Ijab qabul yang diucapkan calon suaminya, seketika terhenti saat dirinya pingsan. Pernikahan yang diimpikan, musnah saat dirinya dinyatakan hamil. Terusir, sedih, sepi, merana dan sendirian. Itulah yang dirasakan oleh Safira saat ini.
Dalam keputusasaan yang hampir merenggut nyawanya, Safira dipertemukan dengan sosok malaikat dalam wujud seorang pria paruh baya. Kelahiran anak yang tidak diharapkan, justru membuat kehidupan Safira berubah drastis. Setelah menghilang hampir 6 tahun, Safira beserta sepasang anak kembarnya kembali untuk membalas orang-orang yang telah membuatnya menderita.
Satu per satu, misteri di balik kehamilan dan penderitaan Safira mulai terkuak. Lalu, siapakah ayah dari si kembar jenius buah hati Safira?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restviani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permohonan Sang Ayah
"Ah, akhirnya kamu ingat pulang juga, Ken," tegur Mommy Clara begitu melihat Kenzo berjalan menghampirinya.
Kenzo hanya tersenyum mendengar teguran sang bunda. Tanpa banyak bicara, dia pun memeluk wanita cantik yang telah melahirkannya.
"Ken rindu Mommy," bisik Kenzo di telinga ibunya.
Mommy Clara tersenyum lebar. Dia mengusap-usap punggung anaknya seraya berkata, "I miss you too, Son."
Setelah puas saling mencurahkan kerinduan, Kenzo mengurai pelukan. Dia menatap intens kepada sang ibu. Rasa penasaran tentang nama Alfarizi, menggelitik hati Kenzo. Namun, rasa lelah yang menderanya, membuat Kenzo mengurungkan niatnya untuk bertanya.
"Kamu pasti cape, Ken. Beristirahatlah! Besok kita teruskan lagi cerita bisnis kamu di Malaysia," perintah Mommy Clara yang bisa melihat kelelahan di raut wajah anaknya.
"Iya, Mom," jawab Kenzo.
Setelah berpamitan, Kenzo kemudian menaiki anak tangga menuju kamarnya.
🌷🌷🌷
"Umi mohon, Dam. Jangan mempermalukan keluarga besar kita lagi. Kamu lebih baik bunuh Umi saja daripada mencoreng nama baik keluarga kita lagi," tutur Bu zahra ketika berbicara dengan anak semata wayangnya.
Adam hanya bisa menundukkan kepala mendengar ungkapan kekesalan dari wanita yang telah melahirkannya. Adam memang tidak tahu apa yang Safina ucapkan kepada ibunya. Hanya saja, dari permintaan ibunya, Adam yakin jika percakapan antara dia dan Oma Halimah, pasti sudah sampai ke telinga sang ibu.
"Maafkan Adam, Mi." Hanya itu yang mampu Adam ucapkan untuk saat ini.
"Maaf saja tidak cukup, Adam Djaelani!" bentak Bu Zahra. "Umi tidak butuh maaf kamu. Umi hanya butuh tanggung jawab kamu. Seharusnya kamu bersyukur Fina masih bisa menjaga kesetiaannya meskipun kamu gantung selama 6 tahun. Tidak seperti wanita murahan itu. Baru setahun saja, dia sudah gatal sehingga bisa hamil anak orang!" dengus Bu Zahra yang kembali menguak memori 6 tahun silam.
"Tolong jangan ungkit masa lalu lagi, Mi," pinta Adam lirih.
"Jika kamu tidak ingin Umi mengungkit masa lalu, maka pandanglah masa depan kamu, Dam! Jangan terus tenggelam di kubangan yang sama. Kamu itu laki-laki. Harus berprinsip!" tekan Bu Zahra. "Pokoknya Umi enggak mau tahu. Bulan depan, kamu harus menikah sama Safina. Jika tidak ... anggap saja Umi tidak pernah melahirkan kamu. Paham!" tegas Bu Zahra seraya kembali memegang dada kirinya karena terasa sakit.
"Sudah-sudah, Mi. Sebaiknya Umi istirahat. Umi harus bisa menjaga emosi Umi, supaya tidak anfal lagi," tutur Pak Sanusi yang merasa khawatir dengan kondisi istrinya.
"Umi tidak akan emosi jika anak kita nurut sama kita, Abi," adu Bu Zahra.
"Iya, Abi tahu. Sudah, Umi tiduran lagi, ya. Supaya cepat pulih dan cepat kembali ke rumah. Bukankah Umi harus punya tenaga untuk mempersiapkan pernikahan Adam? Sebulan itu cukup singkat loh, Mi," bujuk Pak Sanusi yang langsung membuat Bu Zahra tersenyum lebar.
Adam hanya bisa pasrah. Jika ayahnya sudah berkata seperti itu, berarti keputusan menikah di bulan depan sudahlah final.
Semoga saja ada keajaiban yang bisa membuat aku hilang ingatan hingga bisa melupakan safira untuk selamanya, batin Adam.
🌷🌷🌷
Merasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh, akhirnya pagi ini Kenzo bangun kesiangan. Sejenak, dia melihat jam beker di atas nakas. Penunjuk waktu berhenti di angka 6 waktu setempat.
"Astaghfirullah, aku belum shalat subuh," gumam Kenzo yang segera beranjak dari tempat tidurnya.
Kenzo memang tinggal di negeri ibunya. Namun, agama yang dianutnya adalah agama sang ayah. Ibunya menjadi mualaf ketika memutuskan untuk menikah dengan ayahnya.
Ketukan di pintu kamar, terdengar di saat Kenzo mengucapkan salam. Kenzo kembali beranjak dari atas sajadah dan mengayunkan langkahnya menuju pintu.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka. Tampak sang ibu telah berdiri dengan berpakaian rapi di depan pintu kamarnya. Kenzo mengernyitkan keningnya ketika ibunya memakai pakaian serba hitam.
"Who has died, Mom?" tanya Kenzo, mengernyit.
"Ish, kamu ini!" tukas Mommy Clara seraya menepuk pelan bahu anaknya. "Apa kamu lupa, sekarang tanggal berapa?" tanyanya.
Dahi Kenzo semakin berkerut saja. Dia mencoba mengingat tanggal berapa hari ini. Namun, ingatan Kenzo masih belum mampu menemukan apa pun.
Mommy Clara semakin kesal melihat tingkah anaknya. "Sudah Mommy peringatkan, jangan terlalu gila kerja! Seperti ini, 'kan jadinya ... huh, pikun sebelum waktunya!" ejek Mommy Clara.
"Ish, Mom. Kalau berkata itu yang baik-baik, apalagi untuk anaknya. Bukankah perkataan itu adalah do'a," cetus Kenzo.
"Iya-iya, Maaf," jawab Mommy Clara. "Sekarang ini tanggal 25 Mei, Ken. Tanggal kematian daddy kamu." Lirih Mommy Clara. Kedua bola matanya sudah berembun setiap mengingat kematian suaminya.
Ah, ya. Hmm, pantas saja dari kemarin Mommy terlihat uring-uringan, batin Kenzo.
"Maaf, Mi. Kenzo lupa," sahut Kenzo seraya menarik pelan sang bunda ke dalam pelukannya.
"It's oke, Honey. Mommy paham jika kamu sibuk," jawab Mommy Clara.
"Baiklah. Kenzo siap-siap dulu ya, Mi. Setelah sarapan kita akan pergi ke makam daddy," lanjut Kenzo.
Mommy Clara melepaskan pelukannya. Dia menatap intens kepada putranya. Sedetik kemudian, hanya anggukan yang menjawab ucapan sang anak.
🌷🌷🌷
Waktu terus berlalu. Penetapan tanggal pernikahan pun sudah di lakukan. Hingga sebulan dari waktu yang telah ditentukan. Akhirnya, Adam sudah tidak bisa mundur lagi.
Kesehatan sang bunda bergantung kepada keputusannya. Tidak mungkin Adam berkata tidak jika itu akan menjadi maut bagi ibunya. Masih terekam jelas dalam ingatan Adam tentang permohonan ayahnya.
"Selama ini kami tidak pernah meminta pamrih atas setiap pengorbanan kami dalam mendidik dan membesarkan kamu, Nak. Abi tahu, terkesan egois jika Abi mengambil hak atas masa depan kamu. Namun, kamu juga harus tahu jika Abi tidak akan pernah sanggup kehilangan umi kamu dengan cara seperti ini," tutur Pak Sanusi.
Brugh!
Tiba-tiba, Pak Sanusi menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan anaknya.
"Abi mohon, tolong penuhi permintaan umi, Nak. Berlutut atau bahkan mencium kaki kamu, bila perlu akan Abi lakukan untuk kebahagiaan istri Abi," ungkap Pak Sanusi seraya mengatupkan kedua tangannya.
Adam tak sanggup berkata apa-apa lagi. Sungguh, rasanya sangat menyakitkan melihat ayah yang sudah berjuang demi kehidupannya, kini tengah memohon sembari berlutut.
"Bangunlah, Abi. Adam janji, Adam akan memenuhi bakti Adam kepada kalian." Lirih Adam.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka. Adam sontak menoleh, tampak kedua orang tuanya memasuki kamar Adam.
Bu Zahra yang tengah duduk di kursi roda, terlihat berkaca-kaca melihat penampilan Adam yang begitu tampan mengenakan beskap.
"Tampan sekali putranya Umi," puji Bu Zahra.
Adam hanya tersenyum mendengar pujian ibunya.
"Apa kamu sudah siap, Nak?" tanya Pak Sanusi.
"Insya Allah siap, Abi," sahut Adam.
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang saja. Sebelum jalanannya macet," usul Bu Zahra.
Adam dan Pak Sanusi pun mengangguk.