Kanesa Alfira, yang baru saja mengambil keputusan berani untuk mengundurkan diri dari Tano Group setelah enam tahun dedikasi dan kerja keras, merencanakan liburan sebagai penutup perjalanan kariernya. Dia memilih pulau Komodo sebagai destinasi selama dua minggu untuk mereguk kebebasan dan ketenangan. Namun, nasib seolah bermain-main dengannya ketika liburan tersebut justru mempertemukannya dengan mantan suami dan mantan bosnya, Refaldi Tano. Kejadian tak terduga mulai mewarnai masa liburannya, termasuk kabar mengejutkan tentang kehamilan yang mulai berkembang di rahimnya. Situasi semakin rumit dan kacau ketika Kanesa menyadari kenyataan pahit bahwa dia ternyata belum pernah bercerai secara resmi dengan Refaldi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jojo ans, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Pagi ini aku bangun terlalu pagi, matahari bahkan belum muncul sama sekali. Setelah mencuci muka dan menyikat gigi, aku mengendap-endap keluar kamar karena Mami masih tidur. Ya, semalam aku benar-benar tidur dengan Mami.
Aku sama sekali tidak ada belas
kasihan pada Mas Adi yang kubawakan bantal dan selimut. Lelaki itu harus merasakan bagaimana rasanya kalau ibu hamil lagi ngambek. Dia pikir cuma dia yang bisa ngambek dan aku tidak? Oh tidak bisa seperti itu.
Aku melangkah ke ruang tengah dan mendapati Mas Adi di sana, lagi tidur dengan mulut yang sedikit terbuka. Lelaki itu meringkuk di sofa. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihatnya, rumah ini punya beberapa kamar tamu namun Mas Adi sama sekali tidak terpikir untuk tidur di sana. Dia malah menyiksa dirinya dengan tidur di sofa. Tubuh panjang Mas Adi seperti
udang di atas sofa, aku hanya mampu menahan senyuman. Lalu tanpa menganggu Mas Adi yang masih tidur, aku memutuskan
ke dapur, aku berencana membuat sarapan. Sudah lama sekali rasanya aku tidur memasak di dapur rumah. Mami dan papi. Terakhir mungkin sekitar 6 bulan yang lalu.
Rasanya rindu sekali.
"Selamat pagi, Ibu Nyonya," sapa
seoranng pelayan. "Selamat pagi Mbak, aku mau buatin sarapan untuk hari ini. Mbak
bantu-bantu ya," pintahku.
"Eh biar saya sa "
Nggak apa-apa kok sekali-kali aku masakin sarapan buat orang rumah," ucapku saat pelayan itu hendak
menolak usulanku karena merasa
tidak enak hati.
"Ya udah Ibu Nyonya, saya bantu. ngupasin rempah aja deh," sahutnya. Aku tersenyum.
Rasanya senang sekali hanya karena akan membuatkan sarapan untuk suami dan mertuaku.
Sementara itu, Adi merentangkan
otot-ototnya yang tidak nyaman. Tidur di sofa memang bukan pilihan bagus.
"Bangun Mas, aku sudah menyediakan
sarapan."
Adi menoleh dari balik pintu dapur Nesa muncul dengan apron hijaunya.
Menggemaskan pikir Adi.
Nesa yang dasarnya bertubuh mungil mengenakan apron yang bahkan hampir menutupi lututnya. Setelah berkata seperti itu Nesa kembali memasuki dapur untuk
mempersiapkan sarapan mereka.
Adi tersenyum. Begini rasanya jatuh
cinta kesekian kalinya pada istri sendiri. "Eh, ngapain kamu senyum-senyum kek orang gila gitu?"
Senyum Adi pudar, laki-laki itu menatap Maminya dengan kesal.
"Suka-suka aku dong Mi, emang jalur nafas Mami tersumbat kalau aku senyum? Nggak kan?"
"Nggak sih, cuman Mami jijik. "
Mami mempraktekan diri hendak muntah. Inilah salah satu yang dibenci Adi dari sang ibu, karena Maminya itu kadang menjadi sangat menyebalkan.
"Mi!!!"
Oke, Mas Adi sudah pergi ke kantor beberapa jam yang lalu dan kami sudah baikan. Ya, aku yang plin plan
tak mampu marah lama-lama apalagi hormon ibu hamil yang menginginkan pelukan dan ciuman suamiku. Alhasil aku berhenti marah dan meminta
ciuman sebelum Mas Adi berangkat
kerja. Sekarang aku bingung hendak melakukan apa. Aku diam seperti sapi
ompong, entah sudah berapa episode drama China yang kuhabiskan karena tak ada pekerjaan yang kulakukan. Sebenarnya aku sudah ingin bertemu anak-anak kantor dan kami pun
sudah mengatur jadwal untuk kembali
ngumpul tapi nanti akhir pekan ini.
Sementara mengerjakan pekerjaan
yang berat aku sama sekali tidak
diizinkan. Baik Mas Adi, Mami maupun Papi sama sekali tidak mengizinkanku untuk melakukan. pekerjaan rumah. Saat ini Mami
masih di halaman depan bersama para tanamannya. Ah sebaiknya aku menghampiri mertuaku iru.
"Mam-"
Belum sempat memanggil, kulihat
Mami sedang berbincang dengan seorang perempuan yang sedang menggandeng seorang anak. Aku mengamati sembari melangkah, hingga mataku melotot.
Itu Friska, Perempuan yang kami
temui kemarin.
Untuk apa dia datang ke rumah ini?
Apakah dia tidak punya pekerjaan?
Aku malah menjadi kesal, perutku juga tiba-tiba sakit. Sepertinya bayiku juga kesal.
Friska tersenyum ketika berbincang
dengan Mami, begitupun Mami. Entah
apa yang mereka bicarakan di depan
sana namun kebahagiaan mereka.
membuatku tidak nyaman. Apalagi dia
membawa seorang anak..
Tak lama kulihat Mami melepaskan
sarung tangannya dan melangkah ke
arahku yang terpaksa memberikan
senyuman super palsu.
"Eh Nes, ini Friska kamu kenal kan? Itu
Iho mantan Adi dulu. Udah punya anak
segede gini."
Mami menatapku dengan senyum
bahagia, sementara anak perempuan
dengan poni mangkuk itu juga
mengulas senyum yang membuatnya
nampak menggemaskan.
"Gemas kan? Emang nggak rencana
bikin satu?" tanya Friska.
Aku mendengus, dia tidak lihat
perutku yang membuncit? Dia pikir
aku ini busung lapar?
"Ini Nesanya juga lagi hamil Fris,"
sahut Mami dengan cepat, mungkin.
takut aku tersinggung.
"Ah maaf aku pikir Nesa hanya
gendutan," ucap perempuan itu
dengan senyum malu-malu kucingnya.
Gendutan????
Dia pikir yang ada di perutku itu lemak semua. Aku emosi, astaga.
"Udah ke dokter belum?" tanyanya
lagi.
Sepertinya tingkat keponya sudah
sampai tingkat dewa. Aku menganggukkan kepala.
"Ya udah, Friska masuk dulu nak," ajak
Mami.
Aku mengekor di belakang sambil
bertanya-tanya di mana suami Friska sampai membiarkan istrinya siang bolong bertamu di rumah mantan kekasih. Kemarin juga aku tidak sempat melihat suaminya karena lelaki Itu sama sekali tidak keluar dari mobil
saat menjemput Friska.
"Kamu bicara apa dengan keluarga
Tano?" tanya seorang laki-laki sembari
melepaskan kemejanya.
Laki-laki itu baru pulang dari kantor
dan langsung ke kediaman keluarga
kecilnya, lebih tepatnya sekarang
mereka sedang berada di kamarnya
bersama sang istri.
"Aku nggak ada ngomong apa-apa
Mas." balas Friska sembari menunduk.
Wanita itu tak berani menatap wajah
sang suami yang saat ini mungkin.
sedang menatapnya dengan mata
setajam pisau. Sehabis menidurkan
putrinya, Friska langsung menunjukan
diri untuk siap diadili oleh suaminya
itu.
"Nggak mungkin. Aku kan udah bilang
kamu lakukan pendekatan. Jangan jadi
bodoh!"
Friska benar-benar sudah terbiasa
dengan bentakkan seperti itu. Saat
hari pertama sampai minggu pertama
setelah pernikahan mereka Friska
memang belum terbiasa dengan
bentakkan keras-keras. Namun seiring
berjalannya rumah tangga mereka
dan F'riska yang mengerti dengan
kepribadian suaminya akhirnya jadi
terbiasa.
"Iya, tadi sedikit ngomong kok sama
Ibunya Adi."
Lelaki itu mengambil kemeja baru yang disediakan Friska dan memakai kemeja itu lalu menghampiri Friska yang tengah menunduk di samping
ranjang.
"Menjadi istri aku itu nggak mudah
Friska, kamu harus dewasa dulu dan
benar-benar usaha," bisiknya di telinga
sang istri.
"Aku turun duluan, nanti kamu
ngomong kalau kamu yang nyuruh aku
turun duluan."
Setelah berucap demikian, lelaki itu kemudian keluar dari kamar meninggalkan Friska yang tidak sanggup untuk menahan air matanya.
"Kenapa kamu begitu banyak berubah
Mas," lirihnya.