Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)
Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.
Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.
Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Hanif masih berdiri di luar ruang farmasi setelah pertemuan singkat itu. Ia menghela napas panjang, menatap kosong ke koridor rumah sakit yang lengang. Kata-katanya tadi—"kamu nggak lagi di kampus"—terngiang di kepala. Ia tahu ia benar secara medis, tapi nadanya terlalu tajam. Terlalu menyerang. Dan melihat ekspresi Sekar barusan… entah kenapa membuat hatinya tak enak.
Beberapa menit kemudian, ia pergi ke ruangan istirahat dokter, duduk berseberangan dengan Joe yang kebetulan sedang dinas malam kala itu. Secangkir kopi masih mengepul di antara mereka, sementara Hanif menceritakan insiden kecil semalam.
Joe yang biasanya paling anti menyebut nama Sekar itu langsung membelalakkan mata. Seakan tak percaya Hanif—yang paling lembut kalau bicara dengan perempuan—bisa sekasar itu pada Sekar.
“Lo serius bilang gitu?!”
Hanif mengangguk. Tatapannya tak main-main. “Gue langsung bilang ke dia, protokol bukan segala-galanya. Dia salah ambil keputusan.”
Joe hanya mengangkat alis. “Dan lo pikir lo keren banget bilang gitu ke dia?”
Hanif mendengus. “Lah, emang iya, kan? Anak itu sepsis. Waktunya mepet. Mana sempat tanya-tanya dulu soal alternatif.”
“Tapi lo tahu nggak,” Joe mencondongkan tubuh, menurunkan suaranya, “Cefotaxime itu memang protokol alternatif yang lebih aman buat anak-anak. Bahkan sekarang direkomendasiin juga di Guidelines terbaru Eropa dan Amerika buat kasus sepsis Pediatrik ringan sampai sedang.”
Hanif terdiam. Alisnya terangkat. “Serius?”
Joe mengangguk. “Serius. Jadi secara teknis, lo berdua benar. Cuma Sekar ngambil jalan yang lebih safe buat pasien.”
Hanif menyandarkan tubuhnya di kursi, membisu sejenak. Seketika kata-kata yang ia ucapkan pada Sekar tadi berputar di kepala, menjadikannya seolah penjahat yang begitu kasar melukai hati seseorang. Terlebih kala perempuan itu berujar ...
“Di sini saya juga nggak merasa aman.”
Deg! Jantung Hanif mencelos. Perasaannya tidak tenang. Ia terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya bergumam lirih,
“Gue terlalu keras ya?”
Joe mengangkat bahu. Wajahnya meringis, seakan-akan membenarkan ucapan Hanif. “Ngasih kritik boleh, tapi nggak harus bawa-bawa pendidikan seseorang juga kali, Han. Gue yang blak-blakan aja nggak pernah begitu sama orang baru.”
Hanif makin ditekan rasa bersalah. Dia menunggu lanjutan ucapan Joe.
“Apalagi dia itu…”
“Apa?” tanya Hanif cepat.
Joe menyandarkan tubuhnya di kursi. Pandangannya menerawang.
“Cantik, iya. Tapi auranya gelap. Kayak... penuh tekanan gitu. Kemana-mana sendiri. Nggak pernah ngobrol. Nggak ada teman di sini.”
Hanif diam. Ia teringat mata Sekar tadi—dingin, tapi ada lelah yang mengendap di baliknya.
“Orang-orang bilang dia simpanan Pak Direktur,” Joe menambahkan setengah berbisik. “Karena tiba-tiba langsung ditunjuk jadi kepala farmasi, padahal sebelumnya posisinya diisi ibu-ibu senior umur lima puluh. Gimana nggak bikin gosip?”
Hanif mengerutkan dahi. “Lo percaya?”
Joe mengangkat bahu. “Gue nggak tahu. Tapi… sesuatu tentang dia kayak bikin orang susah deket. Mungkin dia punya self problem. Gak tau, ah. Gue ikutan bingung. Sekarang mending lo fokus sama kerjaan lo aja. Yang udah lewat ya ... biarin aja. Toh lo nggak bakal sering juga ketemu sama dia, kan? Nggak usah terlalu dipikirin, lah.”
Namun—terlambat. Hanif sudah lebih dulu memikirkan masalahnya dan Sekar, menerima rasa bersalah yang semakin membuat perasaannya ... sesak.
“Iya. Gue nggak bakal mikirin dia.”
***
Tapi ... dua hari kemudian....
“Jadi lo berubah pikiran? Secepat ini?”
Usai menyelesaikan pekerjaannya di poli anak, Hanif langsung menemui Joe yang juga kebetulan sedang istirahat sore itu. Tahu atas dasar apa ia menemui temannya itu?
Sekar.
Ya, perempuan itu tak kunjung pergi dari ingatannya meski ia sudah berusaha lupakan. Hanif terjebak dalam rasa bersalahnya sendiri. Dua hari ini tidurnya tak tenang meski telah ia coba menyingkirkan perasaan itu.
“Iya. Gue penasaran banget. Nggak tenang gue sebelum gue dapat maaf dari dia.”
"Maksud lo, sekarang lo beneran mau cari tau tentang dia?” tanya Joe, nadanya setengah bercanda, setengah curiga.
Hanif mengangguk pelan, tatapannya kosong menembus permukaan meja ruangan. "Gue penasaran aja, Joe. Mungkin gue terlalu cepat nge-judge dia. Mungkin ada alasan kenapa dia bersikap begitu."
Joe mengangkat alis, agak terkejut dengan pernyataan itu. Hanif bukan tipe yang gampang memikirkan orang lain terlalu dalam—terutama jika mereka menunjukkan sikap dingin seperti Sekar. "Lo yakin? Lo sendiri bilang, dia kayaknya susah banget buat dideketin. Gue rasa dia tipe yang lebih suka simpan semuanya sendiri. Bahkan di sini, nggak ada yang benar-benar tahu banyak tentang dia. Dia muncul, hilang, kayak bayangan."
Hanif menarik napas. Ada keraguan di dalam dadanya, tapi juga rasa yang tak bisa ia abaikan. “Ya, gue nggak bakal langsung deketin dia juga. Gue cuma… pengen tahu lebih banyak. Tentang dia. Kenapa dia bisa jadi kayak gitu.” Suaranya mengecil, seperti gumaman. Lebih terdengar seperti seseorang yang sedang mencoba meyakinkan diri sendiri.
Joe mencerna kata-kata itu, lalu mengedipkan mata penuh selidik. “Lo yakin nggak ada yang lain di balik rasa penasaran lo itu? Jangan-jangan lo mulai tertarik sama dia, ya?”
Hanif menatap Joe tajam, tapi bukan dengan kemarahan. Lebih seperti berusaha menyangkal sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami sendiri. “Gue nggak bodoh, Joe. Gue tahu batasan gue. Gue cuma mau tahu kenapa dia selalu terkesan jauh dan... misterius. Gue rasa ada lebih dari sekadar tampang keras dan dinginnya itu.”
Joe tertawa kecil, sambil menepuk bahu Hanif. “Hati-hati, bro. Jangan sampe lo jadi kayak Yuna—terlalu berlarut-larut mikirin hal-hal yang nggak perlu. Lo tahu sendiri gimana akhirnya.”
Hanif mendengus, meski dalam hatinya ada sedikit kegelisahan. Nama Yuna masih menyisakan luka samar, meski ia berulang kali mengatakan bahwa itu sudah berlalu. "Gue udah bilang, itu nggak ada hubungannya sama Yuna. Gue nggak ada perasaan lagi."
Joe memiringkan kepala, tak sepenuhnya percaya. “Mungkin nggak, tapi lo masih tetap bisa tersesat dalam pikiran lo sendiri. Lo pernah denger, ‘Jangan coba-coba nyelam di laut dalam kalau lo nggak siap sama apa yang bakal lo temuin di dasar’?”
Kalimat itu menggantung di udara. Seolah ada bobot yang jatuh di antara mereka. Hanif menarik napas dalam-dalam, merasakan kata-kata itu menohok. Ada kebenaran di dalamnya.
“Gue nggak akan nyelam terlalu dalam,” katanya pelan. “Tapi gue cuma… pengen tahu lebih banyak. Itu aja. Jangan dilebih-lebihkan.”
Joe mengamati Hanif, seolah mencoba menilai seberapa jauh temannya akan melangkah. Akhirnya, ia mengangguk pelan, menyerah pada tekad yang ia lihat di mata Hanif. “Kalau lo merasa itu yang terbaik, ya silakan. Tapi lo harus ingat, kadang orang yang paling tertutup, justru punya rahasia paling besar.”
Melihat Hanif yang tak merespon ucapannya, Joe bergumam lagi—
“Saat lo masuk ke hidup seseorang, artinya lo harus siap kalau suatu hari lo jadi orang yang diharapin sama orang itu. Dan lo nggak bisa menjamin dalam tahap itu, lo nggak bakal jatuh ke lubang yang lo gali sendiri.”
****