Ketidaksengajaan serta pengorbanan dalam sebuah kecelakaan membuat Alena langsung meninggal dan malah mengantarkan nyawa gadis itu dengan bertransmigrasi ke dalam salah satu novel favoritnya. Alena hanya menjadi adik dari salah satu teman protagonis pria—figuran. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, tanpa keterlibatan novel, dan tanpa peran.
Tapi, plotnya hancur karena suatu alasan, hidupnya tidak semulus yang dia bayangkan. Dia membantu masalah semua tokoh, namun di tengah itu, hidupnya tidak aman, ada orang yang selalu ingin mencelakainya.
____
"Aku memang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan membiarkan mereka menderita seperti alurnya."—Alena.
~•~
note:
- author 'I Am A Nobody' di wp dan di sini sama
- Tokoh utama cerita ini menye-menye, lebay, dan letoy. Jadi, ga disarankan dibaca oleh org yg suka karakter kuat dan ga disarankan untuk org dewasa 20+ membacanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Kerja Kelompok
"Oke, Anak-anak. Untuk pelajaran hari ini kita selesai. Jangan lupa kerjakan tugas kelompok kalian yang akan ibu periksa dua hari lagi. Sekarang silahkan untuk beristirahat," ujar guru biologi seraya membawa sebuah buku di lengannya.
"IYA BU ...," balas semuanya berbarengan.
Setelah guru biologi itu keluar ruangan kelas, Dhita langsung mengeluarkan suara cemprengnya. "Ayo kita ke kantin, Guys!"
"Dhit! Lo berisik banget sih." Si ketua kelas merengut.
Dhita mendelik acuh tak acuh. "Bodo amat! Suara-suara gue!"
"Iya ... Sardhita, gue juga tahu. Tapi suara lo ngeganggu tau gak?!"
Dhita tidak peduli, malah menjulurkan lidahnya membuat si ketua kelas kesal. Pandangan Dhita kembali pada ketiga sahabatnya yang masih bermalas-malasan.
Ia langsung mendesak. "Cepet, Guys! Kita ke kantin!"
Karena tidak tahan dengan suara Dhita, ketiga orang yang awalnya santai itu langsung berdiri dengan wajah malas. Dhita tersenyum lebar. Lalu mereka berempat mulai berjalan keluar.
"Guys! Gue duluan, ya!" pamit Dhita berteriak dengan kepala menyembul ke dalam kelas. Sedangkan badannya sudah ada di luar. Tangannya di lambaikan kepada orang-orang di kelas yang di balas tatapan jengkel merasa risih.
Sepanjang jalan di koridor, sudah terbiasa dengan banyak tatapan yang berbeda-beda menuju ke empat cewek itu. Apalagi Audrey yang paling mendominasi dengan kedinginannya. Mereka sudah menjadi ratu sekolah dan tidak ada yang berani menyaingi.
Entah sejak kapan gelar itu terdengar, tapi semenjak kejadian di lapangan, mereka sudah populer. Walaupun keempat orang itu tidak peduli dengan gelar apapun di sekolahnya. Namun, beda halnya dengan orang lain menyebut mereka ratu sekolah. Sepanjang jalan juga, Dhita sibuk mengoceh yang ditanggapi singkat oleh ketiganya.
Akhirnya mereka sampai di pintu masuk kantin yang sudah ramai. Kantin sempat senyap sebentar karena kedatangan mereka, sebelum ramai kembali.
Lalu mereka duduk di bangku seperti biasa. bisa dianggap bangku itu adalah bangku khusus, karena tidak ada yang berani duduk di bangku tersebut. Apalagi ke enam most wanted di sini yang sudah terbiasa bersatu dengan Alena dan ketiga temannya jika di kantin.
"Mau pesen apa?" Seperti biasa, Dhita yang akan memesan.
"Seperti biasa, Dhit," ucapnya berbarengan.
Dhita mengangguk. Dia sudah hafal. Apalagi hampir setiap hari ia yang memesan. Ketiga sahabatnya tidak mengubah makanan yang mereka pesan. Asal kenyang, itulah yang mereka pikirkan.
Dhita pergi dan mulai mengantri. Terkadang dia suka menerobos dan tidak peduli dengan protestan orang lain. Hanya dibalas dengan wajah tak berdosa.
Setelah peninggalan Dhita, Risha membuka suara. "kita kerja kelompoknya hari ini aja, gimana?"
Alena dan Audrey mengangguk setuju.
Terpikirkan sesuatu, Alena menatap ragu Audrey. "Kita gak pa-pa kerja kelompoknya di rumah kamu?"
Audrey menoleh menatapnya bingung. "Nggak. Emang kenapa?"
Alena tersenyum canggung. "Hehe ... gak pa-pa, kok."
"Kita nginepnya sekarang juga?" tanya Risha mengangkat alis menatap kedua sahabatnya.
Audrey tersenyum sedikit lebar yang membuat Risha tertegun. Biasanya dia hanya tersenyum tipis, kenapa dia sebahagia itu?
"Ayo!" Audrey berucap semangat.
Orang lain di kantin yang melihat ekspresi lain Audrey, sempat bereaksi seperti Risha. Tercengang dan tertegun.
"Ayo ke mana?"
Pertanyaan di belakang mereka membuat ketiganya menoleh dan mendapati ke enam lelaki yang entah sejak kapan sudah datang. Lalu para cowok itu duduk di tempat biasa mereka duduk.
Mereka juga sempat melihat senyuman Audrey, apalagi Andreas yang sudah lama rindu dengan senyumannya. Namun, ketika melihat ke enam lelaki itu, senyuman Audrey luntur. Ekspresinya kembali datar.
"Kita ikut kumpul, boleh?" tanya Rafka santai dengan ekspresi datarnya.
"Nggak!" jawab ketus Audrey.
Bisa-bisa mereka bisa mengganggu waktunya dengan ketiga sahabatnya. Apalagi, mereka selalu merebut perhatian Alena.
"Yah ... Drey, kenapa nggak boleh?" Radhit merengut, karena dia juga ingin berlama-lama bersama Dhita.
Audrey menggeleng tegas. "Kalian bisa mengganggu kita!"
"Kita jarang kumpul-kumpul, Drey. Sekali-kali aja, kek." Ravael ikut membujuk yang diabaikan Audrey.
Mereka berenam menggerutu. Lalu, mereka saling pandang dan saling memberi kode sambil melirik Alena. Setelah mengangguk mengerti, salah satu mereka mewakili.
"Alena, kita boleh Ikut, kan? Jarang loh kita ngabisin waktu bersama," celetuk Rafka dengan muka memelas.
"Iya, Len. Boleh, kan?" Andreas ikut nimbrung.
Alena mengerjap dengan terkejut. Dia di serang pertanyaan dan tatapan memohon, membuatnya kewalahan. "Eh ... eh? Kok ke aku, sih?"
Tatapan memelas mereka membuat Alena pasrah. "Ah ... aku setuju aja, sih. Tapi ...." dia menggantung ucapannya seraya melirik Audrey. "Itu tergantung Audreynya, karena dia kan yang punya rumah."
Mereka yang mendapat jawaban positif langsung tersenyum, sekarang 100% pasti jawaban Audrey setuju.
"Drey. Alena setuju, tuh," timpal Radhit mengulum senyum.
Audrey menatap Alena. "Lo yakin mereka boleh ikut?"
Alena berekspresi kaku. Kenapa dia merasa menjadi ketergantungan semua orang di sini? Ia menatap ke arah ke enam orang itu yang mengkode mata untuk mengangguk dengan berbinar. Alena mengangguk kaku.
Mata Audrey beralih menuju Risha. "Gimana menurut lho?"
Risha di serang tatapan penuh cinta Alvin, dia tersipu seraya mengangguk malu.
Mendapat persetujuan kedua sahabatnya, Audrey ikut setuju. "Oke."
Mimik-mimik muka para cowok itu terlihat sumringah.
"Yeay! Dhita I'm coming!" pekik Radhit kesenangan.
Dhita yang sedang membawa makanan menuju meja, hampir tersandung dan menatap Radhit tajam. Radhit cengengesan seraya beranjak membantu Dhita membawa makanan itu. Dhita dan Radhit menaruh makanan dan minuman itu di meja, lalu duduk.
"Kalian bicarain apa, sih? Heboh banget." Dhita bertanya penasaran.
Selama dia mengantri, dia sudah memperhatikan kesembilan orang di meja ini. Apalagi pekikan Radhit.
Risha menjawab. "Kita jadi kerja kelompoknya hari ini, Dhit. Nginepnya juga. Terus mereka berenam mau ikut katanya."