NovelToon NovelToon
Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Romantis / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Aku punya cerita nih, soal dunia ku yang banyak orang bilang sih kelam, tapi buat ku malah keren dan penuh dengan keseruan. Aku punya circle, sebuah geng yang isinya anak-anak yahut yang terkenal jahil dan berani. Seru abis pokoknya! Mereka itu sahabat-sahabat yang selalu ada buat ngelakuin hal-hal yang bikin adrenaline kita ngacir.

Kita sering hang out bareng, kadang sampe lupa waktu. Dari yang cuma nongkrong asyik di tempat-tempat yang biasa kita tongkrongin, sampe yang agak miring kayak nyoba barang-barang yang sebenernya sih, yah, kurang direkomendasiin buat anak muda. Tapi, yah, lagi-lagi itu semua bagian dari mencari identitas dan pengalaman di masa remaja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 26

"Pak, kalau mau cari untung jangan begini caranya dong," celetuk Yura dengan nada kesal, menarik ujung bajunya yang terlihat tidak simetris.

"Iya, pak. Hargai kami yang udah bayar mahal-mahal tapi bajunya enggak sesuai bahan," tambah Wulan, memperlihatkan bagian lengan bajunya yang terlalu sempit. Nada suaranya terdengar penuh kekecewaan.

Di tengah keributan itu, Salsa berdiri diam. Dia tidak banyak bicara, tapi tindakannya lebih dari cukup untuk menyampaikan ketidakpuasannya. Dengan perlahan, Salsa mengangkat bajunya dan menunjukkan jahitan yang tidak rapi tepat di depan si penjahit. Tatapannya tajam, penuh arti, dan membuat si penjahit semakin salah tingkah.

Penjahit itu tampak mulai gelisah. Keringat dingin mulai mengalir di dahinya. Ia mencoba memberi penjelasan, tetapi suaranya tenggelam dalam keluhan-keluhan anak-anak yang semakin nyaring.

Melihat suasana yang semakin memanas, seorang guru akhirnya mengambil alih situasi. Ia melangkah maju ke tengah kerumunan murid-muridnya dan dengan suara tegas tapi tenang, ia berkata, "Sudah, jangan ribut. Untuk masalah baju biar kami yang urus dengan pihak penjahit. Kalian tenang saja, ya."

Mendengar kata-kata guru, anak-anak mulai sedikit tenang, meskipun beberapa masih terlihat menggerutu pelan. Kami akhirnya kembali ke kelas, meski rasa kecewa masih terpancar jelas di wajah-wajah mereka. Di dalam kelas, mereka berusaha melanjutkan pelajaran, tetapi pikiran mereka tetap terpaku pada seragam yang mengecewakan itu.

\~\~\~

Di pangkalan martabak Fifin, kami duduk-duduk santai sambil menunggu pelanggan datang. Aroma martabak yang baru matang memenuhi udara, membuat perut semakin lapar. Miranda sedang asyik menikmati sepotong martabak sambil berbicara.

"Lihat enggak muka guru tadi?" tanyanya dengan mulut penuh martabak.

"Iya, dia kelihatan enggak suka gitu sama Salsa dan gengnya," jawab Caca sambil mengkeretek-kretek lehernya yang pegal.

Aku cuma diem aja sambil nyomotin martabak yang masih hangat. Rasanya manis dan gurih bercampur jadi satu, sempurna. Tapi obrolan teman-teman bikin aku terusik.

"Mereka sok banget sih. Memang boleh kita protes, tapi harus lihat situasi dan kondisi juga," kata Davina sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Tiba-tiba Hanum menoleh ke arahku. "Alisa, menurut kamu gimana sama seragam kita?" tanyanya tiba-tiba.

Aku yang tadinya mau nyomot martabak lagi, jadi berhenti sejenak. "Kalau menurutku ya, baju seragamnya memang enggak sesuai dengan bahan yang dijanjikan. Dan aku rasa memang bener kalau bahan itu tuh sisa," jawabku dengan jujur.

Sejak berteman dengan mereka, aku mulai berpikir kritis dan lebih mudah mengungkapkan pendapatku.

Miranda tertawa kecil sambil melahap martabaknya lagi. "Kurang bahan? Kalau dari sudut pandangku sih kurang uang," katanya sambil tertawa.

"Hoooh, kayaknya itu ada semacam sistem bagi hasil antara pihak sekolah sama pihak penjahit," tambah Fifin yang sedang mengaduk-aduk adonan martabak di depan gerobaknya.

Kami semua tertawa mendengar komentar Fifin. Suasana jadi sedikit lebih ringan. Tapi tetap saja, pikiran tentang seragam itu tidak bisa hilang begitu saja.

"Masak sih?" tanyaku tak percaya, mencoba mencerna informasi yang baru saja kudengar.

"Makanya, jangan polos-polos amat. Gampang digoblokin, kan?" sindir Miranda sambil tersenyum setengah mengejek.

Aku sih tidak sakit hati, karena di sini memang kami selalu bicara blak-blakan. Sudah biasa saling menyindir dengan cara yang santai seperti itu.

"Lu tahu korupsi terbesar itu ada di mana?" tanya Fifin yang kini ikut duduk bareng kami, meninggalkan gerobaknya sejenak.

"Pemerintah?" pikirku keras-keras.

Mengingat memang banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintahan, pikiranku langsung melayang ke sana.

"Salah. Jawabannya sekolah," senyum Miranda penuh arti.

Aku masih terlalu polos untuk memahami maksudnya. Bagaimana bisa sekolah menjadi bagian dari korupsi terbesar?

Setahuku, sekolah itu tempat belajar, dan di sini pun fasilitasnya biasa saja. Bahkan, banyak guru yang masih berstatus honorer dan dibayar tidak seberapa.

"Kok sekolah?" tanyaku, mencoba memahami dengan lebih dalam.

Rasanya sulit dipahami, mengingat sekolah adalah tempat pendidikan yang seharusnya memberi teladan bagi generasi muda.

Miranda menghela napas, seolah menyiapkan penjelasan yang panjang. "Di balik buku-buku tebal dan rapor-rapor yang tertata rapi, ada korupsi yang tak terlihat. Mulai dari aliran dana yang tak transparan hingga penyalahgunaan wewenang oleh oknum-oknum tertentu."

Aku membulatkan mata, mulai memahami bahwa korupsi tidak selalu identik dengan uang tunai yang mengalir dalam jumlah besar.

Terkadang, korupsi bisa bersembunyi di balik kebijakan-kebijakan yang tidak adil, atau penggunaan dana yang tidak tepat.

Hanum ketawa sambil kipasan pakek kardus. "Iya, sekolah. Lu pikir aja, dana BOS, dana pembangunan, uang seragam, uang buku, banyak banget yang bisa dikorupsi. Lagian, seringnya kan kita nggak tahu aliran dana itu beneran ke mana. Mereka bisa aja main-main sama itu duit."

Aku mulai mencerna penjelasan mereka. "Oh gitu ya... Jadi, maksudnya, banyak dana yang masuk ke sekolah, tapi nggak sampai ke tempat yang seharusnya?"

"Persis," jawab Miranda. "Makanya, jangan heran kalau banyak sekolah yang bangunannya rusak, atau fasilitasnya minim. Itu karena dananya dikorupsi."

Aku mulai memahami bahwa ternyata korupsi bisa terjadi di mana saja, termasuk di tempat yang seharusnya menjadi pusat pendidikan dan moral. Ironis, tapi itulah kenyataannya.

"Kalian tahu, gue denger ada gosip terbaru," ucap Caca tiba-tiba, memecah keheningan di pangkalan martabak Fifin.

"Apaan?" tanya kami serentak, penasaran dengan kabar terbaru yang dibawa Caca.

"Kalian kan tahu, kelas VII C sama VII D itu satu ruangan, cuma dikasih pembatas triplek, kan?" tanya Caca.

"Iya, tahu. Bahkan kelas VIII A atau VIII B itu katanya bekas gudang yang direnovasi," ucap Fifin, mengingat-ingat.

"Katanya sih bakalan ada bangunan tambahan, cuma dua kelas yang bakalan dibangun. Dan katanya, dari pihak OSIS bakal keliling hari Senin depan buat minta sumbangan ke kita," jelas Caca lebih lanjut.

"Hah, gimana maksudnya?" tanyaku, masih belum memahami sepenuhnya.

"Dana pembangunan untuk kelas itu udah ada anggarannya sendiri. Tapi sekolah berdalih kalau dananya kurang. Jadi, rapatlah sama pihak OSIS dan katanya sih semuanya sepakat untuk minta dana seikhlasnya dari kita," jawab Caca dengan wajah yang sudah menunjukkan kekecewaan.

"Gila sih," komentar Miranda dengan nada yang jelas mengungkapkan kekagetannya.

"Bisa-bisanya loh," gerutu Hanum sambil mengebrak meja pelan.

"Bukan masalah pelit atau gimana. Pihak sekolah udah terlalu banyak minta sumbangan sama murid," ucap Miranda, suaranya terdengar tegas.

"Waktu acara perpisahan alumni kemarin aja, katanya dana yang dihimpun menguap entah kemana. Perpisahannya enggak sesuai dengan dana yang dikeluarkan," ucap Caca, membawa topik baru yang lebih serius.

"Ternyata dunia sekolah ngeri banget ya," pikirku, merasa semakin terbuka matanya terhadap realitas di sekitar.

"Itulah," setuju Davina, menyadari betapa kompleksnya masalah di lingkungan sekolah.

"Gelap banget," tawa Fifin, mencoba meredakan atmosfer yang mulai tegang.

"Banyak banget hal yang enggak beres di sekolah, ya. Salah satunya tuh anak guru," ucap Caca, sambil menyeruput minumannya.

Dia selalu punya informasi yang mengejutkan, dan kali ini tak ketinggalan memberikan sorotan terhadap salah satu sisi gelap dunia pendidikan.

"Kenapa?" tanya Davina, penasaran dengan pernyataan Caca.

"Memang enggak semua, tapi merata kayak gitu. Enggak pinter-pinter amat tapi bisa jadi juara kelas," jawab Caca sambil kembali menikmati martabaknya.

"Itu mah udah biasa," komentar Miranda sambil menoyor kepala Caca dengan lembut.

"Sebel sih kalau anak guru yang dapat juara padahal dia sama begonya kayak kita," ucap Hanum, mengungkapkan kekesalan.

Entah kenapa, setelah perkataan Hanum, semua mata tiba-tiba menatap ke arahku. Mereka tersenyum-senyum, seakan memiliki rencana jahat, tapi aku yakin jahatnya bukan untukku.

1
Amelia
halo salam kenal ❤️🙏
Atika Norma Yanti: salam kenal juga ya😄
total 1 replies
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya
Anita Jenius
seru nih mengangkat masalah pembullyan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!