Hanum Salsabila, seorang dosen cantik harus menerima kenyataan jika ia harus dijodohkan dengan seorang CEO. Ia hanya bisa pasrah dengan ketegasan Halim sang ayah yang membuatnya tidak berdaya.
Ravindra Aditama, CEO yang begitu membenci perjodohan. Ia bersumpah akan mengerjai Hanum sampai ia puas dan pergi meninggalkan negeri ini setelahnya.
Kisah cinta mereka baru saja dimulai, namun Tama harus menerima kenyataan jika Hanum lebih memilih untuk berpisah darinya.
Akankah mereka bisa mempertahankan rumah tangga atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bucin fi sabilillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gadis yang lembut
Mereka terdiam dan bergelut dengan pikiran masing-masing. Pembahasan mereka terlalu serius saat ini. Namun, mau tidak mau ini harus dibahas agar bisa mendapatkan keputusan nantinya.
"Tentu, jika ibu mau. Jika tidak, nanti saya pikirkan lagi," ucap Tama menatap Hanum dengan lekat.
Begitu juga dengan gadis cantik itu, ia menatap Tama dengan pikiran yang berkelana. Ia ingin pernikahan ini yang pertama dan terakhir baginya, namun melihat situasi sekarang. Bukan tidak mungkin, hanya saja semua ini terasa begitu mustahil untuk mereka bersatu.
"Bukannya dari awal kamu memberikan batasan yang begitu jelas?" tanya Hanum.
"Iya, karena kita tidak kenal dan ibu begitu asing bagi saya," ucap Tama sambil mengedikkan bahunya.
"Tentu saja kita sama. Tapi kamu seperti sangat tidak menginginkan saya. Namun sekarang, kamu membahas tentang ini," ucap Hanum mengernyit bingung.
"Bukankah saya hanya bertanya tentang pandangan ibu bagaimana. Bukan mengajak ibu untuk membuat anak!" ucap Tama mendelik.
Ia membaringkan tubuhnya dan meletakkan kepala di atas paha Hanum sehingga membuat wanita cantik itu tersentak.
"Tangan saya kebas tadi karena menjadi bantal, Ibu. Sekarang saya mau minta upah. Kepala saya pusing!" ucap Tama memejamkan mata.
Hanum hanya terdiam dan tidak bereaksi, hingga Tama mengambil tangan Hanum dan meletakkannya di atas kepala.
"Pijit dong, Bu!" ucapnya cemberut.
Hanum tidak memiliki pilihan lain, ia mengurut lembut kepala Tama hingga pria tampan itu terlelap.
Suaminya itu terlihat tampan dengan wajah yang terawat. Rambut panjang, hitam legam dan lurus cukup menambah ketampanannya.
Aku belum bisa menerima keadaan ini. Aku mengerti maksudmu, tapi tidak untuk sekarang. Kamu yang membuat tembok itu, kamu juga yang harus meruntuhkannya sendiri. Batin Hanum.
Tanpa sadar, ia terpesona dengan wajah tampan Tama. Ia mengelus lembut wajah sang suami hingga ke dagu dan membuat Tama terlihat semakin terlelap.
Dia, memang sangat tampan. Tapi, mulutnya sangat tidak sopan jika berbicara. Lihat saja nanti, kalau dia sampai berkata kurang ajar kepadaku. Batinnya tersenyum tipis.
Sambil menonton televisi, ia masih mengelus wajah Tama dengan lembut. Hingga sang mertua meminta foto mereka ketika berada di sana. Memastikan, jika tidak ada hal aneh yang terjadi.
Padahal, baru saja dini hari sampai, Mommy sudah menginginkan hal lain. Mumpung ada kesempatan, setidaknya bisa membuat Mommy tidak berpikir macam-macam lagi. Maaf, Mom. Tapi aku belum siap, jika tidak ada kata sepakat untuk saling menerima satu sama lain di antara kami. Batin Hanum.
Ia mengambil foto Tama yang sedang tertidur di dalam pangkuannya dan mengirimkan kepada Alifiya.
"Mas Tama baru saja tertidur, Mom. Setelah datang ke sini, dia mengurusku dengan baik," Tulis Hanum.
"Maaf ya nak, Mom tidak tau kalau kamu alergi dingin. Tapi, nanti kalian bisa saling menghangatkan. Atau mau pindah, Sayang? Nanti akan Mom urus," balas Alifiya.
"Aku mau di Indonesia saja, Mom. Tidak apa kan? Kalau boleh, aku ingin pulang lusa," tulis Hanum.
"Ya sudah, tidak apa. Yang penting kesehatan kalian. Mom urus kepulangan kalian dulu ya," ucap Alifiya.
Hanum bernapas lega karena bisa pulang dengan segera. Sungguh ia merasa tidak nyaman karena hanya berdua saja berada di dalam kamar ini bersama dengan Tama.
Tuhan, apa yang harus aku lakukan saat ini? Menerima atau mengakhiri ini semua. Batin Hanum sendu.
Tanpa ia sadari, jika Tama tidak benar-benar tertidur dan mengintip apa yang dilakukan oleh sang istri.
Ternyata dia wanita yang lembut. Jika tidak aku tahan, mungkin aku sudah terlelap sedari tadi. Tangannya begitu lembut dan juga dingin. Betapa beruntung laki-laki yang memilikinya kelak. Batin Tama.
Ia bergerak dan menghadap ke arah perut Hanum lalu memeluknya dengan erat. Menghirup aroma wangi sang istri yang membuatnya perlahan terlelap tanpa bisa ia tahan lagi.
Dia begitu manja seperti ini. Aku pasti akan kewalahan nanti jika dia kembali mengerjaiku. Batin Hanum.
Ia masih terdiam di sana dengan paha yang mulai terasa kebas. Walaupun sedikit terasa tidak nyaman, namun bagaimana pun juga ia harus membalas budi Tama yang membantunya ketika alerginya kambuh tadi.
🥕🥕
"Dad, Hanum meminta pulang," ucap Alifiya sendu.
"Tidak apa, Mom. Biarkan mereka pulang. Kita memang sudah salah memilih musim karena tidak tau jika Hanum memiliki alergi," ucap Pasya memijat alisnya.
Ia merasa gagal kali ini, entah mereka melakukannya di sana atau tidak. Tapi, besar kemungkinan tidak akan terjadi apa-apa ketika berada di sana. Walaupun Hanum mengirimkan foto, namun ia tidak serta merta mempercayainya.
Ia harus merencanakan kembali, rencana bulan madu Hanum dan Tama agar ia bisa memiliki cucu dengan cepat.
Huh, ternyata ini sangat susah dari yang aku bayangkan. Mereka tidak sepolos itu dan pasti masih bisa berfikir jernih walaupun berada dalam satu ruangan yang sama. Padahal cuaca seperti itu sangat mendukung untuk proses pembuatan adonan. Batin Pasya frustrasi.