Pada mulanya, sebuah payung kecil yang melindunginya dari tetesan hujan, kini berubah menjadi sebuah sangkar. Kapankah ia akan terlepas dari itu semua?
Credits:
Cover from Naver
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYZY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
In the Bathroom on a Rainy Night
Di sinilah mereka berdua berakhir di tengah malam yang dingin nan senyap.
Memang sudah terhitung lima tahun mereka berkencan. Satu tahun saat masih di sekolah menengah atas, tiga tahun setelahnya menjalani hubungan jarak jauh, dan tahun ini, sebenarnya ialah tahun di mana mereka untuk pertama kalinya bertemu. Namun, sangat disayangkan hubungan mereka begitu kusut. Perbedaan karakter yang signifikan, yang satu kaku dan dingin, yang satunya lagi pendiam. Kelihatannya memang tidak ada harapan untuk hubungan mereka. Semua orang pasti akan berpikir, lebih baik berpisah satu sama lain daripada terjebak dalam hubungan yang sama sekali tidak menggairahkan.
Sama seperti halnya malam ini. Andrew menahan Stella untuk tetap bersamanya. Ia hanya ingin tahu tentang seberapa kokoh pertahanan gadis itu. Apa yang sebenarnya membuat gadis itu begitu segan padanya dan tidak pernah meminta apapun darinya melainkan meminta untuk berpisah. Itu jelas tidak akan pernah terjadi. Sekeras apapun gadis itu berusaha, dia tidak akan mau melepasnya.
Alasan apa yang kira-kira menjadi penyebab semua keputusan sepihak itu? Di mata Andrew, Stella adalah alasan dia ingin melindungi seseorang. Ia sangat tahu bahwa gadis itu tidak memiliki siapapun dalam hidupnya. Dia benar-benar kesepian. Setiap kali ia melihat mata gadis itu yang tampak redup, kemudian membandingkannya dengan wanita lain yang kebanyakan tahu betul bagaimana memanfaatkan seorang pria, hatinya merasa terpukul. Sayang sekali ia harus memiliki gengsi yang sangat tinggi, sehingga ia hanya akan membiarkannya seperti itu. Karena pria itu sendiri tidak tahu bagaimana cara untuk membuatnya berubah.
Kira-kira apa yang dapat membuat gadis itu bahagia?
Andrew terus memikirkannya tanpa sadar sampai Stella mulai mencuci rambutnya.
"Bagaimana harimu? Apa itu menyenangkan?"
"Iya, itu sangat menyenangkan. Kami pergi ke banyak tempat," jawab Stella. Gadis itu meletakkan tangannya yang penuh busa di kepalanya sambil sedikit memijat kepalanya. Sementara tubuh pria itu sudah tenggelam di dalam bak mandi berisi air dan busa sabun. Tampaknya di luar sana sedang hujan gerimis, oleh karena itu ia merasa sedari tadi suhu di ruangan ini sangat dingin—meksipun tidak sedang menyalakan AC.
Ini adalah kali pertama Stella masuk ke dalam kamar mandinya. Tentu saja, ini berbeda dengan kamar mandi yang ia gunakan di kamarnya. Kamar mandi milik Andrew jauh lebih besar dari miliknya. Interiornya semua bewarna dasar gelap dan abu-abu. Ada beberapa tanaman gantung dalam pot yang menghiasi sebagian sudut kamar mandi ini, dan ada sebuah jendela persegi untuk mengatur sirkulasi udara. Secara keseluruhan baik interior maupun arsitekturnya tampak elegan.
Jangan tanya apakah ia gugup atau tidak. Sudah jelas sedari tadi ia membatin dalam hati kapan ia akan selesai mencuci rambutnya. Batinnya berteriak.
Beruntung Andrew sedang memejamkan mata. Dan ia duduk di belakangnya, kursi kecil ini memang benar-benar penyelamat. Setidaknya, ia tidak akan berjongkok selama berjam-jam atau terpaksa duduk di atas lantai kamar mandi yang sebenarnya begitu bersih ini.
"Baguslah, di masa depan nanti kau juga harus lebih sering meluangkan waktu seperti itu," gumam Andrew dengan mata masih terpejam.
Stella tidak mampu mengatakan hal apapun setelahnya.
"Aku akan membasuh rambutmu!" ucapnya setelah beberapa saat.
Stella meraih hand shower yang tergantung di sisi kirinya. Ia mulai menyalakannya dan menyiram rambutnya yang dipenuhi busa sabun.
Stella berjongkok di sampingnya agar air itu tidak mengenai tubuhnya.
Andrew kembali memejamkan mata saat merasakan air dingin itu mengalir di atas kepalanya. Sangat kontras dengan suhu air di bathtub yang hangat. Namun entah mengapa ia merasa itu sangat nyaman dan sedikit menyenangkan.
"Apa kau sudah punya gaun untuk dipakai saat pameran nanti?"
Stella menjawab sembari terus mengusap rambutnya dengan air mengalir. "Iya, aku sudah punya. Aku baru saja membelinya tadi pagi bersama Violet."
"Ah, begitu rupanya ...," Andrew menjeda perkataannya beberapa saat, "aku jadi tidak sabar melihat penampilanmu nanti," lanjutnya sembari tersenyum tipis. Dalam benaknya, terbesit sebuah rencana yang pastinya hanya dia yang tahu.
Sialan, dia pasti akan terlihat cantik sekali, batin Andrew sembari membayangkannya. Saat itu terjadi, para pria di luar sana pasti tidak akan berhenti untuk melihatnya. Itu sedikit membuatnya jengkel mengetahui mereka juga tertarik pada gadisnya. Bagaimana tidak, setiap saat, setiap kali ia pergi bersama Stella keluar, entah itu untuk makan malam atau kemanapun, pria dari kalangan muda sampai tua tidak ada yang tidak terpesona padanya.
Andrew menghela napas, bahkan meskipun Stella tidak pernah merias wajahnya, itu tetap tidak bisa dianggap remeh.
Anehnya, meskipun memiliki wajah yang seperti itu, gadis ini tetap tidak memiliki kepercayaan diri. Itu sangat menjengkelkan, sekaligus menguntungkan dirinya. Karena dengan Stella tidak menyadari betapa berharganya dirinya, gadis seperti dirinya tidak akan mudah mencari pria lain. Karena dia sangat pemalu. Stella akan terus menundukkan kepalanya padahal memiliki wajah yang sangat cantik. Apalagi dengan kepribadiannya yang polos itu, akan banyak lagi pria-pria tidak baik di luar sana yang ingin mendekatinya.
Karena mereka berpikir, gadis polos seperti itu lebih mudah untuk didekati hanya dengan modal berupa kata-kata manis dan rasa kepercayaan. Daripada gadis yang lebih proaktif.
Andrew akui, memang senang memiliki gadis penurut sepertinya. Ia tidak perlu susah payah beradu argumentasi, karena segala sesuatunya dia yang akan menang.
Selain itu, dia memang adalah tipe orang yang suka mengatur dan tidak dapat dibantah. Itu datang dari kebiasaannya menjadi pemimpin di sebuah perusahaan. Dan tentu saja, juga karena pengaruh didikan ayahnya.
"Angkat sedikit kepalamu," pinta Stella.
Andrew mengangkat kepalanya ke atas, sementara itu Stella langsung mengusap tengkuknya yang masih dipenuhi oleh sabun. Setelah gadis itu membersihkan kepala bagian belakangnya, Andrew kembali menurunkan kepalanya.
"Aku sudah selesai."
Stella mematikan selangnya sebelum berdiri untuk membersihkan bajunya yang sedikit basah.
"Apa kau tidak mencuci ram—"
"Tidak! Aku harus pergi sekarang," selanya sebelum Andrew benar-benar melanjutkan kalimatnya.
Andrew sedikit mendongakkan kepalanya ke samping kanan untuk melihat Stella yang sudah berjalan menuju pintu keluar dengan keadaan setengah basah.
Andrew tertawa tanpa suara melihat tingkahnya yang tampak seperti orang yang hendak kabur setelah melakukan perbuatan dosa.
Andrew menghela napas dan kembali memejamkan matanya tanpa beranjak dari bak mandi sedikitpun.
"Baiklah ... selamat malam, Stella. Jangan lupa ganti bajumu, itu basah," Andrew sengaja sedikit menggodanya.
Stella berhenti memutar kenop pintunya, walupun begitu ia sama sekali tidak berani menolehkan kepalanya ke belakang.
"Se-selamat malam Andrew," balas Stella. Setelah itu, ia segera keluar dari kamar mandi dan menutup pintunya dengan tergesa-gesa.
Stella terus berlari membuat napasnya semakin tidak beraturan. Jantungnya masih berdetak kencang meskipun ia sudah tidak lagi satu ruangan dengannya. Tampak rok selutut berenda putihnya tampak sudah basah kuyup.
Dalam hati, Stella menyesal tidak mengganti bajunya terlebih dahulu.
...CHAPTER END...
tapi sukaaa.. gimana dong..
boleh banyak2 dong up nya..
/Kiss//Kiss/
saran aja nih.. kalau buat cerita misteri, updatenya sehari 3 x.. supaya pembacanya ga kentang.. /Chuckle//Kiss/