Alisa Veronica gadis cantik yang hidup sebatang kara dalam kesederhanaan. Menjalin kasih dengan seorang pemuda yang berasal dari keluarga terpandang di kota Bandung. Rayyen Ferdinand. Mereka menjalin kasih semenjak duduk di bangku SMA. Namun, kisah cinta mereka tak semulus yang di bayangkan karena terhalang restu dari orang tua yang menganggap Alisa berasal dari keluarga yang miskin dan asal-usul yang tidak jelas. Di tambah lagi kisahnya kandas setelah Rayyen melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Rayyen pergi tanpa sepatah kata atau mengucap kata putus pada Alisa. Ini yang membuat Alisa galau brutal dengan kepergian Rayyen. Enam tahun berlalu, kini Alisa tumbuh menjadi wanita dewasa yang semakin cantik, berbakat dan tentunya kini dia mempunyai bisnis sendiri . Alisa mempunyai toko kue yang cukup terkenal di Jakarta. Dan dia mempunyai 2 cabang di Bandung dan Surabaya. Ada suatu acara dimana ia di pertemukan kembali dengan Rayyen dengan situasi yang canggung dan penuh tanda tanya. Rayyen datang bersama gadis cantik yang terus bergelayut manja di lengan kekarnya. Sedangkan Alisa datang dengan sahabat baiknya, Marko. Seakan waktu di sekeliling berhenti bergerak, Alisa merasakan sesak kembali setelah bertemu dengan Rayyen. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dia lontarkan ke wajah kekasihnya itu. Namun itu semua hanya berputar dalam otaknya tanpa keluar satu kata pun. Akankah kisah cinta mereka akan terulang kembali??? Kita liat saja nanti. Heheheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RAYYEN FERDINAND
Setelah enam tahun berlalu, akhirnya Rayyen kembali ke Indonesia. Ia berhasil meraih gelar Doctor Of Medicine ( MD ) di Universitas Stanford yang terdapat di Amerika Serikat. Perjuangan yang panjang dan tidak mudah untuk mendapat gelar tersebut. Ia harus mati-matian dalam belajar tanpa mengenal lelah dan waktu. Tiap malam ia selalu saja begadang. Ingin sekali rasanya menyelesaikan perkuliahan ini dan kembali ke Indonesia.
Di balik semua itu, ada tekad kuat dalam dirinya, menyelesaikan studi secepat mungkin agar bisa pulang ke tanah kelahiran. Dan kini, saat itu datang juga. Ia pulang membawa gelar dokter bedah, pulang dengan kepala tegak dan hati yang lega.
Langit sore Jakarta menyambutnya dengan hangat saat ia keluar dari pintu kedatangan. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Dengan koper besar dan ransel di punggung, ia melangkah ringan menuju mobil yang sudah menjemputnya. Tujuannya, Bandung—kota penuh kenangan.
Ia segera menuju Bandung, tempat tinggal dan sekolahnya dulu. Banyak sekali yang ia rindukan di Bandung. Rumah, orang tua, tempat nongkrong, teman-teman sekolahnya dan…hm dia Alisa. Dia merindukan Alisa. Kekasihnya yang dulu ia tinggalkan begitu saja.
Alisa—gadis yang pernah menjadi bagian penting dari hidupnya. Gadis yang ia tinggalkan tanpa banyak penjelasan saat memutuskan pergi mengejar cita-cita ke negeri seberang.
Dua jam lebih perjalanan darat akhirnya membawanya ke rumah yang sangat ia rindukan. Rumah masa kecil, tempat ia tumbuh besar bersama kedua orang tuanya. Tempat ia belajar, tertawa, dan jatuh cinta untuk pertama kali.
Selama kuliah di Amerika, Rayyen tidak pernah sekalipun pulang. Bukan karena tidak sempat, tapi karena ia takut—takut jika kembali, ia tak akan sanggup beranjak lagi. Jadi setiap kali orang tuanya rindu, merekalah yang terbang ke Amerika. Kini, ia pulang sebagai dokter.
Begitu turun dari mobil, ia langsung disambut pelukan hangat dari sang mama, Melisa. Wanita paruh baya itu terlihat begitu bahagia dan bangga.
“Kamu makin ganteng aja, nak,” ucap Melisa dengan mata berkaca-kaca.
Rayyen tersenyum kecil, memeluk mamanya erat.
“Masakan mama sudah siap. Kamu pasti udah kangen makanan Indonesia, kan?” lanjut Melisa sambil menggandengnya masuk ke dalam rumah.
“Iya, ma. Kangen banget,” jawab Rayyen pelan.
Mereka bertiga—Rayyen, Melisa, dan Ferdinan, ayahnya—makan malam bersama di meja makan yang penuh dengan makanan favorit Rayyen. Setelah itu, mereka duduk santai di ruang keluarga.
Di sela obrolan hangat, Ferdinan membuka pembicaraan serius.
“Minggu depan kamu mulai kerja di rumah sakit.”
Rayyen mengangkat alis. “Tapi, Yah… aku kepikiran mau coba kerja di rumah sakit lain dulu, bukan di Rumah Sakit Permata.”
“Lho, kenapa?” tanya Melisa bingung.
“Aku nggak mau dapet perlakuan istimewa. Semua orang pasti tahu aku anak pemilik rumah sakit. Aku cuma pengin kerja profesional, sebagai dokter bedah.”
Ferdinan meletakkan cangkir kopinya dan menatap anaknya tajam. “Justru karena kamu anak pemilik rumah sakit, kamu harus jadi contoh. Kamu itu CEO baru di Rumah Sakit Permata. Ayah sudah atur semuanya. Kamu tinggal jalani.”
Rayyen menghela napas berat. “Tapi, Yah… aku belum siap menjabat posisi sebesar itu. Aku ingin fokus jadi dokter dulu, bukan langsung terjun ke manajemen.”
“Dengar, Rayyen,” kata Ferdinan, nada suaranya tegas. “Banyak orang harus kerja puluhan tahun untuk dapat posisi seperti itu. Kamu tinggal nerusin. Ayah sudah susun masa depanmu dengan rapi.”
Melisa ikut angkat bicara, lebih lembut. “Sayang, ini semua buat kamu. Kamu anak kami satu-satunya. Kalau bukan kamu yang nerusin rumah sakit, siapa lagi?”
Rayyen tertunduk. Ia tahu menolak takkan ada gunanya. Ayahnya terlalu keras kepala. Maka, dengan berat hati, ia hanya mengangguk pelan.
“Bagus,” sahut Melisa sambil memeluknya. “Mama senang kamu ngerti.”
Tapi percakapan belum usai. Ferdinan menambahkan satu hal lagi yang membuat Rayyen hampir tersedak.
“Oh ya, di rumah sakit, ada Dokter Friska. Dia calon istrimu.”
Rayyen terbelalak. “Calon istri?”
“Mas, kenapa harus bilang sekarang?” potong Melisa cepat.
“Biar sekalian tahu. Lebih cepat lebih baik,” jawab Ferdinan santai.
“Yah, maksudnya apa sih? Aku bahkan belum ketemu dia,” Rayyen berusaha mencerna situasinya.
“ayah sudah siapkan calon istri buat kamu. Namanya Dokter Friska Utami. Dia dokter ahli bedah juga sama seperti kamu. Dia dari kalangan terhormat seperti kita. Orangnya cantik dan cerdas. Dia juga anak salah satu pemegang saham terbesar di rumah sakit kita” Puji Ferdinan agar Rayyen tersentuh
Rayyen menggeleng, kesal. “Tapi aku nggak mau dijodohkan. Aku bisa cari pasangan sendiri.”
Melisa tertawa kecil. “Emangnya kamu udah punya pacar?”
Rayyen menunduk. “Belum. Tapi bukan berarti harus dijodohkan. Aku bisa cari sendiri, mah. Ini bukan zaman Siti Nurbaya.”
Melisa memandang putranya dengan sorot mata penasaran. “Selama di Amerika kamu nggak pernah cerita dekat sama siapa pun. Jangan-jangan… kamu masih normal, kan?”
Rayyen langsung menatap mamanya, nyaris terbatuk. “Ma! Tentu saja aku normal.”
“Ya mama kan cuma nanya. Syukurlah kalau masih normal,” jawab Melisa lega.
“Justru karena itu, kamu terima aja Friska,” sambung Melisa.
“Enggak, Ma. Aku nggak mau,” Rayyen tetap bersikeras. “Aku punya hak memilih.”
Ferdinan tampak mulai kehilangan kesabaran. “Wanita seperti apa maksudmu??? Hem..Apa wanita seperti yang dulu? Yang asal-usulnya saja tidak jelas? Wanita miskin yang masa depannya suram?”
Rayyen mengepalkan tangannya. “Ayah, tolong jangan hina Alisa.”
“Dia bukan siapa-siapa, Rayyen. Gadis kampung. Masa depan suram. Ayah nggak akan pernah setuju kamu sama dia.”
“ ayah kenapa sangat membenci Alisa?? Apa salahnya ?” tanya Rayyen emosi
“ salahnya karena dia terlahir dan dekat dengan kamu. Ayah dari dulu nggak setuju kamu menjalin hubungan dengan gadis kampung itu.” Kata Ferdinan meninggi
“Itu masa lalu, Yah. Aku udah lama nggak komunikasi sama Alisa. Tapi bukan berarti aku bisa langsung nerima perjodohan ini.”
“Dengar baik-baik. Ayah tidak mau tau, suka tidak suka perjodohan ini akan tetap berlangsung. Lusa, kita ke rumah keluarga Friska. Tidak ada penolakan. Melisa, tolong jelaskan ke anakmu ini, jangan keras kepala.” kata Ferdinan lalu berdiri dan pergi, meninggalkan ruang keluarga.
Rayyen menatap punggung ayahnya yang semakin menjauh. Seketika semangatnya runtuh. Rencana hidup yang ia susun perlahan terasa seperti buih yang pecah dihempas kenyataan.
Ia mengira kepulangannya akan membawa kebahagiaan, tapi kini yang datang justru tekanan demi tekanan. Untuk pertama kalinya sejak kembali, Rayyen merindukan kebebasan yang pernah ia miliki jauh di negeri orang.
Dan tanpa sadar, sebuah nama kembali mengisi pikirannya: Alisa. Gadis sederhana yang dulu ia tinggalkan, tapi tak pernah benar-benar hilang dari hatinya.