Rayna Sasa Revalia, gadis dengan karakter blak-blakan, humoris, ceria dan sangat aktif. Dia harus meninggalkan orang tua serta kehidupan sederhananya di kampung karena sebuah kesialan sendiri yang men-stransmigrasikan jiwa gadis itu ke dalam sebuah karakter novel.
Sedih? Tentu. Namun ... selaku pecinta cogan, bagaimana mungkin Rayna tidak menyukai kehidupan barunya? Masalahnya, yang dia masuki adalah novel Harem!
Tapi ... Kenapa jiwa Rayna harus merasuki tubuh Amira Rayna Medensen yang berkepribadian kebalikan dengannya?! Hal terpenting adalah ... Amira selalu di abaikan oleh keluarga sendiri hanya karena semua perhatian mereka selalu tertuju pada adik perempuannya. Karena keirian hati, Amira berakhir tragis di tangan semua pria pelindung Emira—adiknya.
Bagaimana Rayna menghadapi liku-liku kehidupan baru serta alur novel yang melenceng jauh?
~•~
- Author 'Rayna Transmigrasi' di wp dan di sini sama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Terulang Lagi
“Sialan! Dia siapa?!”
Di ruangan gelap yang hanya di terangi cahaya sebuah laptop, seorang lelaki mengumpat seraya menonjok tembok di sampingnya dengan mata tajam dan dingin menatap layar menampilkan ruang kelas dengan di isi dua orang tengah berpelukan. Di sangat tampan, hanya saja ekspresinya membuat siapa saja yang melihatnya merasa ngeri.
Dua lelaki tampan lainnya yang menatap layar itu sama-sama marah dan kesal. Seorang lelaki dengan baju seragamnya menjawab, “Kita juga gak tau. Tapi kayaknya mereka udah deket banget. Gue kadang-kadang liat mereka jalan barengan.”
“Shit! Gue gak bisa denger suara mereka! Awas aja, gue gak bakal lepasin tu cowok! Gue sayat-sayat dia tanpa celah!”
“Tahan keinginan lo, Nies. Lo gak bisa sembarangan bunuh orang. Kita gak tau, apakah cowok itu orang penting bagi dia. Kita gak bisa buat dia sedih,” tutur seorang cowok yang baru membuka suara. Dia berpakaian kaus olahraga basket.
Danies menggertakkan gigi. Setelah kedua orang di layar itu pergi keluar kelas, ia menutup laptopnya dengan kasar.
Danies menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan emosi dan menahan keinginannya melihat cairan merah. Ekspresinya menyeramkan. Namun kedua temannya itu sudah terbiasa dan tentu sudah tahu rahasianya.
Mereka bertiga sudah kenal sedari kecil. Namun mereka harus berpisah karena suatu alasan. Walaupun mereka bertemu lagi di berbagai tingkatan sekolah, SD, SMP sampai SMA, namun baru kali ini mereka reuni dan berkumpul kembali karena suatu alasan yang sama.
“Kenapa kita baru sadar sekarang setelah sekian lama kita berada di sekolah yang sama dengan dia? Apalagi kita menemukannya hampir dalam waktu yang sama,” gumam Danies dengan ekspresi serius.
“Gue juga gak tau. Mungkin emang sudah takdir. Gue juga gak sengaja tertarik sama dia waktu pertama kali gue liat. Gue cari tahu tentang dia lewat adiknya, gak nyangka dia adalah orang yang selama ini gue cari setelah mendapat beberapa informasi. Sesuai dugaan kita, dia hilang ingatan,” ujar cowok yang masih berseragam putih-abu itu.
“Hilang ingatan …,” gumam Danies dan cowok berkaus itu berbarengan.
“Dia gak bakal inget kita. Dia juga pasti lupa tentang semua kejadian itu. Menurut gue, itu lebih baik. Walaupun kita gak dia kenal, kita bisa mengulang dari awal agar dia bisa mengenali kita lagi daripada harus mengingat kembali semua kejadian itu yang bisa aja mengguncang mental dan pikirannya. Gue malah berharap, dia gak akan mengingat semua itu lagi.”
“Gue juga berharap begitu. Soal perkenalan, gue udah ngobrol sama dia. Walaupun belum berkenalan resmi, setidaknya kedepannya akan lebih mudah,” kata seorang cowok berkaus basket itu dengan nada terdengar sombong.
Danies dan cowok berseragam itu saling pandang. Lalu setelah saling membuang muka, ekspresi mereka sama-sama arogan.
Cowok berseragam itu bersedekap dada, “Lo Cuma gitu aja. Gue dong, udah ketemu beberapa kali. Udah kenalan resmi. Dia juga manggil gue Saganteng. Terakhir kali, kita juga pernah makan bareng.”
Ekspresi cowok itu langsung masam. Tapi ia mengangkat dagunya kembali,” Gue udah gendong dia dan mandang dia lama pas lagi tidur.”
Saga dan Danies langsung duduk tegak menatap Amzar tajam. Danies berkata dengan nada mengancam, “Pas tidur di mana?”
“UKS.”
Danies dan Saga langsung rileks.
“Gue juga udah pernah nganterin dia ke rumahnya,” tambah Amzar kembali dengan nada yang sama.
Ekspresi Saga sudah tidak enak di pandang. Tapi Danies masih terlihat bangga. “Kalian Cuma gitu aja, gue udah dia peluk dengan inisiatif dia sendiri.”
Saga dan Amzar menatapnya terkejut, “Apa?!”
Danies mengangguk sombong. Lalu menyandarkan punggungnya di sofa, “Gue juga udah dua kali nyium keningnya.”
Raut kedua cowok itu langsung memerah karena cemburu dan kesal. Saga menatapnya dingin, “Lo serius? Gak cuma halu lo?”
Danies berdecak, “Buat apa gue halu. Beneran lah. Yang pertama pas malem-malem. Yang kedua di belakang sekolah.”
Saga dan Amzar saling pandang dengan kening mengernyit. Lalu Amzar menatap Danies tanpa ekspresi, “Pas malem-malem di mana? Kenapa lo bisa ketemu sama dia? Lo sengaja nyamperin dia?”
“Gak sengaja. Dia kayaknya pulang dari supermarket. Terus gak sengaja liat gue lagi bunuh preman jalanan. Tadinya dia mau kabur, tapi gue cegah. Awalnya juga gue mau bunuh. Tapi pas liat wajahnya gak jadi. Karena gue kenal banget siapa dia. Jadi gue ancem dia untuk meluk gue. Dan gue ci—“
Bug!
Bug!
Ucapan Danies terhenti saat kerahnya di tarik dan tinju mengenai pipinya bergantian.
“ANJING DANIES! LO KENAPA BIARIN MATANYA NGELIAT MODE PSIKOPAT LO, GOBLOK!” teriak Saga dengan marah menatap Danies yang tersungkur ke lantai.
Amzar berdiri di samping Saga dengan tatapan sama-sama dingin. Dia menendang perutnya dengan santai, “Damn! Lo udah nodai mata dia! Apa lo tahu, betapa takutnya dia malam itu? Sialan lo!”
Danies mengusap darah di sudut bibir dengan lengan bajunya. Dia menopang tubuhnya dengan kedua siku lengannya. Wajahnya tidak terlihat kesakitan. Malah santai. “Gue mana tau bakal ketemu dia di waktu yang kurang tepat. Apalagi, keinginan dia sendiri yang ngintipin gue. Gue liat pas esoknya, dia baik-baik aja. Sama seperti sebelumnya, dia memang berbeda. Mungkin menjadi hal baik kejadian itu terulang kembali.”
Saga dan Amzar mengembuskan nafas kasar. Mereka mengulurkan tangan dan membantunya berdiri dan duduk di sofa kembali.
“Kejadian yang terulang apa?” tanya Amzar setelah mereka duduk santai kembali seakan keributan sebelumnya bukan mereka.
Saga mengangguk penasaran sama-sama melihat ke arah Danies.
Danies bersandar dengan badan sedikit lemas karena tendangan Amzar.
“Kejadian di mana Ami liat gue yang lagi bunuh seseorang untuk pertama kalinya. Walaupun dia terlihat takut, tapi dia malah nenangin gue dan bilang ‘Aku tidak akan memberitahu siapapun.”
biar flashback
kok pindah NT?😅