Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.
Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?
"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-
“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 33
Matahari senja begitu indah nan menenangkan dipandang mata. Membawa banyak ketentraman sehingga banyak orang yang memilih untuk sengaja keluar di saat sore meski hanya sekedar jalan-jalan biasa. Selain itu, ada yang memilih untuk duduk santai, bercengkrama dengan teman sembari menikmati pemandangan indah tersebut.
Seperti yang dilakukan Adimas dan teman-temannya sore ini di rooftop bar langganan mereka. Danish dan Rama sibuk menertawai sikap Adimas yang mereka nilai mulai menyukai istrinya itu. Suasana hati Adimas sedang tidak menentu, apalagi saat Jasmine pamit padanya tadi pagi untuk mengisi acara di Malang selama 3 hari.
Seharusnya Adimas senang karena kepergian Jasmine akan membuatnya tidak perlu bertemu perempuan berlesung pipi itu. Ia tidak perlu mendengarkan senandung Jasmine di dapur dan tidak perlu repot memindahkan Jasmine yang tertidur di ruang tamu ke kamar perempuan itu. Anehnya, Adimas justru merasa enggan pulang ke rumah karena Jasmine tidak ada di sana.
Iya, rumah mereka pasti terasa sunyi karena Jasmine tidak ada. Adimas kini juga membenci Jasmine yang sering lupa memberitahunya lebih dulu jika ingin pergi. Namun, ada yang lebih utama yaitu Adimas tidak suka Jasmine yang perhatian kepada lelaki lain.
Inilah yang menyebabkan donat Danish tidak jadi diantarkan semalam. Adimas sengaja meminta Jasmine menemaninya memasak hingga makan.
"Kalau kangen ditelepon, Dimas. Kalau itu hp cuma diliatin ya dia nggak bakalan tahu." Nada gerutuan itu sudah berulang kali Rama katakan dengan wajah gemas terhadap Adimas.
Danish mengangguk cepat. "Minimal lo kirim chat. Tanyain udah makan belum? Lagi dimana? lagi sibuk apa?" Danish bahkan memperagakan gerakan dengan mimik serius.
Adimas mengalihkan pandangannya menatap dua sahabatnya yang mulai memberikan saran aneh. Ia masih memegang ponselnya tanpa adanya keberanian menghubungi Jasmine.
Ponselnya lalu diletakkan di meja dekat kopinya. "Sebaiknya kalian diam." Adimas menatap keduanya dengan malas. Ia lalu duduk bersandar dan segera menyesap vape di tangan kirinya dan kemudian menghembuskan asap tersebut dengan santai.
Rama terkekeh. Ia pun menyesap vapenya lalu menatap Adimas dengan senyum tipis di wajah tampannya. "Gengsi lo harus diturunin, Dim. Kalau suka ya bilang suka, kalau enggak ya enggak."
Adimas menanggapi itu dengan tarikan tipis di satu sudut bibirnya. "Suka? Ya enggaklah. Pun suka seseorang itu pasti bukan Jasmine. Enggak mungkin gue suka sama dia."
"Gelagat lo aja udah tampak begitu. Ditinggal tiga hari udah kayak ditinggal 3 tahun. Muram banget."
Rama tertawa pelan. "Danish benar. Padahal hanya tiga hari. Mana cuma Malang pula. Kalau nggak bisa menahan rindu, samperin aja."
"Gue kesal bukan karena Jasmine pergi ya. Gue hanya mempermasalahkan dia yang suka seenaknya. Pergi nggak ngasih kabar dulu. Dia bahkan baru izin tadi pagi, dua jam sebelum berangkat." Adimas melipat tangannya di dada. Matanya kemudian menatap dua sahabatnya itu bergantian. "Lo nggak tahu rasanya karena lo berdua belum nikah," ucapnya datar.
Rama kemudian mengubah posisi duduknya. Tatapannya lurus ke Adimas, tangannya saling bertaut dengan bertumpu pada lututnya.
"Gue kalau jadi lo, dapat istri spek si Jasmins, beuuh! Pasti banggalah. Akan gue perlakukan dia sebaik mungkin. Enggak cuek bebek kayak lo gini. Malang? Kecil itu, Dim. Gue samperin deh ke hotelnya menginap. Kasih kejutan buat dia." Wajah Rama begitu serius. "Mahluk bernama perempuan itu sangat mudah luluh dengan perhatian dan action kita sebagai lelaki. Kalau istri gue kayak si Jasmine, udah deh. Nggak bakalan gue sibuk sama perempuan lain di luar."
"Enggak heran lo jadi playboy. Mata lo kayak enggak bisa kalau enggak liat cewek cantik."
Tawa Danish berderai mendengar kalimat Adimas untuk Rama. Apalagi melihat wajah Rama yang langsung diam mati kutu.
"Tapi Rama bener sih, Dim. Istri seperti Jasmine jangan sampai lo sia-siain. Rugi," timpal Danish membuat Adimas hanya merespon dingin.
Meski hanya dengan respon seperti itu, hati Adimas tetaplah tidak tenang. Kepalanya begitu berisik dengan nama Jasmine. Sesekali ia menatap layar ponselnya yang sejak tadi hanya bisa ia tatap.
"Itu Rindu nggak sih?" seru Rama menunjuk ke arah belakang Adimas.
Hal itu membuat Danish dan Adimas pun menoleh ke arah yang ditunjuk Rama. Benar saja. Tidak jauh dari tempat mereka, seorang perempuan sedang duduk sendiri sambil menunduk. Adimas yakin pasti terjadi sesuatu pada gadis itu.
Adimas hendak bangkit, namun suara Rama menahannya.
"Biar gue aja. Di sini rame banget. Bakalan aneh kalau yang nyamperin dia itu lo. Orang taunya lo itu suaminya Jasmine. Bisa-bisa lo digosipin sama Rindu nanti."
"Tapi gue-"
"Percaya sama gue, Dimas. Rindu itu selebgram. Banyak orang yang sengaja memburu tentang dia. Kalau sama gue, dia lebih aman. Mau digosipin sama gue juga, ya udah. Beda sama lo." Rama dengan santainya melangkah menuju tempat Rindu berada.
Saat Adimas menatap Rindu dari kejauhan dengan raut cemas yang masih ditutupi dengan mimik datarnya, Danish kemudian bersuara dengan nada tegas.
"Jaga sikap lo, Dim. Ingat, ada hati seorang istri yang harus lo jaga sekarang. Apapun niat lo nikah sama Jasmine, pertanggungjawabannya sama aja. Selain nama baik keluarga kalian, tanggung jawab sama Tuhan itu lebih besar."
Adimas terdiam. Ia menatap lurus ke arah Danish. Sahabat merangkap dokter pribadinya itu memang bicara benar. Ada nama baik keluarganya, terutama eyangnya. Selain dengan alasan itu, Adimas tidak peduli sama sekali.
"Lo enggak khawatir apa, di Malang Jasmine justru bertemu cowok yang lebih segalanya daripada lo!" lanjut Danish dengan senyum tipis. Santai tanpa adanya nada ancaman, namun tetap saja kali ini Adimas merasakan itu seperti suatu ancaman terhadap kelangsungan pernikahannya dan Jasmine
****************
Mobil Adimas baru saja memasuki area rumah Rindu. Setelah pertemuan tidak sengaja dalam keadaan kurang baik tadi, Rindu langsung meminta Adimas mengantarkannya pulang. Meski mata Danish melotot seakan memberi kode kepada Adimas untuk menolak itu. Namun, kode itu Adimas abaikan.
Saat ini Rindu adalah prioritasnya. Mana bisa ia mengabaikan Rindu seperti ia mengabaikan Jasmine.
"Kak..." suara lirih gadis itu mengurungkan niat Adimas untuk turun membukakan pintu untuk Rindu.
"Iya, ada apa?" tanya Adimas menatap Rindu seksama.
Tatapan sendu Rindu membuat Adimas semakin diliputi rasa khawatir. Apalagi dengan kondisi gadis itu yang tidak sesegar biasanya. Terlebih gadis itu tidak bercerita apapun tentang penyebab ia duduk sendirian sambil menahan tangis di tempat tadi.
"Semalam Kakak pulang bukan karena telepon dari Eyang, kan? Kakak pulang karena menjaga perasaan Jasmine, kan?"
Adimas menatap Rindu cemas. Gadis ini terlihat sangat rapuh. Ia berbeda dengan Jasmine yang terlihat kuat dan selalu ceria dalam keadaan apapun.
"Aku hanya teringat dengan Jasmine yang seringkali melewatkan makan malamnya. Kalau dia sakit, keluargaku bisa khawatir dan menyalahkanku." Adimas bohong. Semalam ia memang sengaja pulang cepat karena menjaga perasaan Jasmine. Anehnya untuk pertama kali dalam hidupnya, ia bisa tidak nyaman berdua dengan Rindu.
Rindu tertawa sumbang. Matanya menatap Adimas dengan sendu. Tangannya kemudian meraih tangan kiri Adimas. Digenggamnya erat seakan tidak ingin ia lepaskan.
"Kamu mengkhawatirkannya?!" suara Rindu seketika meninggi tetapi terdengar sangat lirih. "Kamu lupa dengan apa yang pernah dia lakukan padaku dulu? Jasmine yang sekarang masih sama dengan Jasmine yang dulu, Kak. Dia tetap Jasmine yang sudah tega merenggut impianku. Dia adalah Jasmine yang suka menjahatiku hingga membuat kondisiku drop berkali-kali." Genggaman tangan Rindu semakin mengerat kepada Adimas. Dadanya terlihat kembang-kempis karena emosi.
Perlahan sudut matanya mengeluarkan air mata. "Jasmine istrimu itu adalah Jasmine yang seharusnya kamu benci Kak. Sama seperti ucapanmu dulu. Karena ia menjadi penyebab kecelakaan hingga membuatku harus hidup dengan tangan tidak berguna ini!" Rindu tidak segan memukul-mukul tangannya.
"Rindu kendalikan dirimu!" Adimas menahan pergerakan tangan Rindu hingga membuat gadis itu semakin histeris.
Gadis itu mengusap air matanya dengan kasar. Matanya menatap Adimas dengan kecewa. "Jangan kalah, Kak. Aku mohon... Jangan kalah dengan perasaanmu kepada Jasmine... Dia tidak pantas untuk mendapatkan hatimu."
Adimas merengkuh Rindu dalam pelukannya. Adimas tidak tahu apa penyebab yang membuat Rindu hampir hilang kendali seperti ini. Diusapnya punggung gadis itu dengan lembut.
"Kakak tidak mungkin jatuh cinta pada perempuan itu, kan?" lirih Rindu dalam pelukan Adimas.
Adimas terdiam. Ia sendiri bingung dengan perasaannya sendiri. Otak dan hatinya saling berperang. Saat sudut hatinya menginginkan kehadiran Jasmine, otaknya selalu berseru untuk tetap membenci Jasmine.
"Jangan mencintai Jasmine, Kak... Aku mohon...."
Tiba-tiba ponsel Adimas berdering. Pelukan mereka pun terurai. Adimas meraih ponselnya dan tampaklah nama Jasmine di layar.
"Jangan diangkat, Kak," desis Rindu.
Adimas menoleh. Mata tajam Adimas menatap lurus mata Rindu yang tadinya sendu kini berubah dingin. "Tunggu sebentar. Jasmine-"
"Jangan diangkat!" pekik Rindu dengan deru napas yang semakin cepat.
Panggilan Jasmine terhenti. Hingga kemudian telepon Adimas kembali berdering. Hampir saja tangan Rindu mengambil ponsel Adimas, namun dengan cepat Adimas mengelak.
"Jaga sikap kamu, Rindu." Adimas menatap Rindu tajam. "Lebih baik kamu segera masuk. Saya tidak mau keluargamu berpikiran buruk tentang kamu."
Rindu terhenyak. Adimas tahu ini adalah kali pertama ia berbicara dengan dingin pada Rindu. Adimas sendiri tidak mengerti mengapa ia melakukan ini.
"Kamu berubah!" Rindu kemudian keluar dan menutup pintu mobil dengan keras. Gadis itu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menoleh kembali kepada Adimas yang masih berada di mobilnya.
Tangan Adimas mengepal kuat. Ini adalah pertama kalinya ia bertengkar dengan Rindu dan penyebab utamanya adalah Jasmine, seseorang yang entah sejak kapan mulai mengisi ruang kosong di hatinya.