Menjadi penghalang bagi hubungan saudarinya sendiri bukanlah pilihan yang mudah. Mau tidak mau Ran relakan dirinya demi keutuhan keluarga. Cacian, hinaan, tak dianggap, itu bukanlah hal yang baru. Ran memasang wajah palsu yang ia pertontonkan pada siapa pun.
“Di sini aku Ran. Apa kalian melihatku? Aku ada dan hidup di planet yang sama dengan kalian, tolong jangan abaikan aku ... aku sendiri.”
Setelah menikah apa hidup Ran akan berubah? Atau malah sama saja? Menjadi sosok yang dibenci banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Guren terpaku saat gadis yang melaju kencang di sana mengayuhkan pedal sepeda, mengendalikan dengan sangat baik. Itu Ran, dia tidak menyangka Ran datang secepat ini padahal tadi saat berjalan kaki mereka menghabiskan waktu lebih dari sepuluh menit.
“Kak Guren, ayo naik cepat!”
Guren melongo. Maksud Ran, dia gitu yang dibonceng? Tidak bisa, ini melukai harga diri Guren sebagai seorang cowok.
“Kau yang di belakang, biar aku yang menyetir.” Guren berdiri, menarik Ran agar turun. Sepeda tumbang karena paksaan itu, dia mendirikan kembali sepeda dan duduk dengan nyaman menunggu Ran naik.
Diam sejenak. Lalu Guren kembali membuka suara, memerintahkan Ran untuk cepat naik. Tapi Ran malah mengernyit tatapannya jatuh pada kaki Guren yang sudah siap di pedal sepeda.
“Katanya kaki Kaka sakit. Sudahlah, biar aku saja yang—”
“Sudah sembuh.”
Hah? Secepat ini? Ke mana pria yang mengeluh kakinya sakit hingga bergelantungan di tubuh Ran?
Kebisuan Ran membuat Guren bertindak. Dia menarik Ran, memaksanya untuk duduk di belakang. “Jangan protes!” ucapnya cepat sebelum Ran ingin menyangkal lagi.
“Baiklah, tapi jika kakimu pacul aku tidak akan memungutnya.”
“Tidak usah dipungut, aku bisa beli yang baru, yang lebih panjang dan kuat.”
Percakapan yang konyol. Tapi sepertinya kaki Guren benar-benar tidak sakit lagi, buktinya dia mengayuh sepeda seperti tidak ada beban.
Tangan Ran refleks melingkar di pinggang Guren ketika pria itu mulai melakukan aksi yang tidak perlu ; melaju di keramaian, setanding, juga melakukan zig-zag melalui susunan pejalan kaki. Ran terus meneriakkan maaf pada orang-orang yang protes dan tidak nyaman.
Bukannya merasa bersalah, Guren malah menikmati setiap umpatan yang diterima. Dia tertawa mendengar teriakan panik Ran yang meminta maaf. Seru sekali, dia pikir setiap hari naik sepeda bersama Ran tidak buruk juga.
Akhirnya sampai di kampus. Bukannya berhenti dan memarkirkan sepeda—Guren malah membawa Ran mengelilingi kampus.
“Kak, berhenti!” teriak Ran begitu malu dengan tatapan orang-orang dan entah apa yang mereka bisikkan.
“Aku mau main. Sebaiknya kau peluk aku dengan erat, karena kita akan terbang.”
Yang benar saja? Guren melompati kolam ikan keci yang di buat seperti aliran sungai buatan. Ran menjerit, sepertinya sebentar lagi sepeda Ran akan hancur. Itu seperti biasa, bukan sepeda TREK ataupun BMX.
>>>
“Ini sudah lewat dari waktu janji. Ran ke mana sih?” keluh Risti, jalan bersamaan dengan Aldo. Entah sejak kapan, Risti, Ran, dan Aldo menjadi sangat dekat seperti sahabat.
“Tak lihat, ya? Tuh dia sama Guren menggila di lapangan,” tunjuk Aldo.
Mata Risti membulat. Pantas saja orang ramai, ternyata ada pemandangan yang tidak biasa di bawah. Seketika Risti merasa iri, dia ingin dibawa seperti itu juga dengan Miztard. Sayangnya Miztard adalah pria dengan pemikiran dewasa, dia tidak akan mau melakukan hal yang kekanak-kanakan seperti Guren.
“Mereka jauh lebih dekat dibandingkan ... sebelumnya.”
Namun di balik kesenangan Guren, ada mata yang hampir menangis melihat itu. Pasya, siapa lagi kalau bukan gadis itu. Dia inginkan berteriak untuk menyadarkan Guren, tapi teman-teman Pasya menghentikannya dengan berkata, “Kau akan malu jika Guren tidak mendengar teriakanmu.”
“Tapi—”
“Kami akan beri pelajaran untuk Ran nanti. Dia harus diberi paham sekali lagi, sepertinya yang dulu tidak cukup.”
Pasya mengangguk Pasrah. Bentuk dengki dan iri hatinya sangat besar hingga menutupi tali persaudaraan mereka yang seharusnya saling melindungi.
Air matanya terus turun. Pasya sulit menutupi rasa sakitnya cemburu atau lebih tepatnya ... Guren mengabaikan Pasya?
“Ran, awas saja kau. Adik yang tidak tahu diri itu ... kenapa dia selalu merebut apa yang aku inginkan? Aku sangat membencinya.”
***
Kaki Ran berdiri dengan sumbang, dia pikir dia akan mati tadi. Tapi si pelaku yang membuat Ran lemas seperti ini malah santai melangkah duluan meninggalkan Ran yang sesak napas.
“Dia ... aku ingin mencekiknya,” geram Ran menatap punggung Guren yang kian menjauh.
Hingga datanglah Risti dan Aldo meneriakkan nama Ran sembari melambaikan tangan. Ran balas senyum kehadiran mereka.
“Maaf aku telat,” tutur Ran.
Mereka malah tertawa dengan kondisi berantakan gadis cantik itu. Cukup lucu melihat Ran selalu tenang di berbagai macam situasi, berteriak keras seperti tadi.
“Apa yang kalian tertawakan?” singgung Ran memasang raut waspada.
Mereka terdiam kemudian saling pandang, dan kembali tertawa. Risti bergerak menggandeng tangan Ran juga Aldo, dia membawa mereka jalan bersama menuju perpustakaan tempat terfavorit mengerjakan tugas.
Tidak peduli dengan seberapa banyak yang melihat mereka, Aldo sudah tidak peduli lagi dengan para cewek di kampus. Jika jodohnya bukan di sini, maka mungkin di tempat lain. Lagian anak cowok berteman baik dengan Aldo, begitu pula dengan Risti.
Berteman dengan Ran menyenangkan. Mereka cocok, tidak ada hal yang lebih baik dari itu dalam pertemanan. Berkat mereka pula Ran begitu antusias untuk melanjutkan rutinitas di kampus ini.
“Terima kasih,” katanya. Risti dan Aldo menoleh ketika tiba-tiba Ran mengucapkan dia kata itu. Mereka diam, mata berkaca Ran yang tulus membuat mereka berdua terpaku.
Saat Ran menundukkan kepala, air matanya jatuh. “A-aku senang kalian mau berteman denganku.” Ran tak berani mendongak, jangan sampai air mata itu dilihat oleh mereka berdua.
Detik itu juga mereka menyadari bahwa gadis itu sangat kesepian di balik senyum cerianya. Jika waktu bisa diulang, sejak awal Risti ingin mengenal Ran saat itu.
“Banyak manusia di dunia ini, Ran. Kau tidak sendiri, tempat ini saja yang jahat denganmu,” Risti terharu, dia juga jadi bersemu karena Ran menganggap hal sepele seperti ini begitu berarti.
Sepele? Ya, bagi sebagian orang.
Mereka kembali melanjutkan tugas mereka. Aldo sejak tadi diam, sejak Ran mengatakan bahwa mereka adalah teman pertama Ran. Sesuatu mengganggu pikiran Aldo, dia pikir dia pernah melihat Ran begitu dekat dengan seorang gadis.
“Ran,” panggil Aldo tiba-tiba.
“Iya?”
Aldo tampak ragu, sesaat dia diam sebelum dia meyakinkan diri untuk menanyakan hal ini. “Waktu SMA, kita satu angkatan, Ran.”
“Oh benarkah? Aku tidak tahu.”
Aldo mengangguk kemudian melanjutkan, “Kau sangat terkenal di kalangan laki-laki, aku juga sering diam-diam memperhatikanmu.”
Apa ini? Apa Aldo akan menyatakan perasaan lamanya? Risti menebak hal demikian, sampai ucapan Aldo selanjutnya membuyarkan tuduhan Risti.
“Kau punya teman, Ran. Iya, kalian sangat dekat hingga ke mana-mana kalian sering bareng. Keakraban kalian karena kalian bernasib sama ... sama-sama dibenci cewek.”
Apa yang Aldo katakan? Ran tidak ingat dia memiliki teman dekat sebelumnya. Tidak mungkin Ran hilang ingatan, dia ingat hari yang dia lalui di SMA. Tidak ada gadis yang dimaksud Aldo di ingatan Ran.
“Nama gadis itu ... Olif.”
Seperti tersetrum, Ran begitu kaget.
Bersambung....
akhir yang manis.
semangat💪🏻💪🏻💪🏻 selalu untuk karya2 mu yg lain.
perbaiki masa lalu kamu.
terbuka lah dg ran.
semangat up kak author
guren cinta sama kamu ran jadi tidak akan menyakiti kamu, semoga arif dapet balesan nya.
dan guren mau mendengarkan alasan dn penjelasan dr ran kenapa ran sampai pergi.
kasih pelajaran buat arif mak othor.
kuranga ajar si arif mau misahin ran sama guren kan kasian bayinya.
mak othor semoga sehat selalu😘😘😘.
syemangat💪🏻💪🏻💪🏻💪🏻
jangan lama2 yah thor buat ran perginya