"Pergi kamu! Jangan pernah datang ke sini lagi! Bapak dan ibuku bukanlah bapak dan ibu kamu!" usir kakak sulungku yang ucapannya bagaikan belati menusuk hati, tapi tidak berdarah.
Kakak kandungku mengusir aku yang datang menemui bapak dan ibu kandungku, tapi bapak dan ibuku hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Inilah kisahku. Kisah seorang gadis yang terjebak dalam konflik keluarga. Memaksa diriku yang masih kecil berpikir dewasa sebelum waktunya.
Aku berusaha menjalani hidup sebaik yang aku bisa dan melakukan apapun semampuku. Selalu berusaha berpikir positif dalam setiap masalah yang menderaku. Berjuang keras menahan semua penderitaan dalam hidupku. Berusaha tetap tegar meskipun semua yang aku hadapi tidak lah mudah.
Bagaimana caraku, menghadapi kemelut dalam keluargaku yang berpengaruh besar dalam hidupku?
Yuk, ikuti ceritaku!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Perhatian
Aku terus memotong rumpun padi yang sudah menguning. Hingga satu jam kemudian...
"Paman, aku ketemu telur burung," ucapku dengan senyuman lebar membawa sangkar burung berisi beberapa butir telur burung yang aku ambil dari rumpun padi untuk aku tunjukkan pada paman.
"Ini, paman juga dapat. Nih, simpan dulu di pematang sawah sana," ucap pamanku yang ternyata juga mendapat sarang burung berisi telur.
"Wah, di goreng dan di rebus pasti enak," ucapku membawa dua sarang burung itu ke pematang sawah.
Aku melanjutkan memanen padi. Karena sudah terbiasa, aku bisa mengimbangi kecepatan memanen padi paman dan juga orang-orang yang ikut memanen padi. Dan amazing-nya, di antara orang-orang yang memanen padi ini, aku sendiri yang masih muda dan berjenis kelamin perempuan.
Aku yang tidak nyaman dengan orang yang tidak terlalu dekat dengan aku pun lebih memilih memanen padi tidak jauh dari paman. Pamanku ini sebenarnya orang baik, hanya saja tidak percaya pada Tuhan dan akhir-akhir ini jadi suka membangkang pada nenek karena hasutan bibi.
"Srash.."
Srash.."
Srash.."
Aku memotong rumpun padi dengan cepat. Hingga beberapa jam kemudian, tepatnya sekitar pukul sepuluh pagi...
"Srash.."
"Auwh.." pekikku saat tanpa sengaja jari kelingking ku terkena sabit.
"Kenapa?" tanya paman langsung berhenti memotong rumpun padi dan bergegas menghampiri aku.
"Jariku terkena sabit, paman," ucapku sambil meringis memegangi jari tanganku yang terkena sabit. Ingin rasanya aku menangis, tapi aku malu.
Darah nampak mengucur deras dari jari kelingking ku yang terluka. Entah sedalam dan selebar apa lukanya, aku tidak bisa melihatnya karena darah yang begitu banyak keluar dari jariku.
"Di ikat saja dulu, biar darahnya nggak keluar terus. Ini, ikat sama karet," ucap pamanku seraya memberikan karet gelang padaku.
Aku mengikatkan karet gelang itu di jariku dan perlahan darahnya tidak mengalir begitu deras lagi. Ingat! Tidak begitu deras yang berarti masih mengalir.
"Sudah, kamu pulang saja. Kamu nggak bakal bisa memotong padi lagi jika tangan kamu seperti ini," ucap paman menatap jariku yang masih mengeluarkan darah.
"Iya," sahutku, kemudian pulang.
Karena tubuhku kotor dan berkeringat, aku sekalian mandi sambil membersihkan jariku yang penuh dengan darah. Ternyata lukaku cukup dalam dan miring melingkar, karena bentuk sabit yang memang setengah lingkaran. Jari tanganku seperti hampir putus. Lingkaran luka di jariku ini bahkan mengenai kukuku.
Aku bahkan kesulitan untuk memakai dan melepaskan bajuku. Sedikit saja luka ini tersenggol langsung berdarah.
*
Keesokan harinya aku tetap sekolah, meskipun semalam tidak bisa tidur nyenyak karena jari tanganku yang terluka terasa cenat-cenut.
Saat istirahat, aku membaca buku yang aku pinjam dari Khaira. Namun ternyata isinya sama dengan buku yang aku pinjam dari teman yang lain. Jadi aku tidak mendapatkan hal yang berbeda yang bisa aku catat.
"Nih buat kamu," ucap Zayn yang baru saja duduk di bangkunya seraya menyodorkan sebungkus roti pada ku.
"U..untukku?" tanya ku dengan ekspresi wajah tak percaya.
"Iya. Aku tadi beli dua, karena pas beli satu nggak ada kembaliannya," jawab Zayn tersenyum tipis.
"Kamu bisa menyimpannya untuk nanti. Kamu anak kost, harus pintar mengatur keuangan, agar uang kamu cukup sebelum mendapatkan kiriman dari orang tuamu," ujarku tersenyum tipis.
Meskipun aku menebak kalau Zayn ini mungkin orang tuanya kaya, tapi itu, 'kan, cuma prediksiku. Aku tahu, tidak semua anak kos itu orang tuanya mampu. Karena itu, jadi anak kos harus irit.
"Nggak apa-apa. Uangku nggak akan habis cuma karena memberimu sebungkus roti. Terimalah pemberian kecil dari temanmu ini," ujar Zayn dengan senyuman di bibirnya.
"Terima kasih," ucap ku tersenyum hangat, pada akhir aku menerima pemberian Zayn karena ia mengatakan ini adalah pemberian kecil dari seorang teman. Aku senang dia menganggap aku sebagai temannya. Aku menyimpan roti pemberian Zayn dalam tasku.
"Ra, ini buku kamu. Terima kasih, ya," ucap ku tulus seraya menyerahkan buku bacaan salah satu mata pelajaran yang aku pinjam pada Khaira. Khaira pun menghadap ke belakang ke arahku.
"Sama-sama," sahut Khaira tersenyum lembut seraya menerima buku yang aku berikan. Aku memang sering meminjam buku dari teman-temanku, tapi memang paling sering meminjam buku milik Khaira.
Aku melirik Zayn. Ia menatap Khaira yang tersenyum tipis. Zayn menghela napas panjang setelah Khaira kembali menghadap ke depan. Aku rasa Zayn menyukai Khaira seperti siswa yang lainnya.
"Eh, jari tangan kamu kenapa?" tanya Zayn padaku.
"Ah, ini terkena sabit," sahut ku tersenyum sendu menatap jari tanganku yang hanya aku balut dengan kain.
"Kenapa tidak di balut dengan plaster luka?" tanya Zayn lagi.
"Ah, aku tidak sempat beli," sahut ku berbohong dengan wajah tertunduk. Sebenarnya uang simpananku sudah habis, karena kemarin aku pakai untuk membeli bumbu dapur yang habis, jadi aku tidak punya uang lagi untuk membeli plester luka.
Bel istirahat sudah berbunyi. Semua murid keluar dari kelas. Setelah semua murid keluar dari kelas, aku mengambil roti yang diberikan Zayn tadi. Aku tersenyum samar menatap roti pemberian Zayn. Aku mulai membuka bungkus roti, lalu memakannya dengan perlahan.
Aku menatap roti di tanganku sambil mengunyah roti yang sudah aku gigit tadi. Roti ini enak sekali. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali makan roti. Aku hanya bisa menghela napas yang terasa berat mengingat apa yang aku makan tiap hari. Namun aku bersyukur masih bisa makan.
Beberapa menit kemudian para siswa satu persatu mulai memasuki kelas. Zayn duduk di bangkunya, sedangkan aku membaca buku.
"Coba aku lihat tangan kamu yang terluka," pinta Zayn membuat pandanganku yang dari tadi fokus ke buku jadi beralih menatapnya.
"Aku ingin melihat tangan kamu yang terluka tadi," pinta Zayn lagi.
Perlahan aku menunjukkan tanganku yang terluka pada Zayn. Aku menatap Zayn dengan tatapan penuh tanda tanya. Kenapa dia ingin sekali melihat jariku yang terluka?
"Aku ingin membalut luka kamu dengan plaster luka," ucap Zayn seraya mengeluarkan plaster luka dari dalam saku kemejanya.
"Te..terimakasih. Tidak.. tidak usah. Pakai kain ini saja sudah cukup, kok," tolak ku dengan wajah tertunduk seraya menyembunyikan tanganku. Aku sangat menghargai perhatiannya padaku. Tapi mungkin dia akan jijik jika melihat lukaku yang dagingnya sampai terlihat dan juga bengkak ini.
"Jangan menolak! Atau aku tidak akan mau berteman lagi sama kamu. Cepat, kemari kan tangan kamu yang terluka!" ancam Zayn padaku.
Di ancam seperti itu, mau tak mau, akhirnya aku kembali menunjukkan tangan kiriku yang terluka. Zayn meraih tangan ku dan dengan hati-hati membuka kain biasa yang membalut luka di jari kelingkingku. Luka yang sengaja aku balut dengan kain yang cukup panjang agar saat tersenggol tidak langsung berdarah.
Zayn mengernyitkan keningnya saat baru membuka satu lilitan di lukaku, mungkin karena Zayn melihat ada darah di kain yang membalut lukaku.
"Kapan kamu terluka?" tanya Zayn menatap sekilas wajahku, lalu kembali fokus membuka lilitan kain di lukaku.
"Kemarin," sahut ku pelan dengan dahi yang berkerut menatap jariku. Ah, rasanya sakit sekali saat balutan kain ini di buka, meskipun Zayn membukanya dengan hati-hati, tetap saja terasa sakit.
Zayn terus membuka lilitan kain yang terkena darah ini dengan hati-hati. Ia nampak terkejut saat melihat luka di jari kelingkingku.
"Jari kamu terluka seperti ini, kenapa hanya dibalut kain biasa?" tanya Zayn dengan ekspresi wajah kasihan dan miris.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
trus kabarbindah yg dijodohkan dan udah nikah bagaimana ??
apa akan di lanjutkan di cerita indah yg sudah dewasa nanti ??
terimakasih author.ditunggu karya berikutnya