Zahira terpaksa menerima permintaan pernikahan yang diadakan oleh majikannya. Karena calon mempelai wanitanya kabur di saat pesta digelar, sehingga Zahira harus menggantikan posisinya.
Setelah resepsi, Neil menyerahkan surat perjanjian yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi suami istri selama 100 hari.
Selama itu, Zahira harus berpikir bagaimana caranya agar Neil jatuh cinta padanya, karena dia mengetahui rencana jahat mantan kekasih Neil untuk mendekati Neil.
Zahira melakukan berbagai cara untuk membuat Neil jatuh cinta, tetapi tampaknya semua usahanya berakhir sia-sia.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Ikuti terus cerita "100 Hari Mengejar Cinta Suami" tentang Zahira dan Neil, putra kedua dari Melinda dan Axel Johnson.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.20
Ponsel Erik terus saja berdering. Namun, dia tak mampu menjawab panggilan dari bosnya.
"Bagaimana, kalau gue dipecat?" tanya Erik pada akhirnya, menatap kedua gadis yang berada di depannya.
"Tenang aja, lo jadi asisten gue aja." Sahut Ana.
"Eh, engga deh pilih aja, gue atau Aiyla." Kata Ana melarat ucapannya sambil tertawa, membuat Erik berdecak kesal.
Kini giliran ponsel milik Ana yang berdering, dia malah tertawa merasa puas. Dan membiarkan sang kakak yang kesusahan.
Di sisi lain, Neil pun menyerah menghubungi Erik dan Ana. Dia melirik Livia dan menghampiri sang kekasih.
"Bagaimana, sudah?" tanya Livia.
"Belum, semua kartu ku di blokir." Kata Neil.
"Apa, di blokir?" pekik Livia. "kamu, kamu ... Kamu serius, sayang?" tanya Livia.
"Serius, kapan aku bohong sama kamu?"
"Rencananya, aku ingin meminjam uang punya kamu dulu. Nanti aku ganti yah!" kata Neil, Livia menghela napas dengan pelan.
"Ya sudah, tapi nanti jangan lupa ganti yah!"
"Iya, kamu tenang saja. Aku akan temui Erik, setelah mengantarmu pulang."
Livia pun mengangguk, memberikan kartunya pada Neil. Setelah melakukan pembayaran, Neil dan Livia pun meninggalkan klinik. Lalu setelah mengantar Livia ke apartemen, Neil langsung menuju cafe miliknya.
Tiga puluh menit kemudian, Neil sudah sampai. Dia langsung masuk begitu saja, dia tak menemukan Erik dimana pun. Neil membuka pintu ruangan Erik dengan kasar.
"Erik, lo ..."
Pemandangan yang membuatnya menelan ludah dengan kasar, dimana Erik di ikat di kursi dan disumpal mulutnya dengan roti.
"Erik, siapa yang melakukan ini sama, lo?" tanya Neil, sangat-sangat terkejut dan juga syok. Takut-takut masih ada penjahat di sekitaran mereka.
Neil membantu Erik melepaskan ikatannya, lalu membuang roti bekas Erik.
"Astaga, Ana, Aiyla. Bener-bener keterlaluan kalian tega sama gue!" Batin Erik, untuk memperlancar rencana Aiyla dan Ana, Erik bersedia untuk di ikat di kursi.
"Siapa yang lakuin, ini ke lo?" tanya Neil lagi.
"Adik lo, siapa lagi." Ketus Erik.
"Hah? Maksud lo, Ana?"
"Iya sama Aiyla juga," balas Erik.
"Masa sih? Gue gak percaya," kata Neil.
"Ya sudah, kalau lo gak percaya. Terserah gue mau pergi dulu," pamit Erik, dia langsung pergi begitu saja mencari aman dari perdebatan adik kakak tersebut. Dia sudah melakukan tugasnya, tidak ingin mendapatkan tugas yang lain.
"Erik, tunggu mau kemana lo?" teriak Neil, dia menendang meja di depannya dan terus mengumpat.
"Ana, Aiyla. Awas aja kalian," gumam Neil, lalu pergi menuju ruangannya yang berada di lantai dua. Dimana kedua adiknya ada disana, sedang cekikikan melihat Erik dan Neil.
"Kita, kelewatan gak sih sama. Erik?" tanya Aiyla, pasalnya tadi dia tak tega. Meski dia yang mengusulkan ide tersebut.
"Udahlah, biarin aja nanti kita minta maaf dengan benar. Atau kasih bonus lah," pungkas Ana, dia melihat Neil yang sudah ada di lorong lantai dua terlihat dari cctv.
Saat ingin membuka pintu, sialnya pintu di kunci dari dalam. Neil juga mendengar suara Ana dan Aiyla tertawa.
"Ana, Aiyla. Buka pintunya!" teriak Neil. Namun, tak ada jawaban dari dalam.
"Baik, kalau kalian gak buka pintunya. Aku akan dobrak!" ancam Neil, tak lama pintu pun terbuka menampilkan Aiyla yang meringis melihat Neil menatapnya dengan tajam.
"Mana Ana?" tanya Neil tanpa basa-basi, dan langsung menerobos masuk.
"Ada apa, sih?" tanya Ana, dengan cuek.
"Jangan pura-pura Ana, Kakak tahu kamu yang meminta Daddy untuk memblokir semua kartu kakak kan!"
"Iya kah? Daddy udah blokir, kartu Kak Neil?" tanya Ana pura-pura tak tahu, sedangkan Aiyla menggeleng melihat Neil yang marah sedangkan Ana dengan wajah menyebalkannya.
"Belvana," bentak Neil, membuat Ana menatapnya juga. Lalu berdiri menghampiri Neil, sekarang mereka berhadapan.
"Apa, hah?" Ana melotot menatap sang kakak.
“Bilang sama Daddy, jangan memblokir kartu ku. Aku butuh. Na," kata Neil.
"Buat apa? Buat biaya anak orang begitu?" tanya Ana dengan mengejek.
"Anak orang, dia anakku Ana. Anakku," tekan Neil, membuat Ana berdecak kesal.
"Sebelum mengklaim itu anak mu, pastikan dulu itu anakmu atau bukan?" ujar Ana, membuat Neil mengusap wajahnya dengan kesal.
"Sudahlah, percuma memberitahu mu kamu gak akan mengerti. Sekarang berikan uangnya pada ku cepat," titah Neil.
"Uang apa? Aku kasih tahu Neil, cafe ini sekarang menjadi milikku. Kamu ... Tidak ada hak sedikit pun, atas cafe ini." Jelas Ana, membuat Neil menggeleng sejak kapan cafenya menjadi milik sang adik?
"Tidak, kafe ini milikku dengan uangku sendiri Belvana." Pekik Neil.
"Sekarang berikan uang itu, atau gue bersikap kasar sama lo. Gue gak peduli lo adik gue sekalipun," tekan Neil.
Membuat Ana tersenyum miring, dia tahu bahwa Neil tak akan berbuat kasar. Dia hanya menggertak saja.
"Coba saja kalau berani." Tantang Ana, dia pun sedikit takut jika Neil nekat. Entah kemana keberanian yang tadi dia banggakan, Ana melirik Aiyla yang juga siaga di belakang Neil.
"Berikan, Ana." Pinta Neil.
"Tidak, buat apa? Kamu itu bodoh Neil, kamu mau saja dibohongi sama perempuan licik itu. Aku yakin anak yang dia kandung bukanlah anakmu," tegas Ana. "cinta boleh, bodoh jangan Neil. Dan satu lagi, Livia hanya orang luar bagi mu."
Neil memejamkan mata, tak bisa berkata-kata dia membenarkan Livia hanya orang luar. Yang terikat dengannya karena anak, yang ada dalam kandungan Livia. Lalu dia meninggalkan ruangannya yang kini menjadi ruangan Ana dan Aiyla.
"Apa kita gak keterlaluan?" tanya Aiyla, setelah pintu tertutup, dia jadi tak enak sendiri padahal Aiyla pun setuju dengan ide tersebut.
"Sudahlah, biarkan saja dia. Lagian dia mau saja di dibodoh-bodohi sama Livia, sedangkan istrinya, sekarang tidak tahu dimana?" kata Ana, sampai sekarang Nathan belum menemukan Zahira.
"Semoga kak Zahira, baik-baik saja. Gue ngerasa bersalah sama dia udah maksa buat nikah sama kak Neil," lirih Ana, kembali terduduk di kursi kebesarannya.
Dia juga tak diberitahu tentang Melinda yang sakit, Aiyla mengusap tangan Ana mencoba menguatkan sepupunya tersebut.
***
Zahira sendiri, dia meminta pekerjaan pada dokter yang menolongnya. Mengeluarkan biaya kebutuhan Zahira, selama dia berada di rumah sakit.
"Sampai saya mempunyai bekal, untuk pulang. Dok,” kata Zahira, dokter pun berpikir sejenak untuk mencari pekerjaan apa yang cocok untuk perempuan yang dia tahu bernama Zahira.
"Bagaimana kalau kamu, bekerja di rumah ku saja?" tanyanya.
"Saya mau dok, apapun asal bisa menghasilkan uang." Sahut Zahira dengan semangat. Jadi pembantu pun tak masalah, karena memang itu pekerjaannya sebelum menikah dengan Neil.
"Ya sudah, nanti ikut saya pulang."
"Baik terima kasih dokter," ucap Zahira penuh rasa syukur, mulai sekarang dia tidak akan bergantung pada keluarga Johnson. Dan untuk perceraiannya dia akan datang setelah melahirkan.
Zahira pun memutuskan untuk menunggu dokter di taman rumah sakit, dokter yang Zahira tahu bernama Ethan. Yang masih berkewargaan Indonesia.
Zahira mengusap perutnya yang masih rata, dia akan berusaha untuk jadi ibu dan ayah sekaligus untuk anaknya kelak.
Bersambung...
Maaf typo
emang enak