The Most Beautiful Revenge

"Saat itu aku melakukan kesepakatan dengan Duke Giberlin, aku memperlihatkan batu sihir milik ku yang tidak hancur." Ungkap Arga dengan senyuman di bibirnya.

"Hmm, saat ini beliau juga mengabdi dengan sangat luar biasa. Apa sebenarnya yang membuat dia ingin memberontak?" Serena berfikir panjang.

"Duke melakukan itu karena merasa tidak adanya keadilan di dalam pemerintahan, dia menginginkan pemerintahan yang adil dan tak hanya melihat pada para bangsawan." Serena akhirnya mengangguk faham.

Arga tersenyum, akhirnya tujuannya untuk mengalihkan fikiran Serena berhasil. Meski berat namun Serena adalah sosok yang tangguh yang tidak akan menyerah dengan hal itu.

3 tahun kemudian, di pelosok tempat yang jauh dari keramaian. Sosok bocah berambut perak nampak berlari di atas salju dengan pakaiannya yang sedehana.

"Clia! Hati-hati jangan terlalu jauh!" Sosok wanita berteriak dari sebuah menara yang menjulang.

"Kakak, aku bisa membuat wajah Kakak di sini." Ucap Clia dengan senyumnya yang manis.

Matanya yang bulat berwarna biru serta wajahnya yang manis dengan pipi memerah akibat hawa dingin, justru berbaur menjadi sebuah keindahan dengan rambut peraknya yang seolah menyatu dengan salju.

"Feet, menggemaskan sekali dia." Ucap Pemimpin menara sihir saat memperhatikan Clia bermain dengan salju.

Aura sihir tiba-tiba menyebar dari kedua tangannya hingga salju di sekitarnya berkumpul, aliran api nampak melelehkan salju tersebut saat tangan kanan Clia di gerakkan.

Salju berubah mencair namun tak lama kemudian kembali membeku dan membentuk lukisan indah. Namun dalam sekejap mata lukisan itu menghilang.

"Dia kembali melukis wajah kedua orang tuanya, luar biasa sekali Clia." Ucap salah seorang Penyihir yang menjaganya dari jarak aman.

"Clia memang memiliki aura sihir yang luar biasa, aku yang sudah seperti ini saja tidak ada apa-apanya di hadapan Clia." Ungkap salah seorang Penyihir senior.

"Senior terlalu merendah, Clia juga masih kecil dengan masa depan tak terbatas. Mungkin dia akan menjadi harapan saat para monster dan iblis muncul ke dunia manusia." Ucap lagi orang di sebelahnya.

"Benar, ramalan itu agaknya tidak meleset dari sasaran. Aku bahkan sempat mendapat kabar bila ada sebuah retakan di daerah Sahara bila terjadinya kekacauan akibat monster yang muncul dari bawah tanah.

"B-benarkah? Apa itu kabar yang sungguh-sungguh?" Penyihir itu nampak ketakutan.

Beberapa puluh tahun silam, setelah Raja Iblis berhasil di segel oleh para Dewa di Underworld para Iblis tak lagi dapat menginjakkan kaki mereka di tanah para manusia.

Namun dengan berjalannya waktu, para Iblis akhirnya mencari cara untuk membangkitkan kembali kekuasaan para Iblis. Sayang, mereka selalu gagal dan akan terbakar saat matahari mengenai kulit mereka.

Di hutan kegelapan yang di beri nama Sahara, atau Neraka para pemberontak di mana tempat itu adalah tempat buangan bari para buronan akhirnya muncul retakan besar. Retakan itu bahkan sampai membuat banyak iblis mampu keluar dan kembali menginjakkan kaki mereka di tanah manusia.

.

.

.

"Bagaimana perkembangan penelusuran kita mengenai Underworld?" Tanya Pemimpin menara sihir saat melihat beberapa penyihir yang masih mencari jejak Pangeran Cloaus tengah memeriksa sebuah data dalam lingkaran sihir.

"Saya belum menemukan jejaknya, tapi saya dapat memastikan bila Pangeran saat ini berada di Underworld." Ucapnya penyihir itu, matanya tertutup kain putih namun dia agaknya tidak buta.

"Begitu rupanya, bila dia berada di tangan Raja Iblis maka dia berada dalam keselamatan. Raja Iblis tak mungkin melakukan hal gegabah dan menghancurkan jiwanya sendiri dan hilang dari dunia." Ucap Pemimpin menara sihir.

"Namun anda juga mengorbankan aura keabadian anda untuk menyegel jiwa tersebut," Penyihir itu menggelengkan kepalanya mengingat pengorbanan dari Pemimpin menara sihir.

"Keabadian yang di berikan dewa, itu adalah berkat yang harus di gunakan demi kebaikan manusia. Apa gunanya menjadi manusia abadi bila tersiksa dan melihat ribuan manusia mati, baru akan aku membiarkan bendera perang terus berkibar?" Pemimpin menara sihir memang muak dengn sikap manusia yang serakah, namun mereka juga bukan dewa yang di penuhi kesucian.

"Pemimpin bahaya! Clia mengalami ledakan sihir!" Teriak penjaga Clia yang berlari dengan sangat cepat.

"Apa?" Pemimpin menara sihir langsung berlari menuju ke luar jendela dan melayang hingga langsung memeluk Clia dan menenangkannya.

"Tidak apa-apa sayang, Kakak ada di sini. Kakak pasti akan melindungi Clia dan seluruh orang yang ada." Pemimpin menara sihir mengalirkan auranya dan membalut tubuh Clia hingga dia akhirnya tenang dan tak sadarkan diri.

"Kenapa kejadian seperti ini sering terjadi?" Tanya seorang Penyihir, Pemimpin menara sihir dapat melihat adanya tanda kehidupan lain dalam tubuh Clia.

"Aku rasa dia mengalami ledakan saat pasangan hidupnya mengalami ledakan energi yang luar biasa," Ucap Pemimpin menara sihir.

"Maksud anda calon suaminya?" Tanya seorang Penyihir menganggap bila yang di maksud Pemimpin menara sihir adalah pasangan cinta.

"Dasar bodoh! Yang aku maksud adalah pasangan hidup bukan cinta bodoh! Pasangannya itu adalah saudara kembarnya!" Pemimpin menara sihir kesal di buatnya, ah mungkin karena usianya yang masih 6 tahun sehingga dia mengeluarkan kata-kata yang tidak selayaknya di ucapkan sebagai seorang pemimpin.

"Hahah, maafkan saya Pemimpin." Penyihir itu menunduk, dia sendiri takjub dengan kemampuan Pemimpin sihir dan dapat memaklumi sifat kerasnya karena usianya yang belia.

"Bawa Clia ke kamarnya, aku akan memberikan perawatan langsung kepadanya." Pemimpin menara sihir menyerahkan tubuh Clia pada pengasuhnya, dia juga ikut berjalan di belakang.

Berbeda dengan tempat di mana para penyihir berada, di sebuah daerah yang hanya di penuhi oleh api seorang bocah berusia tiga tahun menatap langit berwarna merah.

Tidak nampak seperti langit, karena tak ada awan ataupun cahaya di sana. Warna kemerahan itu adalah pantulan dari magma yang terus menerus keluar, namun baginya di atas yang berwarna kemerahan itu langit karena dia tak pernah melihat langit sesungguhnya.

"Apakah aku juga bisa pergi ke atas?" Bisiknya pelan, dia mengigit bibir bawahnya saat dadanya terasa sesak.

"Hiks, hiks, kenapa aku selalu mengeluarkan benda ini saat aku sesak." Bocah itu mengusap air matanya, ledakan kekuatan di dalam dadanya dia tahan sebisa mungkin.

Dia juga tak memperlihatkan rasa sakit saat berhadapan dengan para mahluk di hadapannya, di dunia tersebut memang ada yang menyerupai dirinya. Namun kebanyakan dari mereka memiliki bentuk yang mengerikan.

Entah mengapa selama dia hidup, dia seolah terjerat dalam pilu. Tak ada rasa percaya, melihat begitu banyak makhluk yang di cambuk dan di siksa sudah menjadi pemandangan biasa baginya.

Siksaan itu tak seberapa baginya, karena dia sering merasakan merasakan akan adanya kematian di setiap harinya yang dia lewati.