Sederhana saja. Tentang seorang gadis yang bernama Hazel yang sulit melupakan seseorang yang berperan penting dalam lembaran masa lalunya dan Calix si lelaki yang memiliki ribuan cadangan disana-sini.
Karena sebuah insiden yang mana Hazel nyaris dilecehkan oleh beberapa Brandalan, menggiring Hazel, pada jeratan seorang Calix Keiran Ragaswara, laki-laki yang narsisnya mencapai level maksimal, super posesif, super nyebelin, sumber bencana, penghancur terbaik mood Hazel.
"Sekarang, Lo hanya punya dua pilihan. Lo jadi pacar gue. Atau gue jadi pacar elo!" Calix Keiran Ragaswara.
Penasaran? simak ceritanya!
-Start publish 14 juli 2023.
-FOURTH NOVEL
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rsawty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MPB•BAKSO PAK JAMAL DAN DIA
Mobil taksi memasuki sebuah gang, Calix turun di wilayah kompleks setelah membayar ongkos pada tukang Taksi. Kepalanya dia tutupi dengan tudung hoodie nya.
Sebelum ke rumah Hazel, dia singgah sebentar dipertengahan jalan melihat sebuah pedagang kaki lima yang mendorong gerobak dengan sebuah spanduk bertuliskan 'BAKSO PAK JAMAL'
"Pak, dagangannya udah habis?"
"Belum Mas. Masih cukup satu porsi kayaknya. Mas mau pesan?"
Calix melemparkan anggukan sebagai tanggapan pertanyaan dari Pak Jamal. "Untuk di makan disini atau dibungkus, Mas?"
"Bungkus."
Pak Jamal mengangguk-angguk, walau sekarang wajahnya sedang rusak, dihancurkan oleh babak belur menghiasi disana, hal itu tak melunturkan wajah rupawan nya.
Dia tetap ingat lelaki berperawakan tinggi ini yang sering berpapasan dengannya di depan gang. Menjemput atau mengantar Hazel kalau tidak salah.
Memasukkan kedua tangannya disaku, tatapan Calix berkeliaran disekelilingnya, terlihat sunyi, entah jam berapa ini, jasa penjual bakso ini masih berdagang. "Bapak sering berdagang disini, emang laku?"
"Tergantung dari rezeki, Mas. Seperti roda yang berputar, kadang kala diatas, kadang juga dibawah. Tapi, alhamdulillah tadi laris manis. Masih untung tersisa sedikit lagi buat Mas-nya. Berarti Tuhan sengaja sisain karena tahu Mas-nya bakal mampir beli disini."
Calix mengangguk-angguk paham. Mulutnya membulat membentuk O. "Kalau Bapak setiap hari jualan disini, berarti kenal kan cewek yang nama Hazel? Dia tinggal disekitar kompleks sini, gak jauh rumahnya dari sini."
"Neng Hazel toh.. pelanggan setia saya itu.. gak jarang dia beli bakso disini bersama Abangnya. Tapi lebih seringan sendiri sih. Biasanya, bakso kesukaan Neng Hazel itu, bakso Ayam.."
"Terus bakso yang sedang Bapak bungkus ini, bakso apa?" Calix ingat, Hazel pernah bilang bahwa dirinya suka dengan yang berbau-bau daging Ayam. Chicken is his favorite food.
"Kebetulan sekali bakso Ayam. Masnya mau beli buat Neng Hazel ya?"
Calix mengusap tengkuknya kikuk. "Ketahuan ya Pak?"
"Udah tahu mah dari awal mula Masnya sering nangkring didepan gang hanya untuk menunggu Neng Hazel.. anak mudah kalau lagi dimabuk asmara mah beuh, perjuangannya seumpama gunung pun ku daki, lautan pun ku seberangi.. padahal, ngajak jalan aja masih pakai duit orang tua.."
Calix tertawa renyah, Bapak Jamal ini orang yang humoris, asik juga karena obrolan mereka cukup nyambung. "Bapak ingat sama saya?"
"Inget bae lah.. muka Mas-nya terlalu mencolok. Jadi, sekali lihat aja melekat permanen di otak."
Pak jamal akhrinya selesai membuatkan pesanan Calix. "Nih pesanannya udah jadi." Pria paru baya itu menyerahkan sekantong plastik mie bakso kuah yang sudah lengkap dengan bumbu-bumbunya pada Calix.
"Makasih Pak, berapa totalnya?"
"Ah? Gak perlu bayar Mas.. gratis untuk pelanggan terakhir!"
Walau Pak Jamal berucap demikian, Calix tetap meletakkan selembar uang nominal seratus ribu diatas gerobak. "Ambil aja kembaliannya Pak. Saya gak mau berutang pada siapapun, apalagi saya membelikan ini buat seseorang bukan buat saya.."
"Alhamdulillah, baiklah kalau begitu saya terima rezekinya atuh.. makasih banyak ya.." Paparnya semangat dua belas yang dibalas oleh Calix dengan anggukan.
"Bapak dari tahun berapa udah berdagang di kompleks sini?"
Sistem otak mode on. Pak Jamal berpikir keras untuk sesaat. "Sejak kapan ya..? Gak ingat lagi deh saking lamanya. Yang pasti, semenjak saya menikah, saya sudah sering berdagang disini untuk menafkahi keluarga kecil saya.."
"Berarti, Bapak tahu asal muasal keluarga Hazel.. apakah dia dari awal memang penduduk tetap disini, atau keluarganya hanya pindahan Pak?"
"Seingat saya, pindahan sih.. tahun 2020, saya masih ingat jelas tahun 2020 tahun pindahnya mereka kesini. Setahu saya asal mereka dari kota Bandung."
Layaknya disambar petir, mendengar kata BANDUNG seketika membuat Calix menegang kaku. Seluruh perhatiannya terpusat kesitu. "Bandung?"
Dia membeo memastikan jika dia tak salah dengar. Dia berharap, Hazel tidak dari sana. Dia, tak ingin seorang pun yang berasal dari sana masuk kedalam hidupnya, secara pribadi dia memiliki ketakutan tersendiri tentang itu.
Masih terukir jelas dalam benak Calix kejadian pahit yang sialnya paling ingin dia hapus dari memorinya. Kala itu, di kota Bandung, daerah Margahayu. Tahun 2019 ketika dirinya masih duduk di bangku SMP, sekolah mereka mengadakan study tour di kota Bandung.
"Iya, Bandung kalau saya gak salah ingat."
Perkataan Pak Jamal disambut gelagat tak wajar dari Calix. Lelaki itu terlihat sedikit gugup tanpa Pak Jamal sadari.
"O-oh, kalau begitu, saya permisi ya Pak.. malam sudah larut. Takutnya, Hazelnya ketiduran nunggu saya."
"Oh iya, sekali lagi makasih ya Mas!" Seru Pak Jamal ketika punggung Calix sudah mulai menjauh dengan langkah cukup lebar dan cepat.
...*****...
"Zel..Hazel.."
Hazel menyudahi permainan kubus rubiknya, dia melangkah ke pojok dan membuka daun jendela kamarnya kala mendengar samar-samar suara seorang lelaki dari baliknya, di iringi bunyi ketukan di kaca jendela.
"Gue udah pesan lewat telepon, bukain jendela buat gue! Ini malah masih ditutup,"
Jari telunjuknya terletak dibibir memberikan sinyal agar tak menggunakan volume yang keras-keras, berjaga-jaga jika ada salah satu keluarganya yang mendengar kerusuhan didalam kamarnya.
"Ssst.. kalo bersuara jangan kuat-kuat..."
"Yaudah jangan menghalangi jalan, gue mau masuk."
"Lo disitu aja, gak usah masuk."
"Enak aja! Kendati lagi dalam keadaan bonyok-bonyok kaya gini, gue bela-belain kesini cuma untuk liat muka kucel lo. Tapi lo dengan teganya malah--biarin gue diluar? Punya hati nurani gak lo?!"
"Bonyok? Kenapa lagi lo? Buat onar lagi?"
"Ck, negatif thinking mulu lu kalo tentang gue. Positif thinking dikit kek.. gue jatuh dari motor, bukan tawuran."
Setengah bohong, separuhnya lagi benar. Dia berbohong di sepenggal kalimatnya tapi ada kejujuran juga dibagian yang lain.
"Kalo mau ngeles yang bijak dikit," Hazel menyentuh sisi rahang Calix menggunakan jari telunjuk. Meneliti luka lebam berwarna merah berpadu biru paling dominan disana.
"Jatuh dari motor masa sampe babak belur gini? Anak TK saja tahu membedakan antara luka cedera jatuh dari motor dan luka berantem, jelas-jelas luka lo sekarang ini luka yang baru habis baku hantam, bukan jatuh dari motor."
"Serah lu lah! Minggir deh, beri gue akses untuk masuk, istirahat bentar, masa lo tega biarin pacar diluar kaya gini?! Sungguh, gak berperikemanusiaan!"
Hazel memutar bola matanya malas. "Kalo cuma mau omong kosong merusak suasana hati gue, mending lo pulang aja sono! Lagi bad mood nih gue. Lagian, gak ada yang nyuruh lo datang juga, lo sendiri yang mau kesini."
"Ck, udahlah gue disini aja, dari pada pulang lagi, nanggung udah nyampe."
"Nih, buat lo."
Walau dilanda kesal lahir batin karena tak di izinkan masuk kedalam, tak urung Calix mengangkat kantong kresek ditangannya, menyodorkannya kearah Hazel yang langsung menyambutnya dengan raut bingung.
"Apaan nih?"
"Mie bakso. Tadi beli di pedagang kaki lima yang sering nangkring di sekitar lingkungan kompleks sini."
"Oh, bakso Pak Jamal?! Wihh! Tumben lu bawa jajanan kesini! Beli dari tempat favorit gue lagi."
"Iya-iyalah tumben, gimana mau sering-sering bawa jajanan? Berkunjung kesini saja jarang lantaran larangan dari lo. Coba saja lo biarin gue berhadapan dengan kedua orang tua lo, jangankan hanya jajanan, properti dan aset berharga pun gue berikan cuma-cuma untuk lo."
Mencebikkan bibir sewot, Hazel pun mencibir. "Arogan, mentang-mentang sultan!"
Dengan posisi duduk dibingkai jendela, tangan Calix menguntai, mulai menjalari pinggang langsing Hazel. Dia melilitkan lengannya disana, menenggelamkan wajahnya di dada gadis itu.
Dia ingin bermanja-manja sebentar saja dengan Hazel, Calix hanya merasa lelah menghadapi dua berandal yang tak dikenali sebelumnya.
Tingkah laku Calix membuat Hazel menghela napas kasar. "Calix.. jangan mulai.."
Kepala Calix terangkat, menunjukkan wajahnya yang babak belur. "Liat Zel.. muka gue bonyok.. seenggaknya lo bisa diajak berkompromi kalo gue lagi luka kaya gini.. perhatikan gue dikit kek.." Nada ucapannya setengah merengek.
"Ck, itu resikonya suka ngajak orang ribut. Kalo luka, tanggung sendiri."
Mendengarnya Calix hanya mendengus sebal. Tak bisa kah Hazel berpura-pura perhatian padanya biar dia bisa senang walau hanya kebohongan belaka. "Zel.."
"Humm?"
"Kalo gue nambah pacar lagi, boleh?"
"Bukannya cadangan lo udah banyak dari awal?"
"Bukan.. maksudnya, pacar resmi gitu.. lo bakal bolehin?" Permintaan Calix seperti seorang Suami yang meminta izin menikah lagi pada Istrinya.
"Hubungan kita harus berakhir dulu, baru lo boleh punya pacar lagi. Gak lucu kalo lo lagi jalin hubungan sama gue, terus lo pacarin cewek lain lagi, nanti yang luka bukan hanya satu pihak."
"Gak jadi deh, ck. Gak mau putus.." Calix merasa kalimat putus yang terlontar dari mulut Hazel sangat mengerikan baginya.
Dia ingin menjadikan Hazel mainannya sampai dia bosan, tak bisa dia bayangkan seandainya dia belum bosan dan belum mendapatkan poin apa-apa, hubungan mereka sudah berakhir lebih dulu.
Hazel memukul lengan Calix yang masih betah mendekapnya, seolah enggan melepasnya. Sialnya, dia tak bisa bergerak leluasa gara-gara tingkahnya.
"Lepas dulu, gue mau keluar ambil mangkuk didapur buat menaruh nih bakso. Nanti mienya bisa bengkak kalo dibiarin kelamaan. Kalo udah dingin gak enak juga."
"Kalo lo keluar kamar, otomatis bakal berpapasan sama salah satu keluarga lo kan? Lo bakal mengecoh mereka dengan alasan apa kalo mereka tahu lo ngambil mangkuk?"
"Gak bakal. Jam tidur bokap dan nyokap gue biasanya jam-jam segini, Abang gue juga lagi diluar, tadi pamit ngumpul sama temen-temen kampusnya."
"Aman dong berarti?"
Calix mengurai pelukannya seperti pinta Hazel tadi. Jari telunjuk Hazel mengacung, menunjuk Calix didepan wajah. Dia memasang wajah galak sengaja menggertak nya melalui ekspresi yang malah terlihat menggemaskan dimata Calix.
"Tapi, bukan berarti lo boleh ngelakuin apa saja, ya?! Gue--bakal teriak kalo lo melakukan hal yang aneh-aneh!"
"Iya iya his! Antisipasi banget lu, kek gue orang berbahaya sekali."
"Lo memang berbahaya." Hazel meletakan kantong kresek yang berisi mie bakso di atas meja sebelum hendak keluar dari pintu, dia menoleh sesaat kearah Calix.
"Berhubung, lo udah beliin gue jajanan, sebagai timbal baliknya, lo di perbolehin masuk. Tapi jangan ngapa-ngapain ya! Jangan banyak tingkah!"
Calix sumringah sambil memberikan gestur menghormat. "Siap Tuan Putri!"
Begitu sosok Hazel dengan cara mengendap-endap nya menghilang dari balik pintu, Calix akhirnya memberanikan diri untuk masuk mumpung sudah mendapat izin dari Hazel.
Tangannya terselip dibalik kantong celana, matanya berkeliaran kemana-mana dengan langkah mengitari kamar Hazel. Baru kali ini dia mengamati lebih seksama kamar Hazel.
Bernuansa cream, sebuah meja belajar dari sudut bawah, lemari di pojok kiri, tak jauh dari itu, ada sebuah meja rias. Dalam hal itu, atensinya secara tak sengaja terdistraksi kearah sana. Tentu saja meja rias.
Diantara banyaknya barang yang terletak disana, hanya ada satu yang mampu menyita seluruh perhatiannya, sebuah botol mini yang sama persis dengan yang pernah dia lihat pada suatu malam.
Dia melangkah kearah meja rias, mengambil benda tersebut mengangkatnya ke udara, dia melihat mereknya. Hazel pernah bilang, bahwa obat ini hanyalah obat maag.
Belum percaya sepenuhnya, Calix menaruh rasa ragu atas perkataannya, nama ini sangat asing, dia tak pernah melihat nama obat maag seperti ini.
Seusai menaruh benda tersebut pada tempat awal, dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, membuka google mencari merek yang tertera di botol ini, disana dia akan mendapat titik terang yang pasti.
Tercipta sebuah kernyitan dalam pada sepasang kening Calix kala melihatnya, bagaimana tidak? Dia mendapat sebuah jawaban disana bahwa merek tersebut sebuah--"Obat tidur?" Monolognya heran.
Dia memindahkan pandangannya dari ponsel ke benda tadi, "Hazel mengonsumsi obat tidur? Kenapa? Apa yang terjadi dengan tuh anak?" Berarti saat itu dia sudah terkelabui oleh Hazel.
Seketika pertanyaan-pertanyaan terlintas dalam kepalanya. Cepat dia kesampingkan dulu ketika mendengar derap langkah menuju kearah kamar ini.
Dengan segera Calix melangkah kearah jendela dan mendudukkan bokongnya dibingkai jendela sembari bersiul-siul, seolah tak ada yang terjadi. Biar tak ketahuan oleh sang pemilik kamar.
Ceklek...
Hazel masuk, jelas tidak dengan tangan kosong. Dia membawa teko kaca lengkap dengan dua mangkuk ditemani sendok garpu.
"Loh? Kok mangkuknya ada dua?"
Sebenarnya Calix ingin menanyakan sesuatu yang lebih penting, namun menurutnya dia tak ada hak untuk bertanya apabila Hazel tak berinisiatif menceritakannya terlebih dahulu, lagi pula Hazel pun tak pernah ikut campur dengan urusan pribadinya. Mereka berdua sukar dalam mencari tahu urusan pribadi satu sama lain.
"Satu buat gue, satunya lagi buat lo." Hazel menata alat-alat dapur yang dia bawa diatas meja belajar lalu menarik kursi lain dari meja rias.
Calix melangkah menuju Hazel yang sekarang sedang sibuk menyisihkan mie bakso dari plastik ke mangkuk. "Buat gue? Ah, gak perlu. Lagian, cuma satu porsi juga, gue belinya juga hanya buat lo."
Hazel menghirup udara ringan. Menjeda aktifitasnya untuk sejenak. Dia memutar arah, melihat Calix yang entah sejak kapan telah berada dibelakangnya.
Dia melayangkan senyum palsu. "Gue ngerti kok, lo gak bisa makan makanan dipinggiran jalan, karena bagi orang dari kalangan atas kaya lo, pasti makanan praktis pinggir jalan gak higienis. Tapi--"
Mau tak mau dia melangkah kebelakang tubuh Calix, Hazel mendorong punggung Calix menuntunnya ke kursi, bersusah payah dia harus menjijitkan kakinya agar menggapai bahu lebar Calix dan menekan bahunya untuk duduk paksa di kursi.
"Alangkah baiknya lo coba dulu sebelum menilai, mungkin saja makanan yang menurut lo gak higienis bisa memenuhi ekspektasi. Lagi pula, zaman sekarang masih mengutamakan higienis? Persetan!"
Hazel mengambil posisi, di kursi bersebelahan dengan Calix sebelum akhirnya mengimbuhi. "Intinya makan enak, perut pun kenyang!"
Calix mengulum senyum tipis. Hazel selalu terlihat energik jika sudah menyangkut makanan. Pantas saja dia kurus, makanan saja tak mandang higienis-nya, yang penting enaknya.
"Yaudah, gue ikutan, tapi kita makan satu mangkuk aja."
Sangat disayangkan bahwa yang cacat tangannya bagian kiri bukan tangan kanan yang serba guna dipakai untuk melakukan kegiatan apapun, tak peduli baik itu makan, menulis, cebok juga. Jika tidak, dia bisa meminta Hazel menyuapinya.
"Emang lo gak jijik makan satu mangkuk sama orang kelas bawah seperti gue?"
Tangan kekar Calix terangkat, detik berikutnya dia menyentil dahi Hazel gemas. "Miskin atau kaya, derajat seluruh manusia gak ada yang beda, semuanya setara. Yang membedakan hanya hati mereka, buat apa berada diatas tapi memiliki sifat pamrih?"
Sebelum keduanya memulai sesi makan yang sudah tersaji didepan mata, Hazel meluangkan waktu, menyanggul rambutnya dengan pensil yang tersedia lalu menyeruput mie dalam satu mangkuk yang sama dengan Calix, percakapan mereka pun turut menyertai.
"Mengeluarkan banyak harta untuk membagi-bagikan pada orang-orang yang membutuhkan tapi setelahnya umbar sana-sini. Buat apa coba? Ya agar mendapat pujian. Kalo sudah begitu gak ada gunanya, gelar yang pantas untuk mereka bukan kebaikan melainkan haus pujian."
"Mending lagi yang berasal dari keluarga seadanya, gemar berbuat baik, walau hanya lewat tindakan sederhana tetapi ikhlas dari dalam lubuk hati tanpa berniat ingin dipuji."
"Tumben bijak." Sela Hazel setelah menyerut mie. Calix menggetok sisi kepalanya membuat Hazel uring-uringan dalam prosesi makannya. Dibagian kepalanya terus yang jadi korban.
"Hidup itu bagaikan roda berputar, kadang diatas, kedang dibawah. Mungkin saja gue sekarang masih diatas karena orang tua gue, tapi gak tahu juga kedepannya, bisa saja kan perusahaan bokap gue bangkrut atau segala macamnya."
"Lo mendo'akan perusaan Bokap lo bangkrut?"
"Seandainya Zel seandainya.. gak ada yang tahu masa depan.. prediksi peramal sekalipun, taraf kebenarannya gak sampai 100% yang artinya masih ada yang keliru. Kalo keluarga gue jatuh, otomatis gue juga bakal jatuh miskin. Semisal masa itu tiba, lo masih mau gak sama gue?"
"Tergantung gue cinta atau enggaknya sama lo-nya. Kalo semisal gue cintanya hanya sama harta lo dan pada saat lo berada dititik terendah, gue bakal pergi meninggalkan lo."
"Tapi lain lagi ceritanya kalo gue cinta sama orangnya tanpa mandang dari segi materi, sekalipun lo jadi gelandangan bakal gue temani berjuang, dari nol hingga kembali mencapai titik puncak kejayaan."
Tak tertahankan lagi Calix lagi dan lagi menerbitkan senyum, kali ini berbeda lagi, dia tersenyum takjub. Secara impulsif dia mengacak-acak rambut Hazel.
Kalau dilihat lebih teliti sorot netranya kali ini terlihat teduh. "Lo memang beda Zel.. gue bangga punya pacar kayak lo."
"Uhhuk! Uhukkk! Air! Mana air!" Reflek, Hazel tersedak gara-gara mendengar pemaparan Calix barusan.
Melihat wajah Hazel yang memerah karena tersedak kuah bakso sambil menepuk-nepuk dadanya, Calix kalang kabut menuangkan air bening untuk Hazel dan lekas menyerahkannya pada sang empu.
"Makanya, hati-hati kalo makan. Gimana gak tersedak kalo lo makannya kaya dikejar-kejar sama perampok."
"Gue tersedak bukan karena kecepatan makan, tapi tersedak mendengar ucapan lo barusan!" Hazel bergidik geli usai meminum air putih, benar-benar menggelikan! "Bikin merinding, tahu!"
Calix melepas sendok garpunya, meneguk segelas air putih yang tersedia lantas menyudahi acara makannya.
"Loh? Lo udah selesai makan? Ini masih ada loh.." Menundukkan kepala, Hazel menjatuhkan pandangannya kearah mangkuk sebelum memusatkan atensi pada Calix dengan tatapan ragu.
Dia tak ingin berbagi, tapi mau bagaimana lagi? Calix yang membelikannya, setidaknya dia harus tahu berterima kasih.
"Um---Baksonya lo gak mau cicipi?" Wajah Hazel menggambarkan seolah ingin menyuruh Calix menolak tawarannya.
"Gak. Buat lo aja." Calix peka. Hazel menawarkan setengah hati alias tak ikhlas. Tuh kan, matanya saja sudah berbinar-binar bahagia berkat kepekaannya.
Calix menggelengkan kepala. "Muka gak ikhlas lo gak singkron sama tawaran lo.." Tak ada lagi respon, Hazel fokus melahap makanan didepan matanya. Melupakan fakta bahwa Calix masih berada disisinya.
...*****...
Lima menit kemudian, Hazel meludeskan bakso mie yang dibelikan oleh Calix, bahkan kuahnya tak luput dia seruput habis, sisa mangkuknya yang tak dia makan.
"Meskipun gak kenyang tapi thanks ya pacar... seenggaknya lo bisa jadi pacar yang ada fungsinya dikit."
"Gak kenyang? Perut lo perut apaan dah? Perut babii? Perasaan gue tadi makan hanya dikit, terus sisanya masih banyak dan lo habisin semua. Lalu lo bilang belum kenyang? Porsi makan lo gak sesuai dengan proporsi badan tepos lo yang bisa dibandingkan dengan papan triplek."
"Ets!! Jangan biasakan menilai orang dari cover! Badan langsing belum tentu porsi makannya sedikit!"
"Ck, gemes gue sama lo, sini gue masukin deh. Bisa dijamin, kenyang lo sembilan bulan!"
"Lo--"
Caci maki yang sudah tersusun apik, kembali ter-urung di tenggorokan akibat deringan ponsel Hazel yang berada diatas meja belajar, dia mengambil banda pipi tersebut, tak langsung mengangkat, dia memeriksa si pemanggil lebih dahulu.
Deg!
Jantung Hazel serasa berhenti berdetak diwaktu yang sama, dia membeku melihatnya. Nomor yang sama kala itu. Tidak! Hazel tidak ingin mengangkatnya!
Dia tak boleh mengangkatnya, sialnya logikanya dikalahkan oleh dorongan keras yang menyuruhnya untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Siapa Zel?" Calix jadi heran melihatnya yang terdiam tak berkutik.
"H-halo?" Intonasi suara Hazel terdengar bergetar. Pada akhirnya dia tetap mengangkatnya. Dia mengabaikan pertanyaan dari Calix. Terdapat bulir-bulir keringat dingin di pelipisnya, lidahnya saja hanya dia paksa untuk berbicara.
Belum lagi saat mendengar isak tangis kecil diseberang sana. "El.. aku pengen menemui mu...aku sangat merindukanmu El.. aku ingin sekali bertemu denganmu, ingin minta maaf denganmu secara langsung tapi-- kita sudah berbeda.."
"M-maksud--"
Tut..Tut..Tut..
"H-halo!! Hallo!"
Panggilan terputus secara tiba-tiba, disusul oleh bunyi dentingan demi dentingan beruntun yang menghantui ponselnya. Banyak notifikasi dari deret angka nomor barusan tertera dilayar.
...08xxxx...
Maaf.
Aku gak tenang sebelum menerima maaf dari mu..
Aku gak bisa tenang melihat dia di asuh bukan oleh Ibu kandungnya sendiri.
Aku tahu, tidak semudah itu bagimu untuk menerimanya karena kecerobohan ku.
Jangan dulu melupakanku. Aku masih disini.
Jangan bersamanya! Dia, laki-laki tidak baik!
Aku tetap akan disini, tidak akan pergi sebelum kamu mendapat laki-laki yang tulus menerimamu apa adanya.
Karena, aku yang sudah menghancurkan mu. Aku, yang sudah merenggut segala kebahagiaanmu.
Tangan Hazel yang memegangi ponselnya bagaikan jeli, dia melempar ponselnya keatas meja dengan pikiran yang berkecamuk. Dia menggigit kuku-kukunya panik kemudian menjambak rambutnya gusar.
"Hazel? Lo kenapa?" Tanya Calix yang sedari tadi mengamati Hazel yang terlihat kian menjadi. Dia nampak campur aduk. Gelisah, panik, takut, sedih berpadu disaat yang bersamaan.
Tangannya yang nyaris menyentuh bahu Hazel, cekatan ditampik kasar oleh sang empu. "Keluar." Titah Hazel dingin.
Ada rasa cemas yang menghinggap dalam hatinya melihat kondisi Hazel sekarang ini. Sebenarnya telepon dan pesan dari siapa yang mampu membuat mental Hazel tak karuan seperti ini?
"Lo suruh gue keluar saat lo lagi kelihatan hancur kaya gini? Gak bisa Zel! Gue gak bisa ninggalin lo dalam keadaan kaya gin--"
"Keluar bangsaat!"
Prang!!
Benda mudah pecah yang menjadi tempat makan mereka tadi, kini telah berakhir mengenaskan, pecahannya telah berserakan dilantai.
Barang yang ada diatas meja, tak ada yang selamat, dia sapu bersih. Bahkan ponselnya pun sudah jatuh, untung saja tak pecah menjadi banyak bagian seperti mangkuk.
Calix terpaku sejenak mendengar umpatan kasar yang keluar dari mulut Hazel sendiri di sertai bunyi mangkuk pecah, sebelum akhirnya dia bangkit dari duduknya. Mau bekerja sama.
"Fine, gue bakal keluar, oke? Tapi, jangan melakukan hal bodoh." Calix memutuskan untuk melenggang pergi dari sana melalui jendela.
Sebelum dia benar-benar angkat kaki dari sana, di ambang jendela, tanpa sepatah kata lagi dia menyempatkan diri, menoleh sebentar pada Hazel yang sedang duduk menungguinya dengan mencengkram rambut. Kepalanya yang tertunduk dalam, terlihat amat memperhatikan.
Berdasarkan dengan fakta keberadaan obat tidur yang baru saja terkuak, apabila dihubungkan dengan kejadian ini, sepertinya ada yang tidak beres dengan Hazel.
*****
Gamon ya Hazel..?🥺
Btw, kelamaan ya up-nya? Maaf banget ya reader tercinta, soalnya regulasi baru NT bikin mood nulis turun drastis, hikss pengen nangis.. Beda dengan penulis famous, disini kami para penulis remahan hanya nyumbangin naskah. Jadi, setidaknya kalian para readers minimal mau menyumbangkan setidaknya bunga untuk menghargai penulis🥺
Terus pantengin couple kita yang satu ini yaa.. Kawal sampe ending.🙂🤧
jadi bisa jedotin itu kepala calix yang konslet nya udah kelewatan
sama sikap dia yang overprotektif itu
mantep kak
semangat!!
kok ciwi ciwi pengen banget jadi pacarnya calix
iya ga zel? wkwk