Istri Pilihan Mama

Keesokan pagi.

Arga telah siap berangkat ke kantor, dengan tas laptop, jas hitam. Aroma tubuh yang wangi maskulin serta jambang yang tipis dan rapi.

Seperti biasa dia akan langsung menuju ke meja makan. Dia berfikir, setelah kejadian semalam, Laras pasti enggan memasak dan menyiapkan makanan untuknya lagi.

Karena wanita mana yang punya kebesaran hati untuk membuat masakan untuk suami kejam yang telah menghina, menyakiti lahir batin. Bahkan baru saja semalam dia kembali menggores luka di hati istrinya dengan sengaja membuka paksa baju dan nyaris melecehkannya.

Tetapi di luar dugaan, ternyata di atas meja telah terhidang teh hangat, spaghetti, air putih serta buah anggur segar, karena pria kaya itu wajib memakan buah anggur tiga kali sehari.

Kemarin saat belanja di warung sayur, Laras melihat ada mini market tidak jauh dari warung sayur.

Dia berinisiatif membeli stok untuk sarapan Arga. Dia pun memutuskan untuk membeli spaghetti dan pasta masing-masing satu bungkus, tidak lupa dia juga

membeli paprika sebagai pelengkap spaghetti.

Laras banyak belajar memasak saat masih bersama Tina, mereka sering membantu sekaligus belajar memasak di rumah teman-teman bahkan kerabat Tina yang sering mengajak mereka ke acara arisan, pernikahan dan acara-acara hajatan lainnya.

Arga masih terheran-heran dengan perilaku Laras yang masih bisa bersikap baik dan melaksanakan kewajibannya sebagai istri untuk mengurus dirinya yang telah menanam kebencian sebegitu besarnya tanpa tahu, apa kesalahan dari wanita itu.

Patut dijadikan teladan, bagaimana Laras bersikap terhadap suaminya. Baik dalam hal mengurus makanan, pakaian atau kepatuhan terhadap perintah suami.

Walau sudah disakiti namun dia tetap bersedia menyiapkan dan bersusah payah dari pagi memasakkan sarapan untuk suami.

Pria itu duduk di kursi. Laras juga bergegas mengambil piring, mewadahi satu centong penuh spaghetti ke dalam piring. Kemudian menaruh cangkir teh lebih dekat ke sisi kiri Arga.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Laras. Dia tetap melakukan pekerjaannya dan mengurus segala sesuatu keperluan Arga tetapi mulutnya terkunci rapat. Diam seribu kata. Terbungkam seolah tidak ada celah untuk suara meluncur dari mulutnya.

Dia juga tidak berniat terlalu banyak bicara dengan pria sombong itu jika tidak untuk sesuatu yang penting. Perbuatan Arga semalam cukup membuat luka yang teramat dalam di hatinya.

Jika hari kemarin, Laras tidak berbicara dengan Arga karena dia merasa takut dengan kebengisan Arga, namun berbeda dengan hari ini. Dia bukannya takut tetapi karena rasa sakit hati yang mendalam atas perbuatan Arga semalam, membuat wanita itu semakin enggan berbicara dengan suaminya itu.

Arga menjadi terenyuh melihat semua pelayanan yang diberikan Laras. Begitu telaten. Sikapnya yang tetap terlihat baik-baik saja meski Arga tahu, jauh di lubuk hati wanita itu menyimpan luka yang mendalam atas perbuatannya beberapa hari ini.

"Sikapnya yang lemah lembut dan baik ini, apa benar sifat aslinya,? Atau hanya berpura-pura di depanku untuk mengambil simpatiku agar aku bisa mengucurkan uang yang banyak untuknya?", kecurigaan Arga muncul kembali di dalam hati yang tidak beralaskan.

Seperti biasa, Laras duduk di lantai menunggui Arga sampai selesai makan. Seperti biasa pula dia akan menunduk memandangi jari-jarinya sambil terus memikirkan nasib rumah tangganya ke depan akan seperti apa.

Lagi dan lagi Arga memuji cita rasa masakan Laras. Spaghetti itu tidak kalah enaknya dengan restoran-restoran mewah yang sering dia kunjungi.

Entahlah, mengapa setiap tangan Laras memasakkan sesuatu untuknya, lidahnya secara otomatis merasa cocok dengan masakan wanita itu. Dia tidak pernah merasakan terlalu asin, terlalu pedas, atau pun terlalu manis. Semua terasa pas.

Dia menoleh ke arah Laras yang masih duduk diam seraya memegangi jemarinya.

Kali ini Arga tidak melakukan sesuatu pada Laras. Kejadian semalam sedikit membuatnya tersadar, jika perbuatan brutalnya harus lebih diredam.

Bukan hanya karena dia merasa sudah terlalu menginjak-injak martabat Laras sebagai perempuan, tetapi hal yang lebih besar adalah lebih ke rasa takutnya kepada mamanya, jika sampai Laras mengadu, maka habislah dia.

Akan dibuang sebagai anak dan pernikahan yang dia harapkan bersama gadis pujaannya pasti akan mengalami kendala yang lebih berat, akan semakin mendapat tentangan dari sang mama.

Tidak ada perkataan yang meluncur, baik dari mulut Arga apalagi dari mulut Laras. Mereka saling diam.

Sampai Laras membuka pagar, dan Arga melajukan mobil meninggalkan rumah, sepasang suami istri itu tetap saling berdiam diri.

...*******...