Bukan Salahku Mendua

BSM Bab. 26

“Laura, kamu tidak ingat padaku?” Ryan berdiri dari kursinya. Kemudian berjalan menghampiri Laura. Yang kini sudah berbaik badan, dan menatapnya dengan kebingungan.

Laura tampak sedang mengingat-ingat di mana gerangan mereka pernah bertemu. Namun sayangnya, nihil. Laura tidak mengingat apapun. Lagipula 15 tahun itu terlalu lama. Tetapi jika diminta mengingat kembali kenangannya bersama Theo, Laura masih mengingatnya dengan jelas.

Ryan kini sudah berdiri tepat di hadapan Laura. Menatap wajah bingung Laura dengan seksama. Bahkan wajah yang tak dipoles make up tebal itu terlihat menarik di mata Ryan. Bagaimana bisa suami Laura malah menduakannya seperti ini. Begitu pikiran yang timbul di kepala Ryan saat menatap Laura.

Entah Laura sudah tahu tentang perselingkuhan suaminya atau belum, tapi di mata Ryan Laura adalah wanita yang menarik. Laura memiliki pesonanya tersendiri. Yang berbeda dengan wanita-wanita glamor yang pernah ditemuinya.

“Dulu ada yang pernah bilang padaku, semua anak terlahir karena cinta. Tidak ada yang namanya anak haram di dunia ini. Semua anak berharga bagi orang tuanya,” ungkap Ryan mengingatkan Laura tentang sebuah kalimat yang pernah Laura ucapkan dahulu kala, 15 tahun yang lalu.

Ketika itu, 15 tahun yang lalu, Ryan bertemu tanpa sengaja dengan Laura di bawah lampu merah saat Ryan hendak menyeberang jalan. Laura ketika itu sedang menjajakan kue-kue untuk membantu ibunya yang sedang sakit.

Laura yang tidak malu berjualan dari pintu mobil ke pintu mobil lainnya itu membuat Ryan kagum. Bahkan seorang gadis manis dan sekecil itu saja tetap semangat dan berjuang dalam menjalani hidupnya. Kehidupan gadis itu mungkin saja tidak mudah, sehingga mengharuskannya untuk berjualan kue. Padahal usianya masih sangat muda. Mengapa ia tidak bisa seperti gadis itu? Begitu pikir Ryan kala itu.

Suatu hari, ketika Ryan sedang duduk di taman seorang diri, Laura datang dan mengambil duduk di sebelah Ryan. Karena tempat duduk yang tersisa hanya di sebelah Ryan. Laura memilih istirahat sejenak di taman. Kotak-kotak besar yang berisi kue diletakkannya di bawah kakinya.

Ryan yang kala itu sedang bersedih karena ia baru mengetahui kenyataan tentang ayah dan ibunya. Ryan sering di bully di sekolahnya. Ryan sering dikatakan anak haram karena terlahir diluar ikatan pernikahan.

Ibu Ryan adalah orang ketiga dalam pernikahan Raul Gonzales. Mengetahui jika Marisa, ibu kandung Ryan memiliki seorang putra setelah 5 tahun berlalu, Raul pun memutuskan menceraikan istri pertamanya dan memilih menikahi Marisa. Setahun pernikahan, mereka dikaruniai seorang putri yang cantik, Paola.

Saat usia Ryan menginjak 15 tahun, Raul dan Marisa memutuskan untuk tinggal di luar negeri. Dan saat pertemuan Ryan di taman dengan Laura ketika itu merupakan pertemuan terakhirnya.

Namun ada satu perkataan Laura yang masih melekat kuat di ingatan Ryan sampai hari ini.

“Kenapa kamu harus bersedih? Bukankah kamu lahir ke dunia ini karena cinta ayah dan ibumu? Jadi, apa itu anak haram? Di dunia ini tidak ada yang namanya anak haram. Semua anak sama, dilahirkan karena cinta. Dan semua anak berharga bagi kedua orang tuanya. Tidak terkecuali kamu.”

Perkataan Laura saat itu sangat menghibur hatinya yang sedang bersedih. Namun ia tak menyangka saat itu akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan Laura, karena ia harus pindah ke luar negeri mengikuti kedua orang tuanya.

Sebelum berpisah, untuk menghibur hati Ryan yang sedang bersedih, Laura memberinya beberapa kue. Semenjak hari itu, Ryan pun bertekad suatu hari nanti ia akan kembali ke kota ini untuk mencari Laura. Sayangnya waktu itu Ryan tak sempat menanyakan namanya.

Laura pun terhenyak. Ia sampai menganga tak percaya begitu teringat seorang anak berparas bule yang bertemu dengannya di taman 15 tahun yang lalu.

“Kamu?” Laura menunjuk Ryan.

Ryan mengangguk membenarkan. “Ya, senang bertemu denganmu lagi,” ujarnya sembari mengulurkan tangan kanannya ingin berkenalan.

Laura memandangi saja uluran tangan Ryan. Ia merasa sungkan menyambutnya karena merasa tak pantas. Dahulu adalah masa lalu. Dan masa sekarang berbeda, Ryan telah menjelma menjadi seorang pria rupawan, berkelas, dan bukan orang sembarangan pula. Jelas saja Laura merasa minder berkenalan dengan pria seperti Ryan.

“Apa aku boleh berkenalan denganmu?” tanya Ryan.

“Emm ... Ta-tapi Anda tahu dari mana nama saya?”

“Kartu nama yang kamu berikan pada Edrick.” Masih dengan tangan terulur, menunggu sambutan.

Laura masih berpikir. Padahal Ryan hanya ingin berkenalan, tapi ia penuh pertimbangan. Tapi, melihat Ryan belum menurunkan tangannya, masih menunggu sambutan darinya itu membuatnya jadi tak enak hati. Hal itu seolah memberi kesan jika dirinya adalah orang yang sombong.

“Laura.” Tak ada maksud bersikap tak sopan, Laura akhirnya menyambut uluran tangan Ryan. Sembari menyebutkan namanya walaupun Ryan sudah mengetahuinya.

Lengkungan manis yang membentuk senyuman itu pun terukir di wajah Ryan begitu menggenggam jemari Laura.

“Ryan,” ucap Ryan sembari mempererat genggamannya.

Laura merasa tak nyaman saat jemarinya malah digenggam erat. Ia berusaha melepaskan tangannya, tapi malah dibalas dengan genggaman yang lebih erat lagi oleh Ryan.

Ada sejumput perasaan aneh yang menjalari urat syarafnya ketika bersentuhan kulit dengan Laura. Ryan bisa merasakan kehangatan itu seketika saat menggenggam jemari Laura. Rasa itu merayu hatinya, sehingga ia tak ingin melepas Laura.

“Aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Laura, bagaimana kabarmu?” tanya Ryan ingin menyambung kata dengan lebih santai tanpa ada ruang yang membatasi. Jujur, ia ingin lebih dekat dengan Laura. Sebagai teman mungkin. Karena status Laura saat ini tidak memungkinkan untuk untuknya lebih dari sekedar dekat saja. Jadi, dengan menjadi teman itu sudah cukup.

“Sa-saya baik-baik saja, Tuan,” sahut Laura gugup.

“Ryan. Panggil Ryan saja.”

“Ta-tapi ...”

“Tidak ada tapi-tapian. Sesama teman tidak perlu bersikap formal. Santai saja.”

“Teman?”

“Iya, teman. Kita teman kan sekarang?”

Ya ampun. Laura benar-benar tak nyaman. Bagaimana bisa dirinya yang tak pantas ini berteman dengan seorang Ryan. Direktur Utama AFECTO Grup.

Tapi, tunggu dulu. Bukankah Laura pernah mendengar nama itu?

“Kita bisa menjadi teman untuk saat ini, Laura. Tapi takdir siapa yang tahu. Aku adalah orang yang percaya takdir, Laura. Aku percaya takdir memiliki alasan mengapa kita dipertemukan.” Batin Ryan sembari tersenyum menatap Laura, masih menggenggam jemari Laura erat.

****

“Ini sudah tiga hari, tapi kamu belum dapat apa-apa?” Samsul mengomel ketika Theo datang memberikan laporan.

“Apa-apaan ini?” Dengan jengkel Samsul membanting laporan yang diberikan Theo. Dalam laporan itu tidak pemberitaan tentang skandal Antonio seperti yang diinginkannya. Samsul marah karena seseorang yang bekerjasama dengannya sudah kerap menuntut agar berita buruk tentang Antonio segera ditayangkan. Samsul sudah terlanjur menerima setengah bayaran dari orang itu. Jadi sebagai gantinya, ia menekan Theo. Menuntut Theo bekerja lebih keras lagi.

“Kasih saya waktu lagi, Pak Samsul. Saya janji saya akan mendapatkan berita yang pantas,” pinta Theo.

“Eh, Theo. Jangan kamu kira saya tidak tahu apa-apa tentang kamu. Saya bisa saja memecat kamu dan menggantikan kamu dengan orang lain. Tapi saya sudah terlanjur mempercayakan ini sama kamu. Tolong kamu selesaikan dengan cepat kalau kamu masih ingin bertahan di tempat ini. Atau kalau tidak ...” Samsul tersenyum miring menatap Theo dengan sinis.

“Istrimu akan tahu perbuatanmu di belakangnya,” sambung Samsul menggertak.

Theo menarik napas panjang. Padahal ia sudah berniat untuk melepas kesempatan ini, termasuk bonus dan kenaikan gaji yang ditawarkan. Tapi, jika sudah begini, ia bisa apa lagi.

★