Rasa sakit yang Maura rasakan saat mengetahui Rafa menikah dengan wanita lain tidak sebanding dengan rasa sakit yang kini dia rasakan saat tahu dirinya tengah hamil tanpa tahu siapa lelaki yang sudah membuatnya hamil.
Kejadian malam dimana dia mabuk adalah awal mula kehancuran hidupnya.
Hingga akhirnya dia tahu, lelaki yang sudah merenggut kesuciannya dan membuatnya hamil adalah suami orang dan juga sudah memiliki seorang anak.
Apa yang akan Maura lakukan? Apakah dia akan pergi jauh untuk menyembunyikan kehamilannya? Atau dia justru meminta pertanggung jawaban kepada lelaki itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dewi widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Mangga muda yang Maura inginkan sudah ada didepan mata. Air liurnya hampir saja menetes saat melihat Fabian mengupas mangga muda untuk dirinya. Dia sepertinya sudah tidak sabar untuk memakannya, sudah dari pagi tadi dia ingin sekali makan mangga muda dan sore ini baru keturutan.
"Usap itu air liurnya." Buru-buru Maura mengusap mulutnya saat mendengar apa yang Fabian ucapkan. Namun apa yang dia lakukan justru membuat Fabian tertawa.
"Ihh!!! Kamu ngerjain aku." Maura memukul pelan lengan Fabian karena kesal ternyata dirinya dikerjain sama Fabian. Dia mendengkus kesal sambil mencebikkan bibirnya.
"Lagian dari tadi ngeliatin terus, mana mulutnya kebuka lagi." Ucap Fabian yang masih dengan tertawanya. "Ini cobain." Fabian memotong sedikit buah mangga yang belum selesai dia kupas dan dia suapkan pada Maura. "Biar debay nya nggak ngiler lagi nantinya."
Gigi Fabian rasanya ngilu saat melihat Maura mengunyah mangga yang masih muda itu dengan ekspresi yang biasa saja. "Apa tidak asam?" Tanya Fabian yang matanya merem sebelah membayangkan betapa asamnya mangga muda itu.
Maura menggeleng cepat, "nggak kok. Coba aja!!" Maura meminta Fabian untuk mencobanya juga tapi sayangnya lelaki itu menolak dengan gelengan kepala. "Ya udah, cepet ngupasnya!! Aku sudah nggak sabar." Perintah Maura sambil membasahi bibirnya dengan lidahnya.
"Makanlah!! Tapi ingat, gak boleh banyak-banyak, dikit aja. Nanti perutnya sakit." Fabian mengingat Maura sebelum wanita yang tengah mengandung anaknya itu kalap dan menghabiskan sendiri buah mangga muda yang rasanya masih sangat asam itu.
Maura hanya mengangguk saja, dia memakan mangga muda itu dengan dia cocolkan pada bumbu yang tadi sudah dibuatkan sama Bik Tum, pelayan di rumah Fabian.
Fabian yang melihat Maura makan dengan lahapnya membuat dia juga ikut mencicipi mangga muda yang tadi dikupasnya. Dia mengambil dan mengamati sepotong buah mangga muda yang masih ada di tangannya. Fabian menelan air ludahnya kasar membayangkan betapa asamnya buah mangga itu.
"Ayo cobalah!!" Maura yang melihat Fabian ragu untuk memakan buah mangga muda justru menyuapi Fabian dengan mangga yang ada ditangannya.
Fabian menatap Maura yang tengah tersenyum pada dirinya. Melihat senyuman Maura yang terlihat begitu manis dengan pancaran mata yang begitu indah membuat Fabian membuka mulutnya dan menggigit potongan mangga yang ada di tangan Maura.
"Enak kan." Ucap Maura setelah menghabiskan sisa potongan mangga yang tadi dia suapkan pada Fabian, yang artinya dia makan bekas gigitan Fabian.
Fabian diam, dia tidak membalas ucapan Maura. Dia justru fokus pada bibir Maura yang tengah mengunyah mangga muda. Dia menelan gigitan mangga yang sudah dia kunyah dengan kasar meski rasanya begitu membuat giginya terasa ngilu.
"Mau lagi!!" Tawar Maura dengan menyodorkan potongan mangga yang sudah dia cocol dengan bumbu tepat didepan mulut Fabian.
Fabian melihat mangga yang ada ditangan Maura, dia menjatuhkan mangga yang sedari tadi dia pegang dan tangan kanannya kini memegang tangan kanan Maura yang tengah memegang mangga.
"Kenapa dibuang?!" seru Maura yang merasa mubazir melihat makanan yang dibuang.
"Aku mau makan mangga yang manis." Ucap Fabian dengan suara beratnya. Dia mengarahkan tangan kanan Maura pada bibir Maura sendiri. "Makanlah." Maura nurut saja apa yang diminta Fabian. Dia memakan dan mengunyahnya dengan perasaan senang.
"Sekarang giliran aku yang makan mangga manisnya." Maura mengerutkan keningnya mendengar apa yang Fabian katakan. "Mangga manis?" Perasaan Fabian tidak memetik mangga yang sudah masak di pohon, pikir Maura.
Karena terlalu memikirkan perkataan Fabian, Maura tidak sadar kini wajah Fabian begitu dengan dengan wajahnya, tepat didepan wajahnya. Fabian menatap bibir Maura yang sudah berhenti mengunyah dan sedikit terbuka itu. Dia memejamkan kedua matanya dan hendak mencium bibir Maura tanpa permisi.
"Mau apa kamu!!" Dengan geram Maura mendorong jidat Fabian supaya wajah lelaki itu menjauh dari wajahnya. "Nggak usah macem-macem. Dasar mesum!! " Sungut Maura yang kesal karena Fabian hampir saja mencium dirinya. Dia juga segera menyuapi Fabian dengan mangga muda biar lelaki itu jera.
"Hahh!!" Fabian yang merasakan asam di mulutnya langsung meludah kan mangga muda yang tadi Maura kasih untuk dirinya. Fabian segera mengambil minum dan meminumnya sampai habis untuk menghilangkan rasa asam di mulutnya padahal tadi dia juga sudah menelan mangga muda.
"Sukurin!!" Maura menjulurkan lidahnya mengejek Fabian. "Memang enak!" Maura terlihat senang sekali melihat Fabian yang keasaman saat makan buah mangga muda.
Fabian menghembuskan nafas kasar, dia menatap Maura yang sepertinya senang sekali karena berhasil mengerjai dirinya. Fabian tersenyum sekilas mengingat apa yang akan dia lakukan tadi. Entah apa yang dia pikirkan tadi hingga dengan beraninya ingin mencium Maura. Untung saja Maura tidak marah pada dirinya.
"Maura!!" Panggil Fabian dengan suara lirih.
"Hmm!!" Maura hanya berdehem karena tengah menikmati mangga muda yang sudah diputik dan dikupas sama Fabian, juga sudah dipotong kecil-kecil.
"Untuk tawaran ku yang kamu tolak waktu itu, apa kau tidak ingin mempertimbangkannya lagi? Apa tidak ada keinginan untuk menerimanya?"
Maura yang akan memasukkan potongan mangga kedalam mulutnya mengurungkan niatnya untuk melanjutkan makan. Dia menoleh dan menatap Fabian yang ternyata juga menatapnya. Dia paham apa yang ditanyakan sama Fabian pada dirinya. Tapi, kenapa Fabian menanyakan hal itu lagi. Bukannya sudah jelas kalau dirinya sudah menolaknya.
"Apa kau tidak ingin saat anak kita lahir nanti Ayah sama Ibunya bersama-sama merawat dari dia membuka mata di pagi hari sampai dia menutup matanya kembali di malam hari?" Fabian bersuara lagi karena Maura hanya diam dan menatapnya. Entah apa yang Maura pikirkan, dia tidak tahu karena dia bukan pakar ekspresi wajah. Dan dia bukan cenayang yang tahu apa yang ada dipikiran orang lain.
Maura menghembuskan nafas perlahan. "Aku akan pikirkan lagi." Jawab Maura sambil memejamkan kedua matanya saat merasakan perutnya terasa keram. Dia juga memegangi perutnya itu.
Fabian bersyukur dalam hati mendengar jawaban dari Maura. "Ra!! Ra!! Kamu nggak apa kan?" Tanya Fabian saat melihat Maura sepertinya menahan rasa sakit.
Maura menggeleng kepala pelan, "nggak apa kok. Cuma keram sedikit." Jawab Maura tersenyum seolah tidak terjadi hal yang serius dan tidak perlu dikhawatirkan.
Mendengar kalau Maura merasakan keram pada perutnya lantas Fabian menggeser duduknya lebih dekat pada Maura.
Deg
Detak jantung Maura berdetak cepat saat tangan Fabian menyentuh perutnya. Ini pertama kalinya Fabian menyentuh anggota tubuhnya secara terang-terangan selain memegang tangannya karena Fabian sering mengusap maupun menggandeng tangannya. Tapi untuk menyentuh perut, ini yang pertama saat keduanya dalam keadaan sadar.
"Apa masih terasa keram?" Tanya Fabian menatap Maura, tapi tangan kanannya tidak berhenti mengusap lembut perut Maura yang sudah terlihat membuncit.
Maura menggeleng kepala pelan, dia juga menatap Fabian dalam diam. Hatinya bergemuruh, jantung terus saja berdetak diatas normal.
"Ayo aku antar pulang! Kamu harus istirahat dan kurangi makan buah yang asam. Boleh makan, tapi jangan terlalu banyak." Maura mengangguk saja apa yang Fabian katakan. Dia menurut saat Fabian mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri dan berjalan masuk kedalam rumah.
"Tunggu sebentar aku ganti baju dulu." Maura mengangguk dan membiarkan Fabian pergi untuk berganti baju.
Maura melihat sekeliling dalam rumah Fabian, semuanya tertata rapi, tidak begitu banyak hiasan, hanya beberapa lukisan. Ada juga beberapa bingkai foto diatas bufet. Maura yang penasaran melihat deretan foto yang dipasang di beberapa bingkai foto.
Maura tersenyum saat melihat Fabian saat muda dulu. Foto diatas motor dengan pakaian balap. "Apa dulu dia seorang pembalap?" Gumam Maura. "Laki-laki ini siapa?" Maura penasaran dengan foto lelaki yang berangkulan dengan Fabian saat Fabian wisuda.
"Papa!!!" Terdengar teriakan seorang anak kecil dari arah luar.
"Salam dulu sayang!!" Dilanjut dengan suara wanita dewasa.
"Assalamualaikum Papa!!"
Maura menoleh saat suara itu begitu dekat dengan dirinya dan sudah ada di dalam rumah. Dia melihat seorang anak kecil dengan seorang wanita yang cantik dan anggun. Badannya ramping, dengan rambut hitam sebahu.
Pandangan mata Maura bersitatap dengan mata wanita itu. "Apa dia mantan istrinya Fabian?" Tebak Maura dalam hati.
"Itu sapa, Ma?" Tunjuk anak kecil itu pada Maura. "Papa mana?" Tanyanya.
"Kasih!!!" Maura menoleh kearah tangga saat mendengar suara Fabian yang terdengar begitu senang atas kehadiran Kasih, anak kecil yang tadi menunjuk kearah Maura.
"Papa!! Asih lindu." Seru Kasih yang berlari ke arah Fabian.
Melihat Fabian yang sangat antusias atas kehadiran Kasih dan mantan istrinya, tiba-tiba dada Maura terasa sesak. Dirinya seperti orang asing saat ini hadir ditengah-tengah keluarga yang dulunya bahagia harus hancur karena dirinya.
"Dokter Fabian, saya permisi dulu." Pamit Maura yang langsung pergi tanpa menunggu respon dari Fabian. Dia juga sempat tersenyum dan mengangguk pelan saat berpapasan dengan mantan istrinya Fabian.
Air mata Maura menetes saat menoleh kearah pintu rumah Fabian dan lelaki itu ternyata tidak mengejarnya. "Ternyata kamu belum selesai dengan masa lalu mu. Lantas kenapa kamu tadi menanyakan hal itu lagi padaku. Apa sebenarnya mau kamu, Fabian."