Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Secercah Harapan
Adi dan Kimi telah cukup dekat dengan si petugas. Mereka disambut suasana sibuk dan bising dari truk-truk yang melintas. Si petugas di gerbang semula berdiri, lalu kembali duduk dan fokus pada layar monitor yang menampilkan data penimbangan. Matanya tak lepas dari pekerjaan yang menumpuk.
Adi mencoba mendapat perhatian petugas. “Permisi, Pak!” teriaknya agar suaranya terdengar di tengah kebisingan.
Petugas mengangkat kepalanya dari monitor, tampak sedikit terganggu oleh interupsi tersebut. “Ada apa, Pak? Saya sedang sibuk dengan banyak truk yang masuk dan keluar,” katanya, seolah tak mau diganggu.
“Sebentar saja, Pak! Kami perlu bantuan." ujar Adi.
Petugas itu tampak tak senang, seolah berkata, Bantuan? Kau tak lihat, seluruh tangan dan kakiku tak luput dari beban bertengger, tahu-tahu kau datang minta bantuan? Kegilaan macam apa ini?
"Cepat katakan!" ujar petugas itu, buru-buru.
"Kami sedang mencari sebuah truk sampah. Truk itu melintas di Kemang di depan rumah saya.” Adi berhenti beberapa saat. “Saya… kehilangan sepatu Pak. Saya yakin sepatu saya terbuang ke dalam truk itu,” lanjutnya.
“Sepatu?” tanya si petugas dengan tatapan heran.
Adi, dengan wajah penuh harapan dan keputusasaan, menjelaskan dengan cepat, “Iya, Pak. Saya kehilangan sepatu saya, dan saya yakin terbuang ke sini!”
Si petugas berkernyit, seolah tak percaya dengan pendengarannya. Seorang pria mencari sepatunya yang hilang ke pembuangan sampah akhir seluas hektaran? Ia pun berusaha menuntun tamunya untuk berpikir sedikit logis. “Di sini ada ratusan truk, Pak.”
Adi mengedarkan pandang ke sekeliling. Ini memang gila, Pak, batin Adi.
Si petugas kembali pada pekerjaannya.
“Saya punya ciri-cirinya,” ucap Adi tak mau menyerah. Ia mencoba memaksimalkan kesempatan.
Petugas menarik napas panjang, tampak semakin kesal dan lelah. “Bagaimana ciri-cirinya?”
Adi merespon dengan cepat, “Pelek depan berwarna silver dan pelek belakang kanan berwarna hitam.
Si petugas bingung. “Pelat nomer?”
“Pelat nomornya saya tidak tahu, Pak,” jawab Adi dengan suara penuh penyesalan.
Petugas menatap Adi dengan kerutan di dahi. “Kami mencatat truk berdasarkan nomor registrasi dan jenis truk. Kami tidak mencatat ciri-ciri seperti itu. Tanpa informasi tambahan seperti pelat nomor, sulit untuk mengidentifikasi truk tersebut. Apakah ada detail lain yang mungkin bisa membantu?”
Adi merespon dengan suara penuh penyesalan, “Maaf, Pak. Hanya ciri-ciri pelek itu yang saya tahu.” Namun ia tak mau menyerah begitu saja. “Tapi… kira-kira, kalau truk sampah dari Kemang sudah masuk ke sini atau belum ya Pak?”
Si petugas kembali menunduk ke monitor, terlihat semakin terganggu dan kesulitan mengatur waktunya.
“Jam berapa dari Kemang?” tanyanya sambil tetap memantau monitor.
“Sekitar jam tujuh pagi, Pak,” jawab Adi.
“Kosong atau penuh?” Tanya si petugas dengan nada yang semakin tidak sabar.
Kimi yang mengikuti alur pembicaraan Adi dan si petugas dari tadi merasakan bahwa si petugas kini hanya sedang mencari cara untuk segera mengakhiri percakapan yang mulai membebaninya.
Adi langsung teringat akan keterangan dari si pendorong gerobak sampah pagi tadi. “Sudah penuh Pak.”
Si petugas menghela napas panjang, tampak semakin kehilangan minat. “Jika truk dari Kemang sudah penuh pada jam tujuh tadi pagi, kemungkinan besar truk itu sudah lama tiba di sini. Bahkan mungkin sudah pulang.”
Adi merasakan harapannya memudar. Namun meski begitu ia tak ingin melepas kesempatan begitu saja. “Tapi… masih ada harapan kan Pak, untuk menemukan sepatu saya di sini?”
Si petugas menggerakkan tangannya. “Mungkin saja, kalau truk itu ketemu,” kata si petugas, mencoba mengarahkan Adi ke arah yang lebih realistis. “Bapak bisa bertanya ke sopirnya, sampah tadi dibuang di sektor mana.”
Adi terkejut, merasa ada pencerahan meski tersisa ragu mengingat truknya mungkin sudah pulang dan menghilang tanpa jejak. “Kalau saya tidak menemukan truk itu?” tanya Adi dengan nada suara penuh harapan namun suram.
Petugas menghela napas berat, jelas merasa terganggu dengan kerumitan situasi ini.
“Bapak lihat, dengan tumpukan sampah yang berhektar-hektar ini, sangat mustahil menemukan sepatu Bapak di sini. Saya sarankan Bapak pulang saja.” Kata petugas itu seolah mengusir Adi dengan halus, sambil menunjuk ke arah gunungan sampah yang membentang luas.
Adi menunduk, ekspresi wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Kimi yang melihat Adi kecewa, dapat membayangkan bagaimana hancurnya hati Adi kehilangan sepatu berharga itu.
“Kita sudah mencoba semaksimal mungkin, Di. Mungkin… ini saatnya kita berhenti dan pulang,” Kata Kimi dengan lembut.
Adi mengangguk, mencoba menerima kenyataan. “Ya, mungkin kamu benar,” sahut Adi. “Terima kasih, Pak, atas bantuan dan waktunya,” pungkas Adi seraya melirik ke arah si petugas.
Si petugas hanya mengangguk sambil tetap fokus pada pekerjaannya. Dengan langkah berat, Kimi dan Adi berbalik dari gerbang masuk TPST, meninggalkan area gerbang yang penuh antrian truk. Kimi mengikuti langkah Adi, menuju bajaj kuning mereka.
Setelah menghampiri bajaj, meskipun kesulitan Adi berusaha memutar arah bajaj, menyesuaikan posisi untuk balik arah.
Kimi duduk di kursi penumpang seraya merasakan suasana hati Adi yang tampak semakin berat. Adi memutar gas, melajukan bajaj. Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam.
Adi mulai merasakan kekosongan yang mendalam di hatinya. Kimi berusaha mencari cara untuk berkata. Namun cara itu tak bisa ia temukan. Suasana kali ini terasa begitu rapuh.
Beberapa detik kemudian akhirnya Adi mulai membuka isi hatinya. “Kimi,” katanya dengan suara yang penuh emosi, “sekali lagi harus kukatakan bahwa sepatu itu… bukan sekadar barang biasa bagiku. Itu adalah sepatu Berluti asli Prancis, edisi démesuré. Ayahku memesannya secara khusus, langsung di Prancis. Genom kaki kami begitu persis. Sepatu itu begitu pas dan terasa nyaman di kaki ayahku dan juga kakiku. Beberapa tahun yang lalu sepatu itu diberikan ayahku. Ia memberikannya sebagai simbol ketika beliau menyerahkan urusan perusahaan kepadaku.”
Kimi mendengarkan dengan seksama, merasakan kedalaman perasaan Adi. “Itu pasti sangat berarti bagi kamu,” ujarnya lembut, berusaha memberikan pengertian dan empati.
Adi melanjutkan, “Setiap kali aku mengenakan sepatu itu, aku selalu merasa… ada bagian dari ayahku yang selalu bersamaku. Kini, ketika sepatu itu hilang… rasanya seperti kehilangan suatu bagian dari diriku sendiri.”
Kimi mengangguk, menunjukkan rasa empati yang tulus. “Aku bisa mengerti kenapa sepatu itu begitu berharga bagimu. Tapi aku yakin… kenangan dan nilai emosionalnya tidak akan hilang meskipun kini sepatu itu hilang. Apa yang penting adalah bagaimana kamu mengingat dan menghargainya.”
Adi mengangguk, mencoba meresapi perkataan Kimi. Ia pun merasakan perasaan lebih lega, meski belum sepenuhnya.
Waktu berlalu dan Kimi memeriksa jam di ponselnya. Hampir jam tiga sore. “Adi, sudah hampir waktu Ashar. Bagaimana kalau kita berhenti sejenak di dekat masjid? Mungkin kita bisa istirahat sebentar dan makan sesuatu sebelum sholat ashar.”
Adi menoleh, melihat sekeliling, lalu mengangguk. “Baik, aku setuju,” jawabnya, suaranya lebih lembut.
Mereka melanjutkan perjalanan beberapa puluh meter menjauhi area gerbang TPST hingga menemukan sebuah masjid kecil di pinggir jalan.
Adi memarkirkan bajaj dan mereka turun. Di sebuah warung kecil dekat mesjid, Kimi membeli air mineral dan roti. Kemudian mereka duduk agak berjauhan di teras masjid, makan roti sambil menunggu waktu ashar.
Meskipun mereka sebenarnya lebih ingin makan nasi, mereka merasa bersyukur dengan apa yang ada. Roti dan air mineral cukup untuk membuat mereka kenyang. Sambil makan, Adi melanjutkan ceritanya dengan penuh rasa nostalgia.
“Di dalam sepatu itu… ada monogram yang melambangkan nama ibuku. Itu membuat sepatu itu semakin berharga bagiku.”
Kimi mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan betapa mendalamnya perasaan Adi. Sementara itu Adi melanjutkan perkataannya.
“Sepatu itu bukan hanya barang, tapi juga merupakan kenangan dan simbol penting dalam hidupku. Bahkan ia bukan hanya simbol penyerahan perusahaan, bukan hanya simbol… kesetiaan ibuku mendampingi ayahku, tapi juga merupakan… simbol sosok menginspirasi pembuatnya: Alessandro Berluti. Ya, Alessando Berluti. Sang legenda. Meski bukan hasil karya tangannya secara langsung, namun sepatu itu sudah seperti hasil karyanya sendiri, dan karya luar biasanya itu telah menginspirasi ayahku dan juga aku sendiri untuk terus berkarya dalam membuat sepatu dengan penuh rasa cinta dan dedikasi, hingga saat ini.”
Kimi merenung dalam hening. Ia masih belum menemukan kata-kata yang tepat untuk menguatkan Adi.
“Maafkan aku Alessandro… maafkan aku…” bisik Adi penuh penyesalan sambil menundukkan wajah.
Kimi melirik ke arah Adi. “Kuharap, apa pun itu, semua kehilanganmu suatu saat nanti bisa tergantikan,” ucapnya seraya tersenyum lembut di balik niqab-nya.
Adi mengangkat wajah. “Terimakasih… semoga saja…,” katanya seraya merasakan perasaan sedih mendalam yang masih bersemayam di hatinya.
“Setelah sholat, kita sama-sama berdo’a, ya...,” ucap Kimi berusaha menguatkan Adi.
Adi mengangguk, merasa mendapat dorongan kuat dalam dirinya untuk bangkit. Tak bisa ia bayangkan jika saat ini ia menghadapinya sendirian.
Ketika adzan Ashar tiba, suara seruan mulia dari masjid itu langsung mengisi udara dengan ketenangan. Adi dan Kimi berhenti sejenak untuk mendengarkan, merasakan belaian ketenangan dalam kesuraman yang mereka alami.
Beberapa saat kemudian mereka beringsut ke tempat wudhu. Kimi ke area perempuan dan Adi ke area laki-laki seraya berharap basuhan air membuat kekuatan mereka kembali terhimpun di tengah situasi sulit itu.
Setelah menunaikan sholat Ashar, Adi dan Kimi keluar dari masjid dengan perasaan yang sedikit lebih tenang, namun tetap dibayangi oleh kesedihan dan kegelisahan yang belum sepenuhnya hilang.
Udara sore terasa lebih sejuk, membelai lembut wajah mereka saat melangkah menuju bajaj. Keinginan untuk segera pulang dari Bantar Gebang semakin kuat, mengingat perjalanan mereka yang terasa begitu panjang dan berat.
Saat Adi hendak masuk ke dalam bajaj, Kimi mendadak teringat sesuatu. "Adi, tunggu sebentar," ujarnya sambil mengaktifkan kembali SIM-card di ponselnya. "Aku harus menelepon mommy dulu. Dia pasti khawatir, aku lupa tidak memberi kabar."
Adi hanya mengangguk sambil menunggu di samping bajaj. Kimi berjalan sedikit menjauh, mencari tempat lebih tenang untuk menelepon. Panggilan pun tersambung.
“Assalamu’alaikum, Mom…,” sapa Kimi.
"Waalaikumsalam. "Kimi, where are you? I've been so worried, waiting to hear from you since earlier!" (Kimi, kamu di mana? Ibu sudah sangat khawatir, menunggu kabar darimu sejak tadi!) suara ibunya terdengar cemas.
Kimi tersenyum meski tahu ibunya tak bisa melihat. “Sorry, Mom. I’m helping a friend with something in Bekasi. (Maaf, Bu. Aku sedang ada urusan di Bekasi, membantu teman.) Jangan cemas Mom, insyaAllah sebentar lagi aku juga akan pulang.”
Ibunya menghela napas lega, meski masih terdengar sedikit khawatir. “Baiklah, yang penting kamu hati-hati. Kalau ada apa-apa, segera kabari Mommy. Okay?”
"Okay Mom, insyaAllah. I promise." (Baik Bu, insyaAllah. Aku janji.)
Usai menutup telepon, Kimi menghela napas panjang, merasa sedikit lega telah memberi kabar kepada ibunya. Saat kembali melangkah menuju bajaj, matanya tak sengaja tertumbuk pada sebuah bengkel kecil di sudut jalan.
Sesuatu yang terlihat di bengkel itu tiba-tiba menarik perhatiannya. Di sana, seorang montir sedang membawa ban sebuah truk kuning pengangkut sampah untuk dipasangkan ke bagian belakang truk, dan peleknya... berwarna hitam kusam.
Kimi terkejut, jantungnya berdetak lebih cepat. "MasyaAllah, Adi!" panggilnya, suaranya hampir tertahan di tenggorokan. Adi, yang sedang bersandar di bajaj, langsung menoleh, mendengar ekspresi serius Kimi.
"Ada apa?" tanya Adi dengan nada penuh waspada.
"Itu... truk itu!" Kimi menunjuk ke arah bengkel, suaranya bergetar antara percaya dan tidak percaya. "Pelek belakangnya, berwarna hitam... Aku rasa itu truk yang kita cari!"
Adi menatap ke arah yang ditunjuk Kimi, seolah mencoba memastikan pandangannya. Mata Adi pun melebar, terkejut. "Peleknya…"
Tanpa berpikir panjang, mereka berdua langsung bergerak, setengah berlari menuju bengkel tersebut. Perasaan campur aduk menyelimuti mereka—antara harapan yang muncul tiba-tiba dan kecemasan yang terus mengintai, takut bahwa semua ini mungkin hanyalah harapan palsu.
Langkah-langkah mereka semakin cepat, napas yang terengah-engah menjadi saksi betapa pentingnya momen ini. Mereka tahu, ini mungkin satu-satunya kesempatan mereka untuk menemukan sepatu yang begitu berarti bagi Adi, sepatu yang bukan hanya sekadar barang, tapi simbol berbagai hal penting dalam hidup Adi.
Saat mereka semakin dekat, Kimi bisa merasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat. Adi pun sama, wajahnya dipenuhi ketegangan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi mereka siap untuk menghadapi apapun demi mendapatkan kembali sepatu yang telah hilang itu.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.