NovelToon NovelToon
Bintang Antariksa

Bintang Antariksa

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Fantasi Timur / Romansa
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: ajab_alit

Aku adalah anak perempuan yang memiliki nama “Upeksa Nayanika”. Aku suka buku dan hal-hal yang menakjubkan. Tapi tanpa ku sadari… aku juga salah satu dari bagian hal yang menakjubkan. Hidupku aneh setelah kejadian itu muncul. Tapi, Apakah aku akan bertahan dengan hal menakjubkan itu? Maukah kamu mengenal ku lebih dalam wahai para bintang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ajab_alit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 24

Timira berjalan tanpa arah di ruangan yang besar ini. Setiap kali ia bergerak, melangkah, menyentuh boneka-boneka kecil yang ada disini, serangan tetap tak datang padanya.

"Jangan sentuh boneka itu," ucap seseorang yang sangat Timira kenali suaranya. Ia menghentikan aktivitasnya yang hendak menyentuh boneka beruang berwarna pink muda. Timira berbalik, lalu kembali mengacungkan belatinya.

Helen melangkah dengan santai sambil mengangkat kedua tangannya. "Tenanglah, aku memihakmu disini."

Timira tak merespon ucapan itu. Ia tetap memandang sosok itu dengan waspada.

Trangg!!!

Helen membenturkan pedangnya pada belati kecil Timira, membuat belatinya terhempas cukup jauh, ia bergerak dengan cepat sehingga Timira tak dapat melihat gerakannya. Timira terpojok, elf berambut ikal itu mengarahkan pedangnya ke leher Timira, sekali ia bergerak, maka kepalanya akan berpisah dari tubuhnya.

"Ayo bekerja sama. Mari kita serang adikku, tapi jangan sampai melukainya, cukup buat dia pingsan."

"Tunjukkan sosok aslimu, Helen. Aku tahu, kau hanya ber-akting sekarang."

TRAKK!

Helen menangkis sebuah anak panah batu, membuat anak panah tersebut terlempar, ia melakukan hal itu tanpa melihat serangan tersebut. Kali ini, Timira mengarahkan belatinya ke perut sosok itu dan pedang sihir ke lehernya. Helen tertawa, membuat Timira heran.

"Jangan terlalu waspada, nona. Apakah kau tak ingin keluar dari sini bersamaku? Kunci untuk mengalahkan kedua adikku ada pada diriku. Aku tahu, kau semakin merasa lelah terus berada di ruangan ini. Kau tak akan sanggup mengalahkan dua orang itu sendirian, nona." Helen tersenyum smirk. Timira mendecak, lalu menurunkan belati serta menghilangkan pedang sihirnya. Helen merogoh sesuatu dari saku celananya. Ia memberikan sebuah obat berbentuk lingkaran pada Timira. Timira mengerutkan keningnya, membuat Helen memutar bola matanya malas. Helen memasukkan obat itu ke mulut Timira dengan paksa, hingga Akhirnya obat itu pun tertelan.

"Bagaimana? Sudah merasa sedikit lebih baik?" Timira mengangguk sebagai respon. Obat itu membuat rasa lelah pada dirinya menghilang. Timira tak tau itu obat apa, tapi setidaknya obat itu mampu membuatnya kembali bisa menyerang dengan kekuatan penuh. "Bagus. sekarang ikuti aku, kita pergi serang adikku bersama," ucap Helen.

Helen melangkah, menjauhi Timira yang masih diam di tempatnya. Elf berambut ikal itu berhenti melangkah, ia melihat ke belakang saat ia merasa perempuan itu tidak ada di belakangnya." Aku sudah memberikan obat penghilang rasa lelah, loh. Kau masih ragu denganku?"

Timira menghela nafasnya. Ia melangkah, mendekat ke Helen, walaupun ia masih waspada terhadap elf itu. Helen melompat-lompat, menaiki beberapa kotak mainan, menangkis semua serangan yang datang padanya. Timira juga melakukan hal yang sama hingga Mereka berdua sampai di tempat tertinggi ruangan ini. Kali ini, mereka menginjak kepala boneka beruang raksasa yang usang.

"Sebentar lagi, kita akan bertemu adikku yang selalu memegang bonekanya kemana-mana. Kau belum merasa lelah kan, nona yale?" Helen melihat ke Timira yang ada di belakangnya.

"Tenang saja, aku bukan orang yang gampang merasa lelah. Lalu, tolong jangan panggil aku dengan nama keluargaku, panggil aku Timira. " Timira melihat sekelilingnya. Kali ini, Timira tak menggunakan belati lagi, Ia menggenggam erat pedangnya yang panjang dan elegan.

Helen memiringkan kepalanya, sebuah bintang dengan sisi yang tajam melewatinya. Elf itu berhasil mengelak dari satu serangan yang datang tiba-tiba.

Suara tawa terdengar dari kabut yang sangat tebal. Si elf kecil yang memegang boneka muncul dari sana. Ia tersenyum. " Kalian hebat sekali karena berhasil melewati semua serangan yang ku desain khusus untuk kalian," ucapnya dengan senyum yang semakin naik. "Tapi, kalian bukanlah lawan yang sepadan denganku. Berhati-hatilah karena akulah penguasa disini." Si elf kecil tertawa. Lalu, memainkan tangan boneka yang ada di tangannya, ia membuat boneka itu memeluk dirinya sendiri.

Ruangan yang dipenuhi oleh boneka dan kotak mainan ini menyempit. Boneka beruang dan kotak-kotak yang ada disini terdorong ke tengah ruangan. Setelahnya, boneka-boneka itu menjadi hidup. Mereka memanjat boneka beruang besar yang kotor, tempat dimana si elf kecil, Helen, dan Timira berada. Helen mengacungkan pedangnya, bersiap untuk menyerang.

"Timira, kau urus adikku, Boneka-boneka ini biar aku yang mengurusnya. Kau hanya perlu melukai boneka yang sedang ia mainkan." Mereka berdua saling membelakangi. Timira mengangguk, menuruti perintah si elf berambut ikal.

"Itu takkan terjadi. Kau tidak bisa melukai boneka milik adikku. Kau menyebalkan, kak Helen." Claire muncul dari kabut yang sangat tebal, ia menyeret pedangnya yang besar. Sosok itu melangkah, melewati adiknya yang asik memainkan boneka usangnya, lalu berhenti di pertengahan arena pertarungan. "Sekarang, kau adalah lawanku, kak Timira." Claire menghilang, ia tak lagi membelakangi adiknya. Sosok itu tersenyum di belakang Timira. Ia mengayunkan pedangnya, membuat Timira menabrakkan pedang miliknya agar serangan itu tak mengenainya.

"Aku tidak ada waktu untuk melayani mu, bocah."

"Tapi, kau harus melayaniku, kak." Mereka berdua melompat, menangkis, menabrakkan benda metal yang mereka pegang. Keringat terus mengucur keluar dari dahi mereka. Sedangkan Helen, sibuk dengan boneka-boneka beruang yang berusaha membuat gerakannya terhenti. Helen terus menebas boneka-boneka itu, membuat mereka mengeluarkan kapas dari tubuh.

'aku tidak bisa terus seperti ini,' batin Timira. Timira melompat setinggi-tingginya, lalu mengeluarkan sayap merpatinya. Ia mengepakkan sayap itu, membuat angin berpihak padanya. Ia menjatuhkan boneka-boneka yang terus menyerang Helen, membuat Claire dan adiknya kesulitan untuk melihat. Badai angin yang ia ciptakan sangat besar, bahkan mampu untuk menghancurkan satu kota.

Claire terjatuh ke tumpukan boneka yang terus berusaha naik untuk menghentikan gerakan Helen. Satu musuh berhasil dilumpuhkan. Timira pun menghilang dari langit, lalu menusuk boneka serta sang adik yang sebelumnya asik bermain dengannya. Sang adik memuncratkan darah dari mulutnya, kemudian tersenyum. Sosok kecil itu dan bonekanya menghilang dari pandangan Timira. Timira membelalakkan matanya, ia terkejut. Setelahnya darah pun keluar dari mulutnya, seseorang telah menusukkan pedang pada perutnya.

"Jatuh," ucap si bungsu elf. Kaki Timira melemah seketika, ia kehilangan keseimbangannya, lalu terjatuh.

"TIMIRAA!!" teriak Helen. Ia menjatuhkan dirinya, menjulurkan tangannya ke Timira. Timira hendak meraih tangan itu, tapi sayangnya, Helen malah mendorong pedang yang ada di perut Timira, membuat pedang itu mundur ke belakang. Timira menjerit kesakitan, sedangkan Helen tersenyum puas. Saat Timira terjatuh ke lantai, pedang yang ada di perutnya maju kedepan, membuat Timira semakin menjerit kesakitan. Perut Timira robek cukup lebar.

Helen menusukkan pedang miliknya ke perut Timira, membuat darah semakin banyak keluar. Timira meringis, perlahan-perlahan penglihatannya kabur, sosok itu terbaring lemas di lantai yang berlumuran darah.

"Makanya, jangan menghilangkan naluri benar mu karena percaya pada omonganku. Sungguh malang nasibmu, Timira. Terimakasih sudah mau menusuk boneka milikku dan bertahan di istanaku. Hihi," ucap Helen dengan senyum psikopatnya.

Timira menatap sosok itu dengan garang. "Si-sialan kau manusia berwa-wajah seribu," ucap Timira untuk yang terakhir kalinya. Sosok itu menutup matanya. Anak yang mirip dengan pemeran utama kita, kalah di tempat orang-orang jahat tertawa karena kekalahannya.

...###...

Naya mengerjap-erjapkan matanya. Ia terbangun saat suara berisik memenuhi telinganya. Nalen dan Ayu asik tertawa dipinggir kasur yang Naya tiduri. Naya bangkit dari tidurnya, membuat mereka berdua melihatnya. Nalen yang senang, memeluk tubuh kecil yang lemas itu. Naya menjerit kesakitan karena pelukan itu, Nalen cepat-cepat melepaskan pelukannya sebelum dipukul oleh teman singanya.

“Ma-maaf, kak. Aku lupa kalau kau terluka,” ucap Nalen panik.

Naya mengerutkan keningnya. “luka?”

“Iya, kau terluka entah kenapa. Siang tadi, saat kau bermain bersama Kiva, tiba-tiba saja perutmu mengeluarkan darah, lalu kau pingsan. Bodohnya, bocah ini...” Ayu menjewer kuping Nalen, membuatnya mengeluh kesakitan. “Malah membawamu kemari, bukannya membawamu kerumah sakit.” Ayu berhenti menjewer Nalen, Anak lelaki itu mengelus-elus kupingnya.

Naya meringis. “Bolehkah aku menelpon orang tuaku?” tanya Naya pada dua orang yang asik dengan dunianya.

Ayu menoleh pada Naya. “Boleh saja, kalau kau bisa berjalan ke ruang depan untuk memakai telepon rumah tradisional. Selama orang tuaku pergi, handphone tak ada disini.”

“Tentu saja bisa.” Naya hendak berdiri, namun ia kembali terduduk. Rasa sakit yang ada diperutnya membuatnya mengeluh kesakitan. Nalen dan Ayu meringis.

“Sepertinya, kau tak bisa melakukannya. Aku akan mengambil pensil, mau kucatatkan nomor telepon orang tuamu? Supaya aku bisa menelpon mereka di ruang tamu.”

“Boleh saja. Tolong ya, Yu.” Ayu mengambil pensil dan kertas yang ada di tasnya. Anak kecil itu kembali ke Kasur, lalu mencatat nomor telepon orang tua Naya yang ia dengar dari lisan teman perempuannya itu. Ayu pun pergi ke ruang tamu saat nomor telepon itu sudah tercatat, meninggalkan Nalen dan Naya berdua di kamarnya.

Suasana hening setelah Ayu pergi. Nalen menggaruk tengkuknya yang tak gatal, bingung harus berbicara apa.

“Berapa lama aku tertidur?” Naya memulai topik, memecahkan keheningan yang ada di ruangan ini.

“Mu-mungkin tiga ja-jam,” ucap Nalen gelagapan, Ia tersenyum kaku setelahnya. Keheningan pun kembali. “Sepertinya, aku dan Ayu harus mengarang sesuatu.”

Naya menghela nafasnya. “Maaf, ya, sudah merepotkan.”

“Ti-tidak merepotkan kok, kak.”

Naya menidurkan dirinya kembali, ia menatap langit-langit kamar Ayu yang di penuhi bintang. “Apakah Ayu orang yang sangat menyukai bintang?” gumam Naya yang dapat didengar Nalen.

Nalen ikut menatap langit-langit kamar Ayu. “Tidak, orang itu memasang bintang di langit-langit kamarnya karena aku. Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak, jika tidak ada bintang yang memperhatikanku.” Nalen tersenyum. “Ayu selalu melakukan hal-hal kecil yang membuatku nyaman, walaupun dia seperti singa.”

“Ayu sangat menyayangimu, ya.” Naya melihat ke Nalen. ‘Jika diperhatikan, Ayu dan Kiva benar-benar mirip,’ batin Naya.

“Ya, memang. Tapi, terkadang itu membuatku iri.”

“Kenapa?”

“Kak ayu bisa melakukan hal kecil untukku, melindungiku, menjagaku dengan baik. Tetapi aku, tak bisa melakukan apapun untuknya. Aku iri karena aku tak bisa seperti dia yang sangat menyayangiku.” Nalen membaringkan dirinya.

Naya dan Nalen terdiam, Mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Naya mengkhawatirkan seorang teman yang hanya bisa dilihat olehnya, menurutnya . Perasaannya tak enak, pasti terjadi sesuatu pada teman yang sangat mirip dengannya. Sedangkan Nalen, ia memikirkan beberapa hal yang sulit untuk dipahami. Mereka berdua menatap bintang-bintang yang menempel di langit-langit kamar Ayu. Keduanya sama sekali tak mengeluarkan suara hingga keduanya sama-sama tertidur.

...###...

...Berpikirlah terlebih dahulu untuk membuat luka pada perempuan yang ada padamu. Si kecil Naya tiba-tiba mengeluarkan darah, itu pasti efek karena kau melukai perempuan itu. Bisa gawat kalau dia mati, tuan. ...

Seorang lelaki dewasa tersenyum masam ketika membaca surat itu. Ia melihat ke Timira yang sedang dirantai di dalam ruangan jeruji besi. Seorang anak kecil berjalan sambil menimang-nimang boneka beruangnya yang usang. Ia menatap bingung ke tuannya yang sedang menatap ke anak kecil yang ia buat terluka. Anak kecil itu menghampiri tuannya, lalu menggoyangkan tangannya. Sang tuan pun menatap si anak kecil, ia tersenyum.

“Ada apa, Clover? Apakah kakakmu mengganggumu lagi?”

Clover menggelengkan kepalanya. “Tuan kenapa? Apakah surat dari kakak senior berhubungan dengan nona dari keluarga yale?” ucap Clover dengan polosnya.

“Sedikit. tapi, Clover tak perlu terlalu memikirkannya. Bermainlah saja dengan Barney, ya.” Sang tuan mengelus kepala Clover, lalu mengelus kepala bonekanya yang usang. Clover mengangguk, kemudian pergi entah kemana. Si tuan tersenyum melihat anak itu, ia jadi teringat tentang sesuatu. ‘aku harap kamu kembali, ‘ batinnya.

1
Yusup Muzaki
terasa kdunia pantasi ...walw ceritanya masih blom dpahami
ajab_alit: nanti lama-lama juga ngerti kok, kak.
total 1 replies
Shinn Asuka
Setting ceritanya memang hebat banget! Bener-bener dapet jadi mood baca di dunia fiksi ini. ❤️
ajab_alit: terimakasih
total 1 replies
XVIDEOS2212
Gak sabar lanjut baca!
Debby Liem: tuiiooooo
ajab_alit: untuk kelanjutan akan saya up besok. di tunggu saja ya/Smirk/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!