Bukan ingin Elea terlahir dari rahim seorang istri siri yang dicap sebagai pelakor, sejak sang ibu meninggal, Eleanor tinggal bersama ayah kandung dan istri sah sang ayah.
Sejak kecil ia tak merasakan kasih sayang dari ayah kandungnya, tinggal di rumah mewah membuatnya merasa hampa dan kesepian. Bahkan dia dipekerjakan sebagai pelayan, semua orang memusuhinya, dan membencinya tanpa tahu fakta yang sebenarnya. Elea selalu diberikan pekerjaan yang berat, juga menggantikan pekerjaan pelayan lain.
"Ini takdirku, aku harus menerimanya, dan aku percaya bahwa suatu saat nanti Ayah bisa menyayangiku." Doa Elea penuh harap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.27
Malam pun tiba, seperti biasa Elea menunggu Bara pulang. Dengan alasan Bara lembur lagi, Widya menatap Elea yang sudah menguap beberapa kali.
"Kemana sih, Bara?" kesal Widya, dia mencoba menghubungi anaknya. Namun, tak di angkat.
"Astaga Bara," geram Widya, ingin rasanya dia menghajar sang anak. Sementara Rudi sudah terlelap, Widya sengaja belum tidur hanya untuk menemani Elea walau secara diam-diam.
Elea sendiri terus saja gelisah menatap jam dinding, dia takut terjadi sesuatu dengan Bara karena dia tak ada kabar setelah mengatakan akan pulang telat.
Elea kembali menguap, akhir-akhir ini dia sangat mudah mengantuk. Seperti nempel dikit dengan bantal, dia langsung tidur.
***
Sementara itu Bara, lelaki tersebut sedang ada diruang perawatan Tiana. Mau tidak mau, suka tidak suka. Dia harus menuruti semua perkataan Mala, jika tidak. Mala akan meminta semua biaya yang Bima keluarkan untuk Bara dan orang tuanya. Termasuk ancaman itu masih berlaku, Bima sendiri tidak mengetahui itu semua.
"Tiana, aku harus pulang." Ujar Bara, merasa cemas saat jam terus bergerak.
"Tunggu sebentar, aku masih kangen." Rengek Tiana.
"Tapi, Tiana ini sudah malam."
"Baru jam sepuluh loh! Biasanya, kita kalau keluar pulang jam sebelas," cetus Tiana, dia duduk menyandar.
"Tiana, aku sudah menikah. Aku adik iparmu," ucap Bara dengan tegas.
"Tidak, kamu bukan adik iparku. Elea bukan adikku, aku gak sudi punya adik macam Elea. Adikku hanya Tristan," tekan Tiana dengan menatap tajam.
"Sepertinya gadis itu sudah sembuh, sudah bisa marah-marah." Batin Bara, menatap Tiana dengan lekat.
"Jika kamu mencegahku, aku tidak akan pernah datang lagi menemui mu!" ancam Bara dengan wajah serius.
"Jangan, baiklah kamu boleh pulang. Tapi janji, besok kesini lagi semoga cepat pulang." Ucap Tiana.
"Lihat saja nanti," balas Bara, dia pergi begitu saja tanpa pamit pada Mala dan Tiana. Entah dimana Mala, Bara pun tidak peduli. Yang diinginkan dia hanya satu yaitu pulang menemui Elea.
Jalanan cukup lancar, karena malam semakin larut. Bara melirik jam menunjukan pukul setengah sebelas malam, dia merasa sangat bersalah pada Elea.
"Aku harus jujur," gumam Bara dengan pasti.
Tak membutuhkan waktu lama, Bara sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Kini gerbang sudah dibukakan oleh penjaga yang sudah diberitahu sebelumnya.
Bara masuk ke dalam, dan mendapati Elea tertidur di sofa ruang tamu bersama Widya.
"Maafkan aku Elea, Bu." Lirih Bara.
Tak ingin mengganggu Elea, Bara membangunkan Widya dan memintanya pindah ke kamar.
"Aku akan bawa, Elea ke kamar." Bisik Bara pada Widya.
"Kamu dari mana, sih? Jangan suka lembut, kasian istrimu gak baik." Ucap Widya dengan suara seraknya.
"Nanti aku cerita, Bu. Ayo masuk kamar," pinta Bara, Widya pun menurut tadi setelah Elea tertidur. Widya langsung tidur menemani menantunya tersebut, dan menyelimutinya agar tak kedinginan.
Setelah Ibunya naik, Bara langsung menggendong Elea. Elea menggeliat dan menyusupkan wajahnya ke dada Bara.
"Kamu baru pulang, Mas?" tanya Elea, lalu kembali tidur.
"Iya." Jawabnya.
Bara merebahkan Elea di kasur, lalu menyelimuti tubuhnya agar hangat.
"Maafkan aku, Elea. Aku janji akan menyelesaikan semuanya," kata Bara mencium kening sang istri.
Bara sendiri langsung membersihkan tubuhnya, yang sangat lelah. Bukan hanya tubuh, tapi pikiran pun membuatnya lelah.
***
Pagi menyapa, Elea sudah menyiapkan sarapan untuk semua orang. Wajahnya memancarkan keceriaan, seolah tak ada masalah sama sekali. Bahkan dia melupakan Bara yang pulang malam.
"Ini kopinya, Pak dan teh buat Ibu."
Elea meletakan kopi dan Teh untuk mertuanya, dengan beberapa cemilan yang Elea beli dari pedagang keliling.
"Makasih nak," balas Rudi, dijawab anggukan oleh Elea.
Elea kembali ke dapur, untuk menyiapkan kopi dan bekal untuk Bara. Karena hari ini, Elea berencana untuk membeli bibit bunga, buah dan sayuran bersama Widya.
Bara menatap punggung Elea yang sibuk memasak, juga memotong sayuran. Masakan itu, masakan yang akan Bara bawa untuk makan siang.
"Bagaimana aku, tidak jatuh cinta padamu. Elea, kamu terlalu sempurna menjadi istriku." Gumam Bara tersenyum menatap istrinya.
"Tuan Bara, anda perlu sesuatu?" tanya Mita, karena dia melihat majikannya melamun dan senyum sendiri.
"Tidak ada," jawab Bara, memilih meninggalkan dapur dan bergabung dengan orang tuanya.
"Bara." Panggil Widya, saat melihat sang anak berjalan ke arahnya.
"Ya Bu, ada apa?" tanya Bara, langsung duduk disebelah Widya.
"Semalam dari, mana? Kenapa pulangnya, larut?" Widya akan mulai mengintrogasi Bara.
"Aku itu ..." Bara bingung ingin menjawab apa.
"Dari mana, Bara? Jawab saja yang jujur."
"Aku dari rumah sakit, Bu. Tiana sakit, dia meminta Bara untuk datang jika tidak Nyonya Mala akan meminta kembali. Apa yang suaminya berikan pada kita selama ini," papar Bara menatap Widya dengan serius.
Widya dan Rudi menghembuskan nafasnya dengan pelan, nasib mereka menjadi bawahan. Pembicaraan mereka terhenti saat Elea datang membawa kopi untuk Bara, dimana asap panas masih mengepul.
"Terima kasih, sayang." Ucap Bara, dijawab anggukan oleh Elea. Membuat Bara sedikit heran, dengan sikap istrinya tersebut.
"Mungkin hanya perasaanku, saja." Batin Bara.
bersambung...
Maaf typo