Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
"Aku kecewa karena suamiku sendiri berniat menjandakan aku demi membahagiakan wanita lain."
Pelangi Faranisa, seorang gadis taat agama yang dijodohkan dengan pria brutal. Di malam resepsi pernikahan, ia dipermalukan oleh suaminya sendiri yang pergi tanpa permisi dan lebih memilih mabuk-mabukan.
Pemberontak, pembangkang, pembuat onar dan pemabuk berat. Itulah gambaran sosok Awan Wisnu Dewanto.
"Kamu tidak usah terlalu percaya diri! Aku tidak akan pernah tertarik denganmu, meskipun kamu tidak memakai apa-apa di hadapanku!" ~ Awan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Harus Malu?
Mobil milik Awan melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan cukup padat sore itu. Sepanjang jalan pikirannya terus tertuju pada pembicaraan tadi dengan Priska.
“Aku akan tetap menunggu! Begitu urusan kamu selesai dengan istrimu, baru kita pikirkan lagi hubungan kita selanjutnya.”
Seharusnya ucapan Priska membuat Awan merasa lega, senang dan bahagia. Kesempatan untuk merajut kembali hubungan yang pernah kandas itu terbuka lebar. Namun, di saat Priska mendeklarasikan keinginannya untuk kembali, tiba-tiba Awan malah merasa ragu.
Awan membuka kaca jendela mobil untuk melihat beberapa kendaraan di depannya. Saat itu juga, aroma lezat yang berasal dari sebuah kedai roti bakar menyita perhatiannya.
“Bukannya hari ini Pelangi sedang berpuasa, ya?” Pria itu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjuk di angka 17:30. Sepertinya tidak akan terlambat jika Awan mampir sebentar dan membeli sesuatu untuk pelangi berbuka puasa.
...........
Awan memasuki rumah dengan membawa sebuah kantongan makanan di tangannya. Sebentar lagi waktu maghrib akan tiba. Awan yakin bahwa saat ini Pelangi sedang berada di dapur.
Benar dugaannya, Pelangi sedang menantikan waktu berbuka puasa. Sebuah gelas berisi air putih dan juga kurma ada di meja.
“Dia buka puasanya pakai itu doang?” Awan bergumam menatap Pelangi yang duduk seorang diri.
Suara Adzan berkumandang membuat Pelangi tersenyum tipis. Bibirnya bergerak mengucapkan sebuah kata yang diartikan Awan sebagai ‘Alhamdulillah’. Pelangi mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, membuat Awan terpaku menatap wajah teduh yang nyaris tanpa beban itu.
Pelangi mulai meminum air putih dan memakan kurmanya.
“Ini untuk kamu!” Pelangi refleks menoleh saat mendengar suara Awan menyapa.
Sebuah kantongan berisi kotak makanan di letakkan suaminya itu ke atas meja. Aroma dari roti panas yang lezat menyeruak dari dalam sana.
“Assalamu’alaikum, Mas.”
Awan gelagapan. Dirinya selalu saja lupa mengucapkan salam saat memasuki rumah. “Walaikumsalam.”
“Terima kasih untuk makanannya,” ucap Pelangi dengan sebuah senyum di bibirnya.
Awan kembali terpaku. Ini adalah pertama kalinya Pelangi tersenyum kepadanya sejak menikah. Entah memang Pelangi yang tidak pernah tersenyum, ataukah Awan yang tak melihatnya.
"Mas mau ikut makan?"
Awan mengangguk dengan tatapan yang seolah terhipnotis oleh Pelangi. Wajah bulat, hidung kecil dan bibir mungil itu tampak semakin manis. Lesung pipit terlihat dalam saat bibirnya melengkung membentuk senyuman.
“Sebenarnya dia tidak jelek. Wajahnya sangat alami dan manis dengan riasan seadanya.”
Awan yakin Pelangi hanya memoles wajahnya dengan bedak tipis dan juga lipstik berwarna yang tidak mencolok. Meski begitu, sebenarnya Awan tidak begitu menyukai penampilan Pelangi yang baginya terlalu tertutup. Gamis panjang dengan khimar itu menyamarkan seluruh bentuk tubuhnya.
“Ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak pernah membuka penutup kepalamu? Apa kamu tidak merasa panas menggunakannya?”
“Aku sudah terbiasa menggunakannya sejak kecil.” Diiringi obrolan ringan, Pelangi menghidangkan roti bakar ke hadapan suaminya dan membuat teh hangat.
“Apa kamu tidak ada niat untuk sedikit merubah penampilanmu? Maksudku, tidak perlu terlalu tertutup seperti ini.”
Ya, dipikirnya mungkin Pelangi akan lebih manis kalau penampilannya sedikit dirubah.
“Ayah pernah bilang, satu langkah anak perempuan keluar rumah tanpa menutup aurat, maka satu langkah pula ayahnya mendekat pada api neraka. Begitu pun dengan suaminya.”
“Tapi ini kan di dalam rumah. Tidak ada yang akan melihatmu selain aku.”
“Aku malu, Mas.” Sebuah jawaban singkat yang menciptakan kerutan di tipis di kening Awan. Bukankah seharusnya seorang istri tidak perlu malu di hadapan suaminya sendiri?
“Kenapa harus malu?”
Pelangi kembali menundukkan pandangan.
“Aku belum pernah membukanya di hadapan laki-laki manapun, selain ayah dan Zidan. Lagi pula, bukankah Mas Awan pernah bilang tidak akan tertarik dan berselera, walaupun aku membuka seluruh pakaianku?”
...........