Darson Rodriquez seorang gangster yang menculik Gracia Vanessa, dan dijadikan sebagai pemuas ranjang selama tiga hari. Gracia yang dijual ibu tirinya harus menerima penderitaan yang tiada akhir.
Bagaimana Gracia bisa terlepas dari genggaman Darson yang berniat menjadikan dirinya sebagai simpanan? bukan tanpa sebab bos gangster tersebut sengaja gadis itu berada di sisinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27
"Hubungan bodoh seperti ini membosankan. Aku harus menghadapi suami yang tidak berperasaan. Padahal impianku adalah menikah dengan pria yang baik dan setia. Tapi aku malah terjebak dalam pernikahan yang menjijikkan ini," jawab Gracia dengan nada penuh keputusasaan.
Darson yang mendengar kata-kata itu, menahan amarahnya. "Kau menganggap pernikahan ini menjijikkan?" tanyanya dengan suara yang berusaha tenang namun tegang.
"Iya, ceraikan aku saja! Kalau masalah anak, lebih baik cari wanita lain!" jawab Gracia sambil menatap tajam pada pria itu, matanya berkilat dengan kemarahan yang terpendam.
Darson mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi yang mendidih. "Apa kau mengira bisa lari dariku? Aku tidak akan menceraikanmu. Jadi jangan berharap lagi!" ucapnya dengan tegas sebelum beranjak dari kamar.
Gracia memandang suaminya dengan penuh kebencian. "Hanya tahu menuntut aku harus patuh dan setia. Kenapa selalu menganggap dirimu orang yang paling berkuasa? Sedangkan aku adalah wanita rendahan," ujarnya dengan suara yang semakin bergetar.
Darson menghentikan langkahnya dan berbalik menatap istrinya, mata mereka bertemu dalam keheningan yang penuh ketegangan.
"Aku tidak ingin bertengkar denganmu," katanya dengan suara lebih lembut.
Gracia memalingkan wajahnya, menolak untuk melihat pria yang pernah dicintainya itu. "Selama bersamamu, aku hanya merasa seperti wanita rendahan dan tidak ada bedanya dengan pelacur. Aku juga merasa jijik dengan diriku sendiri," ucapnya dengan lirih, namun penuh dengan kepedihan.
Darson merasakan amarahnya mereda, digantikan oleh kebingungan. "Ada apa dengan wanita ini? Kenapa tiba-tiba saja emosi?" gumamnya pelan.
Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Gracia masih belum bisa memejamkan matanya. Ia duduk di lantai samping kasur, menatap ke arah jendela. Langit malam yang dipenuhi dengan bintang-bintang yang berkedip-kedip tampak seolah mengejek kesedihannya.
"Kenapa perasaanku begitu hancur dan terpuruk? Tidak terbayangkan lagi betapa hancurnya saat Mama dikhianati Papa. Sekarang aku juga sama, mencintai pria brengsek yang suka menyentuh wanita mana pun," gumam Gracia, air mata mulai mengalir di pipinya.
Di ruangan pribadinya, Darson masih fokus pada laptopnya, namun pikirannya tidak bisa lepas dari tingkah laku Gracia tadi.
"Ada apa dengan dia? Kenapa tiba-tiba menangis dan emosi? Siapa yang membuat suasana hatinya buruk?" batinnya.
Darson kemudian teringat ciuman mesranya dengan kekasihnya saat di kantor. Sebuah ciuman yang sangat menggairahkan dan penuh dengan perasaan. "Gracia? Kenapa dua wanita ini memiliki kesamaan? Apakah aku juga harus menikahinya dan menceraikan Gracia yang sudah menjadi istriku? Kenapa aku harus keberatan? Setidaknya aku sudah tahu, wanita yang aku cintai bukan yang menjadi istriku. Melainkan yang baru kembali dari luar negeri," gumam Darson pada dirinya sendiri.
Dengan pikiran yang berkecamuk, Darson beranjak dari ruangan itu dan menuju ke kamarnya. Ia membuka pintu dan melihat bantal, guling, dan selimut masih berserakan di lantai, sementara Gracia duduk diam di samping kasur. Pemandangan itu membuat Darson semakin penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Hei, sudah pukul 2, kenapa masih duduk seperti orang bodoh?" tanya Darson, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya di balik nada yang kasar.
"Aku memang bodoh. Bahkan sudah tidak bisa diselamatkan," jawab Gracia tanpa mengalihkan pandangannya dari lantai.
"Apakah kau ingin duduk hingga pagi?" tanya Darson lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun penuh keprihatinan.
"Tidak usah ikut campur. Urus saja dirimu sendiri," jawab Gracia dengan nada tajam.
"Wanita tidak waras," gerutu Darson saat ia berbalik ingin meninggalkan kamar.
"Di matamu, selain pelacur, aku juga tidak waras. Iya, aku dilahirkan hanya untuk direndahkan oleh siapa pun. Nasibku memang sial," ucap Gracia, suaranya penuh dengan keputusasaan. "Setelah bertemu denganmu, aku menjadi semakin sial."
Darson menghentikan langkahnya dan menatap Gracia lagi. "Ada apa denganmu hari ini? Apakah kau sangat ingin bertengkar denganku?" tanyanya, suaranya mulai menunjukkan nada frustasi.
"Tidak berani! Aku sadar diri. Mana berani aku bertengkar denganmu," jawab Gracia. "Lebih baik kau tidur saja di ruanganmu. Jangan mengusikku!"
Darson menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kesal dan kemudian meninggalkan kamar, menutup pintu dengan pelan. Hatinya dipenuhi dengan kebingungan dan perasaan yang bercampur aduk. Ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi istrinya yang tampak begitu terluka dan penuh kemarahan.
Sementara itu, Gracia tetap duduk di lantai, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa dunia ini terlalu kejam dan tidak adil. Dengan pikiran yang kacau dan hati yang hancur, Gracia hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan kebahagiaan yang tidak pernah dia miliki selama ini.
Keesokan harinya, Gracia sedang mencuci muka di kamar mandi. Air dingin menyegarkan kulitnya dan memberikan sedikit ketenangan pada pikirannya yang kalut. Dia menatap dirinya di cermin wastafel, mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri.
"Untuk apa aku harus menangis karena pria yang tidak setia. Lagi pula dari awal perjanjian aku harus memberi anak dan dia membayarku. Dan sekarang jangan harap aku mau hamil anaknya. Walau aku menerima bayaran, tapi aku tidak akan rela anak yang aku lahirkan memanggil wanita lain sebagai mama. Darson, kau punya anak atau tidak...bukan urusanku. Aku bukan wanita rendahan. Siapapun wanita yang bersamamu, aku tidak peduli. Dan jangan berharap kalian bisa menginjak kepalaku," gumam Gracia sambil menatap cermin wastafel dengan tegas.
Sesi sarapan bersama terasa tegang. Zanella, dengan senyum sinisnya, mencoba memprovokasi Gracia."Gracia, kenapa kamu membuang makanan? Apakah kamu tidak tahu kalau makanan itu dibeli dengan uang," sindir Zanella dengan sengaja.
Gracia tidak mau kalah. "Di dunia ini selain makanan, wanita dan pria juga bisa dibeli dengan uang. Bukankah begitu," jawabnya sambil menyindir Darson dan Zanella.
Darson, yang menyadari suasana hati Gracia yang masih buruk, hanya diam sambil fokus pada sarapannya, mencoba menghindari konflik lebih lanjut.
"Apakah kalian sedang bertengkar? Kenapa diam saja? Atau...kamu sudah bosan dan menemukan pengganti istri keduamu ini?" tanya Zanella dengan nada mengejek sambil menatap Darson.
Darson menatap Zanella dengan tajam. "Apa kamu bisa diam?" tanyanya dengan suara yang dalam dan menekan.
Gracia menyela sebelum Zanella bisa membalas. "Pria seperti Darson tidak akan cukup dengan satu atau dua wanita. Semua wanita yang bersamanya harus bisa main di atas ranjang. Itulah tipe suami kita. Kalau dia suka bermain, biarkan saja," jawab Gracia sambil menyindir suaminya.
Darson merasa terpukul dengan kata-kata Gracia. "Gracia Vanessa, apakah kamu sedang tidak puas denganku?" tanyanya dengan nada yang mulai marah.
"Sejak kapan aku puas denganmu? Aku hanya berkata yang sebenarnya. Kamu memang seorang penjahat kelam*n. Bukankah benar?" jawab Gracia dengan mengejek, matanya penuh kebencian.
Darson tiba-tiba menarik lengan Gracia dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah cepat. Zanella hanya bisa menatap mereka dengan penuh kepuasan, menikmati drama yang terjadi di depan matanya.
Di halaman depan rumah, Gracia menepis dengan kasar tangan suaminya dan menatap tajam ke dalam mata Darson.
"Apa masalahmu denganku?" tanya Darson dengan suara yang lebih tenang namun tetap tegang.
"Tidak ada! Kenapa kamu harus penasaran?" jawab Gracia dengan nada menantang, tidak mau menunjukkan kelemahan di hadapan suaminya.
Suasana di antara mereka semakin tegang, masing-masing terperangkap dalam perang emosi yang memanas.
"Gracia Vanessa, jangan lupa aturan selama menjadi istriku!" kata Darson dengan tegas, matanya menatap tajam pada Gracia, seolah mencoba menegaskan kekuasaannya.
Gracia mengangkat alisnya, tidak mau mundur sedikit pun. "Tentu saja aku tidak lupa, harus setia dan patuh. Lalu bagaimana denganmu? Apakah kamu bisa sama sepertiku? Jangan selalu menuntut aku harus patuh kalau kau sendiri tidak bisa mengendalikan dirimu!" jawabnya dengan suara yang tegas, penuh perlawanan.
Tiba-tiba, nada dering ponsel Darson memecah ketegangan di antara mereka. Dengan enggan, Darson mengeluarkan ponselnya dan melihat siapa yang menelepon. Dia menekan tombol jawab dan menempelkan ponsel ke telinganya.
"Hallo," sahut Darson, suaranya berubah lebih lembut dan hangat.
"Darson, ini aku. Malam ini kita bertemu di hotel. Aku sudah sediakan minuman kesukaanmu. Malam ini hanya milik kita berdua." suara wanita di seberang sana terdengar menggoda.
Gracia, yang berdiri cukup dekat, mendengar percakapan itu. Tangannya mengepal kuat, menahan emosi yang mendidih di dalam dirinya. Tanpa berkata apa-apa, dia memalingkan wajah dan melangkah masuk ke dalam rumah, berusaha menjaga martabatnya meskipun hatinya terasa terbakar.
"Sampai jumpa malam ini," ucap Darson sebelum memutuskan panggilannya. Suara lembutnya tadi berubah kembali menjadi dingin saat dia menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku.
"Sudah berpisah lima tahun dengannya, Sudah seharusnya aku membuat keputusan, Apakah aku harus mempertahankan pernikahanku dengan Gracia atau menceraikannya," gumam Darson." Siapa yang aku inginkan?"