Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22.
Seorang anak berusia 10 tahun sedang tergeletak di rerumputan mengelinjang kesakitan.
Dia menjerit-jerit. Wajahnya pucat-pasi.
Tempurung lututnya terkilir akibat tertendang lawannya saat main bola kaki.
"Ayo kita antar saja ke rumahnya. Biar nanti bisa diobati." Seorang warga menyarankan.
"Kalau kamu berani antar saja sendiri."
Memangnya kenapa?" Tanyanya heran.
Bapak bocah ini panas baran. Kalau kita antarkan ke sana, bukannya berterima kasih, malah nanti kita yang disemburnya dengan sumpah serapah."
"Iya, betul tu. Malah nanti kita yang disalahkan karena telah membuat anaknya cedera." Sahut yang lain.
"Lalu bagaimana? Apakah kita biarkan saja si bocah ini merintih kesakitan di sini?" Tanya warga yang pertama tadi bingung.
Ini seperti makan buah simalakama, ditolong salah tak ditolong seperti tak mempunyai hati nurani.
Tapi warga desa ini memang malas berurusan dengan Pak Diran si panas baran orang tua bocah ini.
Di saat mereka sedang bingung tak tahu apa yang mesti dilakukan, "Tolong bawa anak ini ke bawah pohon sana, Pak! Kasihan dia kepanasan." Seorang pemuda sederhana yang tak lain adalah Mumu adanya, menyeruak dari kerumuan.
"Eh, iya, Mari kita bawa ke sana!" Mereka seperti tersadar dari kebingungan. Lalu Dua orang laki-laki maju." Hati-hati jangan sampai tersentuh lututnya."
"Baringkan di sini, Pak!" Perintah Mumu. Lalu ia berjongkok di samping bocah itu dan mengurut pelan.
"Adik pejamkan matanya sebentar ya! Mau sehat kan?" Bocah itu mengangguk.
Mumu tak ingin bocah itu melihat cara pengobatannya agar tidak trauma.
Untuk rasa sakit Mumu tak risau. Ia cukup mematikan saraf perasa di sekitar kakinya sebentar baru mulai mengobati.
Mematikan fungsi saraf-saraf tertentu kemudian menghidupkannya kembali sudah menjadi keahlian Mumu.
Setelah saraf perasa sudah dinonaktifkan, Mumu dengan mudah membetulkan posisi tempurung lutut yang berpindah tempat.
Tak sampai sepuluh menit pekerjaannya selesai.
Warga yang berkerumun hanya bisa melongo. Mereka sangat kagum dengan keahlian Mumu.
Baru kali ini mereka menyaksikan pengobatan seperti itu.
Si sakit tak perlu menjerit-jerit menahan sakit saat anggota tubuhnya yang terkilir mulai diobati. Ini seperti dibius ketika akan melakukan operasi.
Baru mereka menyadari bahwa wajah pemuda itu asing bagi mereka.
Wajahnya biasa saja. Terlalu ganteng tidak dibilang jelek tidak juga.
Dibalik wajah yang biasa itu terselip pesona yang membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa senang.
"Coba berdiri, Dik!"
Anak itu berdiri dengan gamang. Saat dia mulai menggerakkan kakinya tapi tidak merasakan sakit lagi, wajahnya berbinar senang.
"Tapi dalam seminggu ini kamu belum boleh main bola lagi ya. Kalau tidak sakitnya nanti akan kambuh lagi." Saran Mumu. "Tak mau sakit lagi kan?" Bocah itu mengangguk.
Setelah berbasa-basi sebentar dengan warga yang ada di situ, Mumu akhirnya pamit mohon diri.
Setelah menyeberangi sungai yang membatasi kecamatan Tebing Tinggi Barat dan Pulau Merbau menjelang sore Mumu baru sampai di rumahnya.
...****************...
Erna Syakila adalah gadis yang baik hati, ramah dan cantik. Ia adalah salah seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi yang ada di Selatpanjang.
Selain cantik dan ramah dia juga termasuk keluarga yang berada. Ayahnya, Pak Sukamto merupakan Direktur PT. Sagu, sebuah perusahaan yang sedang naik daun di kota Selatpanjang ini bahkan mulai dikenal di daerah provinsi.
Menginjak usia sembilan belas tahun kecantikan, kekayaan serta keramahannya mulai terkenal apa lagi di kalangan mahasiswa kampus dan jiran tetangganya.
Bagi sebagian orang yang baru mengenal Erna, mereka pasti bertanya-tanya kenapa dia memilih kuliah di Selatpanjang dibanding kuliah di luar daerah seperti Pekanbaru misalnya atau di kota-kota besar lainnya yang memang sudah terkenal kampusnya. Pada hal dia anak orang kaya. Persoalan biaya bukanlah suatu masalah baginya.
Hanya orang-orang yang terdekat saja yang paham alasannya.
Saat ini sore hari, Erna sedang membantu ibunya masak di dapur. Walaupun di rumahnya ada pembantu, tapi Erna sudah biasa dididik dari kecil untuk belajar memasak.
Hingga kini Erna sudah pandai memasak beraneka macam makanan. Kata Ibunya seorang suami itu lebih suka masakan istrinya sendiri dari pada dimasak oleh pembantu atau pun beli di luar sana.
Lagi pula dengan memasak dan menghidangkan untuk suami merupakan suatu ladang amal bagi sang istri.
Walaupun hingga sekarang Erna belum memikirkan soal berumah tangga tapi dia tetap semangat dalam mempelajari berbagai cara memasak.
Erna sedang membantu ibunya membuat ketupat dari daun kelapa muda. Besok merupakan hari raya idul adha.
Biasanya hari raya merupakan suatu peristiwa yang mengembirakan bagi Erna dan keluarga.
Tapi sejak tiga tahun lalu tepatnya tahun 2020 silam telah terjadi musibah yang menimpa ayahnya, Pak Sukamto.
Waktu itu Pak Sukamto baru pulang dari kantor, baru saja kakinya melangkah memasuki rumah, tiba-tiba Pak Sukamto langsung tumbang tak sadarkan diri. Pada hal sebelumnya Pak Sukamto sehat-sehat saja. Apa lagi dia memang biasa olah raga dan rutin cek kesehatan dengan dokter keluarga.
Ibu Erna langsung menelpon dokter keluarga, atas sarannya hari itu juga Pak Sukamto langsung dirujuk ke RSUD.
Menurut diagnosa awal dokter, Pak Sukamto mengalami stoke ringan. Setengah badannya yang bagian kiri tak mampu bergerak.
Tapi pas keluar hasil labor, dokter pemeriksa hanya bisa bingung. Sebab hasil pemeriksaan, keadaan Pak Sukamto semuanya baik-baik saja. Tensinya normal, gula darah normal, asam urat dan kolesterol tak ada masalah.
Oleh karena itu dokter Wardana yang bertugas kala itu meminta pemeriksaan ulang.
Sampel darah Pak Sukamto kembali diserahkan ke bagian labor untuk diperiksa. Hasilnya masih tetap sama.
Setelah satu hari dirawat di RSUD tapi tak ada perkembangan apa-apa, akhirnya Pak Sukamto dirujuk ke Pekanbaru, hasilnya masih sama.
Lalu dibawa ke Jakarta waktu itu tapi hasilnya masih sama.
Akhirnya pihak keluarga membawa Pak Sukamto ke Singapura dan Melaka tapi kondisinya malah memburuk.
Berobat terapi pun sudah dilakukan tapi hasilnya masih nihil.
Hingga kini, tiga tahun berlalu kondisi Pak Sukamto masih seperti itu juga.
Makanya setiap menyambut hari raya, Erna tak pernah lagi merasakan kebahagian sebagaimana yang dirasakan oleh teman-temannya yang lain.
Ini jugalah alasan kenapa dia tidak kuliah ke luar daerah agar dia tetap bisa merawat dan menjaga ayahnya.
Handphone Erna tiba-tiba berbunyi. Sebuah pesan baru masuk. 'Kenapa tiba-tiba Nisa mengirimnya pesan? Kuliahkan masih libur.' Pikirnya. Nisa adalah teman satu angkatan kuliah dengannya.
Erna bergegas membacanya. Saat pesan tersebut dia buka mendadak mata Erna terbelalak, nafasnya memburu dan tangannya sontak gemetar. Apakah berita ini benar?
Erna langsung menelpon Nisa untuk mengkonfirmasi berita tersebut. Tapi tak dijawab.
Erna kembali menelpon tapi masih tidak dijawab. Akhirnya Erna hanya bisa mengkonfirmasi lewat pesan.
"Apakah berita ini benar, Nis?? Tolong jawab segera! Penting!! Please!!"
Erna menunggu dengan tak sabar. Tapi Pesannya belum dibaca.
Erna menjadi gugup. Dia kembali menelpon Nisa. Masih tak ada jawaban. 'Kemana lah si Nisa ini? Baru saja ngirim pesan malah langsung menghilang.' Sungutnya muram.
Raminten