Dimas, seorang Mahasiswa miskin yang kuliah di kota semi modern secara tidak sengaja terpilih oleh sistem game penghasil uang. sejak saat itu Dimas mulai mendapat misi harian
misi khusus
misi kejutan
yang memberikan Dimas reward uang IDR yang melimpah saat misi terselesaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon slamet sahid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suroso bin Rasminto
Dahulu kala, sekitar 25 tahun yang lalu, di sebuah desa terpencil yang bernama desa Pandul, hiduplah seorang anak lelaki bernama Suroso.
Suroso tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang orang tua. Ayahnya, Pak Rasminto, adalah seorang petani yang lumayan sukses dan disegani oleh masyarakat desa, sementara ibunya, Bu Rusmini, adalah seorang wanita yang dikenal karena kebaikannya terhadap sesama. Meski Mereka hidup dalam kesederhanaan, tetapi kebersamaan keluarga itu memberikan kebahagiaan yang tiada tara bagi Mereka bertiga.
Setiap pagi, sebelum matahari terbit, Suroso akan bangun dan membantu ayahnya di sawah ladang. Ia belajar bagaimana menanam padi, merawat tanaman, dan memanen hasil bumi dengan penuh kegembiraan. Di sela-sela pekerjaan itu, Pak Rasminto selalu mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada anak semata wayangnya, tentang pentingnya kejujuran, kerja keras, dan saling menghormati kepada sesama.Ibu Rusmini, dengan lembutnya, selalu merawat Suroso dengan penuh kasih sayang. Setiap malam setelah makan malam, ia akan bercerita tentang dongeng ataupun kisah yang menginspirasi anaknya.
Suroso merasa bahwa hidupnya sempurna; ia memiliki kedua orang tua yang mencintainya, rumah yang nyaman, dan lingkungan desa yang damai. Namun, segala kebahagiaan itu hancur berantakan dalam sekejap mata.Suatu hari, ketika Suroso berusia sembilan tahun, terjadi sebuah kecelakaan yang mengubah hidupnya untuk selamanya.
Hari itu, keluarga kecil itu sedang dalam perjalanan pulang dari pasar, setelah membeli beberapa barang kebutuhan rumah tangga. Pak Rasminto sedang mengemudikan mobil tua mereka dengan hati-hati, sementara Bu Rusmini dan Suroso duduk di belakang, menikmati angin sore yang sejuk. Namun, di tengah perjalanan, sebuah truk besar yang kehilangan kendali melaju kencang dari arah berlawanan.
Brakkkk!!!!
Dalam hitungan detik, tabrakan maut tak terhindarkan.Tragedi itu merenggut nyawa kedua orang tua Suroso di tempat, meninggalkan bocah malang itu terkapar di pinggir jalan dengan luka-luka yang parah. Suroso tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi setelah itu, hanya ada kilasan-kilasan samar dari orang-orang yang berkerumun di sekitar mereka, suara sirene ambulans, dan pandangan terakhirnya kepada kedua orang tua yang sudah tak bernyawa.
Ketika Suroso akhirnya siuman di rumah sakit, ia mendapati dirinya sebatang kara. Tidak ada lagi senyum hangat dari ibunya, tidak ada lagi pelukan hangat dari ayahnya. Ia dirawat oleh pihak rumah sakit hingga lukanya sembuh, namun luka di hatinya tak pernah benar-benar pulih. Yang tersisa hanyalah kenangan tentang keluarga yang telah hilang dan kesedihan yang terus menghantuinya.Setelah keluar dari rumah sakit, Suroso dibawa ke rumah salah satu pamannya.
Paman Harjo adalah saudara laki-laki dari ayah Suroso, namun sayangnya, dia bukanlah sosok yang penyayang. Bersama dengan istrinya, mereka menerima Suroso dengan dingin dan tanpa empati. Mereka memperlakukan Suroso sebagai beban, bukan sebagai keponakan yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Suroso dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang berat, sementara makanan dan pakaian yang diberikan padanya sangat terbatas.
Paman Harjo dan istrinya sering kali mengabaikan Suroso. Mereka tidak pernah memberinya pendidikan yang layak, bahkan sering kali memarahinya jika ada kesalahan kecil yang dilakukan.
Suroso mulai merasa bahwa dirinya tidak diinginkan, dan bahwa tidak ada tempat baginya di dunia ini. Kehidupan yang dulunya penuh warna kini berubah menjadi hitam putih, dengan rasa sakit dan kehilangan yang terus menghantuinya.
Ketika Suroso merasa tak sanggup lagi bertahan dalam kondisi itu, dia memutuskan untuk melarikan diri dari rumah pamannya. Ia menghabiskan hari-harinya menggelandang di sekitar desa, tanpa tujuan yang jelas. Suroso yang dulu ceria dan penuh semangat berubah menjadi anak yang pendiam dan tertutup.
Untuk bertahan hidup, Suroso terpaksa mencuri makanan dari pasar atau mencuri buah dari kebun warga.Namun, aksi pencurian kecil-kecilan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Perutnya seringkali kosong, dan ia tidak memiliki tempat berlindung yang tetap. Malam-malamnya dihabiskan di bawah jembatan atau di gudang-gudang kosong yang dingin.
Ia merasa semakin terasing dari dunia, semakin jauh dari kehidupan normal yang pernah ia miliki.Suatu hari, Suroso yang saat itu berusia empat belas tahun bertemu dengan sekelompok anak-anak sebaya yang juga hidup di jalanan.
Mereka adalah anak-anak yang senasib dengan Suroso, terbuang dan terlupakan oleh masyarakat. Namun, berbeda dengan Suroso yang hanya mencuri untuk bertahan hidup, kelompok ini sudah terbiasa melakukan tindakan kriminal yang lebih berani.Kelompok ini dipimpin oleh seorang anak bernama Jalu, yang lebih tua dan lebih berpengalaman dalam dunia kejahatan jalanan.
Jalu melihat potensi dalam diri Suroso dan mengajaknya bergabung dengan kelompok mereka. Awalnya, Suroso ragu, tetapi setelah menyadari bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup, ia akhirnya setuju.Jalu memperkenalkan Suroso pada dunia baru, dunia di mana mereka mencuri bukan hanya untuk makan, tetapi juga untuk mendapatkan barang-barang yang bisa mereka jual.
Mereka mencuri ayam, kambing, dan bahkan barang-barang berharga dari rumah-rumah penduduk. Mereka melakukan semua ini dengan cerdik, menghindari patroli warga dan polisi desa.Namun, puncak dari semua aksi kriminal mereka adalah ketika Jalu dan kelompoknya merencanakan pencurian dirumah Pak Iwan, Pedagang emas di kota Kabupaten. yang bertempat tinggal di desa Pandul. Meskipun Anjing-anjing peliharaan pak Iwan ada 4 ekor, Hal itu tidak menyurutkan kelompoknya Jalu untuk beraksi, Jalu ternyata tahu cara melemahkan anjing penjaga di rumah pak Iwan. Caranya yakni memasukkan apotas yang sudah disesuaikan dengan ukuran tulang yang akan di jadikan senjata. . Malam itu, mereka berkumpul di sebuah tempat tersembunyi di pinggiran desa, merencanakan setiap detail dari pencurian tersebut.
Malam itu juga, mereka mulai bergerak. Dengan langkah-langkah pelan, mereka menyusup ke dalam desa, mengendap menuju rumah pak Iwan yang mereka anggap paling mudah memperoleh banyak harta benda. untuk dijadikan target. Suroso, yang masih hijau dalam hal ini, merasa gugup tetapi juga bersemangat.
Ia mengikuti setiap instruksi yang diberikan oleh Jalu, berusaha sebaik mungkin untuk tidak membuat kesalahan.Namun, keberuntungan tidak berpihak pada mereka malam itu. Saat mereka baru saja berhasil mengikat dan membungkam salah satu anjing penjaga, terdengar suara pintu terbuka dari rumah terdekat. Seorang warga desa keluar, dan dalam hitungan detik, alarm bahaya berupa bunyi kentongan menggema.
Teriakan warga desa menggema di seluruh sudut desa, memanggil semua orang untuk keluar dan menangkap para pencuri.Suroso dan kelompoknya panik. Mereka tidak menyangka akan ketahuan secepat ini. Tanpa berpikir panjang, mereka berlari kencang, berusaha melarikan diri dari kejaran warga desa yang marah.
Suroso, dengan napas terengah-engah, berusaha mengikuti jejak Jalu, tetapi ia menyadari bahwa ia tidak secepat teman-temannya.
Ketika Suroso menyadari bahwa dirinya tertinggal, ia melihat sebuah sepeda angin milik warga yang terparkir di depan rumah. Dalam keputusasaan dan ketakutan yang mencekam, ia mengambil sepeda itu dan mengayuhnya secepat mungkin, meninggalkan desa Pandul dan teman-temannya di belakang.
Suroso tidak tahu ke mana harus pergi, hanya ada satu pikiran yang memenuhi kepalanya: melarikan diri.Sepeda itu membawanya melewati jalan-jalan yang sepi, semakin menjauh dari keramaian desa. Tanpa sadar, Suroso terus mengayuh sepeda itu menuju arah Gunung Nggandul, gunung yang penuh dengan cerita-cerita mistis yang sering diceritakan oleh orang-orang tua di desanya.
Gunung yang selama ini hanya ia dengar dari cerita-cerita seram, kini menjadi tujuannya dalam pelarian.Sesampainya di kaki Gunung Nggandul, Suroso berhenti sejenak, mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah.
Kegelapan malam menyelimuti sekelilingnya, hanya ada cahaya bulan yang samar-samar menerangi jalan setapak yang menuju ke atas gunung. Namun, meskipun rasa takut masih menggelayuti hatinya, Suroso merasa bahwa tidak ada pilihan lain.Ia meninggalkan sepeda di pinggir jalan dan mulai berjalan kaki menuju ke dalam hutan di kaki gunung.
Setiap langkah terasa berat, tetapi Suroso terus berjalan, seolah-olah gunung itu memanggilnya, memberikan harapan baru di tengah pelariannya.Di dalam hutan itu, dengan hanya suara angin dan desiran dedaunan yang menemani, Suroso berjalan menyusuri jalan setapak yang semakin curam dan menanjak.
Meskipun ia tidak tahu apa yang menantinya di puncak gunung, Suroso merasa bahwa inilah satu-satunya tempat yang aman baginya, jauh dari kejaran warga desa dan jauh dari massa yang mengejarnya.
.