada apa, Li?" Tanya Adeline penasaran, karena tidak biasanya seorang Liana menghubunginya, ditambah mereka pun terbilang tidak dekat.
"Ada apa katamu? Apa kau tidak tahu ini sudah jam berapa dan kau masih berani bertanya ada apa?"
"Maaf Li, tapi hari ini aku cuti. Aku juga sudah menghubungi kepala perawat dan juga dokter Steve, mereka mengizinkannya." Terang Adeline.
"Kenapa kau tidak memberitahuku? Setidaknya beritahu aku dulu, baru ke kepala perawat dam dokter Steve. Jika seperti ini, kau sudah melangkahiku namanya."
"Kenapa harus memberitahumu? Kau bukan siapa-siapa perawat Ara maupun dokter Steve. Jabatanmu juga sama sepertiku, hanya seorang perawat biasa."
"Apa katamu? Jangan karena kau istri dari tuan muda Wilbur kau bisa seenaknya dengan pekerjaanmu dan orang lain ya, Del. Kau itu masih baru disini, jadi jangan macam-macam."
"Maaf Li, tapi aku bukan seenaknya cuti, suamiku sakit dan aku harus menjaganya. Aku juga sudah mengantongi izin dari perawat Ara dan dokter Steve. Jadi, aku akhiri dulu panggilannya, karena aku harus membuatkan sarapan untuk suamiku." Tidak menunggu jawaban, Adeline langsung mengakhiri panggilannya secara sepihak.
Perdebatan itu terdengar oleh Rafael yang menguping dari balik pintu kamarnya. Meski dia tidak tahu siapa yang menelpon dan tidak tahu apa yang diucapkan oleh orang itu, Rafael merasa yakin jika orang disana pasti ingin mempersulit Adeline.
Sudah berada didapur, Adeline segera membuatkan sup untuk Rafael. Berharap dengan sup buatannya bisa membuat pria itu lebih membaik lagi. Selagi menunggu supnya matang, Adeline berinisiatif untuk menghubungi Alvaro.
Tidak membutuhkan waktu lama, Alvaro sudah menerima panggilan dari Adeline. Tak berbasa-basi, Adeline memberitahu Alvaro bahwa Rafael tidak akan ke kantor untuk beberapa hari dan meminta bantuannya agar mau menghandle pekerjaan dikantor selagi Rafael tidak ada.
Baik Alvaro maupun Daren tidak pernah keberatan sedikit pun untuk membantu jika sahabatnya itu tengah berada dalam kesulitan, mengingat bahwa Rafael pun sudah sangat banyak membantu mereka sejak ketiganya masih duduk dibangku kuliah dulu.
"Tolong rawat Rafa dengan baik ya perawat Adel." Ucap Alvaro secara terkekeh sebelum akhirnya panggilan berakhir.
Seusai panggilan berakhir, dia melihat ada pesan masuk dari Efran, dia mengatakan jika malam nanti akan datang ke rumah untuk menjenguk Rafael, tidak mungkin menolak, Adeline pun mengizinkannya.
Sup yang dibuat sudah matang, dengan perlahan Adeline membuat satu mangkuk sup untuk dibawa ke kamar Rafael, tidak lupa juga dia membuatkan susu hangat serta buah-buahan.
Setibanya didalam kamar, ia terkejut melihat Rafael sudah duduk bersandar diranjangnya. Menyimpan baki di atas nakas membuat Adeline sadar jika bingkai foto Rachel kembali dibuka, namun Adeline menutupnya lagi setelah menyimpan baki diatasnya.
"Kenapa infusnya dilepas, kak?"
"Aku tidak nyaman menggunakan sesuatu di tanganku, kecuali jam tangan." Balasnya datar dan terdengar dingin.
"Baiklah, karena kondisimu juga sudah membaik tidak apa-apa, sekarang makan dulu dan aku akan siapkan obat yang harus kau minum. Kau bisa kan makan sendiri?" Rafael hanya berdeham menanggapi pertanyaan dari Adeline dan tidak menunggu lama lagi, Adeline bergegas keluar untuk mengambil obat Rafael.
Hanya butuh waktu 5 menit, Adeline sudah kembali, namun Rafael masih belum menyentuh makanannnya dan hal itu hanya membuat Adeline mendesah. Kemudian, dia memasangkan meja diatas ranjang Rafael dan menyimpan satu mangkuk sup diatas sana.
"Biar aku suapi agar kau bisa makan dan bisa segera meminum obatnya." Ucap Adeline yang langsung menyodorkan satu sendok sup ke mulut Rafael.