SEGERA TERBIT CETAK
"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".
***
Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.
Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.
Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.
Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. A Brave Boy
A Brave Boy
(Seorang anak yang pemberani)
***
Jakarta
Pocut
"Bu Cut ... ini dengan Reni, walikelas Risyad," begitu kalimat pertama yang terdengar. Saat ia melakukan panggilan ke nomor yang tertera di layar ponsel.
"Ibu bisa datang ke kantor Polres ...." Bu Reni kemudian menyebutkan satu alamat dengan sangat lengkap dan jelas.
"Sekarang saya bersama Pak Bintar sedang mendampingi Kioda dan Bonifatius di Rumah Sakit. Menunggu orangtua mereka datang. Jadi, kami tak bisa menjemput Risyad ...."
Dengan gugup dan tangan gemetaran, ia segera menyelesaikan surat tentang pelaksanaan family gathering.
Langkahnya seolah melayang di udara dan tak menjejak lantai saat tergopoh-gopoh mendatangi ruangan Pak Raka untuk meminta tanda tangan.
"Di sini, Pak," ujarnya sambil menunjukkan tempat di mana Pak Raka harus membubuhkan tanda tangan.
"Iya," seru Pak Raka yang sedang berbicara melalui sambungan ponsel. "Yang kita jual itu good product, good place, good service."
"Di sini?" Pak Raka mengerling ke arahnya.
Ia mengangguk sembari menelan ludah berkali-kali. Terngiang-ngiang akan kalimat yang diucapkan oleh Bu Reni.
"Risyad dan teman-temannya tertangkap sedang tawuran di Slipi."
Astaghfirullahal'adzim, Icad .... batinnya lunglai. Perasaannya campur aduk tak karuan. Antara kaget, sedih, kecewa, khawatir, takut, dan perasaan negatif lainnya yang menggumpal menyesaki dada.
"Hahahaha!" Pak Raka tertawa di depan ponsel. "You know me too well (kamu tahu aku banget). Yes, kami sedang berusaha menjadi perusahaan terbaik yang paling diminati."
"Tingkat pengembalian investasi yang baik jelas menjadi prioritas utama kami."
Ia masih berdiri mematung meski Pak Raka telah menyelesaikan tanda tangannya.
"Hold a minute (tunggu sebentar)," ujar Pak Raka sambil menempelkan ponsel di depan dada.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya Pak Raka seraya tersenyum ke arahnya.
Ia menelan ludah terlebih dahulu sebelum menjawab, "S-saya pamit pulang dulu, Pak. Nggak bisa menunggu sampai Bapak selesai."
Pak Raka mengangguk sembari mengacungkan jempol, "Kerja bagus hari ini, Cut. Sampai ketemu besok pagi."
"Hati-hati di jalan ya!" seruan Pak Raka masih sempat terdengar. Ketika ia sedang berusaha keras membuka pintu ruang direksi, yang tiba-tiba terasa berat dan sulit untuk digerakkan.
Begitu berhasil, ia langsung melesat kembali ke ruang administrasi keuangan. Mematikan komputer, merapikan meja dengan sekenanya, lalu menyambar tas dan turun ke bawah.
"Pak Hadi di mana, Bang?" tanyanya pada Bang Togar, sekuriti kantor yang sedang duduk-duduk di dekat tempat parkir.
"Oh, lagi ke Kemang ambil barangnya Bu Iren," jawab Bang Togar. "Sudah mau pulang, Bu?"
Ia mengangguk gugup, "Nanti tolong bilangin ke Pak Hadi, hari ini saya pulang sendiri."
"Nggak nunggu aja, Bu? Sebentar lagi juga datang orangnya."
Ia menggeleng dan bertambah gugup, "Enggak, Bang. Saya lagi ada perlu."
"Nanti saya kirim pesan juga ke Pak Hadi. Biar nggak nyariin," sambungnya sebelum melangkah pergi.
Dari Selera Persada, ia segera memesan ojek online menuju ke alamat kantor polisi yang tadi disebutkan oleh Bu Reni.
Begitu turun di halaman kantor bercat dominan warna cokelat itu, ia langsung mendapati kerumunan para orangtua di depan pintu masuk.
Sebagian sedang bercakap-cakap dengan sejumlah petugas kepolisian. Sebagian lain ada yang berbicara di ponsel, menandatangani absensi, bahkan menangis tersedu-sedu.
"Jadi anak saya di mana, Pak? Tadi di telepon katanya di kantor polisi. Saya sudah sampai ke sini, tapi kata Bapak yang di sana tadi ... nggak ada nama anak saya. Ini mana yang bener?" keluh seorang ibu berusia paruh baya dengan air mata berlinang.
"Anak ibu namanya siapa? Kalau nggak ada di daftar berarti di rumah sakit," jawab seorang petugas yang membawa kertas berisi daftar nama.
Dengan hati dikuat-kuatkan, ia mencoba menyeruak di antara para orangtua, yang tengah dilanda cemas akan nasib buah hatinya.
"Ada yang bisa dibantu, Bu?" tanya seorang petugas, mungkin karena melihatnya kebingungan.
"S-saya mau menjemput anak saya," jawabnya dengan suara gemetaran.
"Nama?"
Ia menelan ludah berkali-kali sebelum memberanikan diri menyebutkan nama lengkap Icad.
***
Icad
Ia hampir menangis melihat wajah Kioda yang pucat pasi.
Sementara tak jauh dari tempat mereka tergeletak, suara raungan sirine terdengar semakin keras. Disusul turunnya sejumlah petugas Kepolisian dari dalam mobil patroli. Mengejar anak-anak yang berusaha melarikan diri.
Ia ingin berteriak tapi tak bisa. Suaranya seolah tercekat di tenggorokan. Tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Saat itulah telinganya sayup-sayup mendengar suara rengekan di kejauhan.
"Boni sakit ... Boni sakit ... Boni sakit ...."
"Boni diam ... Boni diam ... Boni diam ...."
Ia segera menengok ke arah suara. Matanya mendapati Ko Rafa tengah berjongkok sambil menangis tersedu-sedu. Wajah Ko Rafa terlihat babak belur, sama seperti dirinya.
"Boni bangun ... Boni bangun ... Boni bangun ...." Kini Ko Rafa terlihat mengguncang-guncangkan tubuh seseorang.
Dan itu adalah Boni.
Sedang meringis kesakitan memegangi lengannya yang terluka.
---------
Mereka digelandang turun dari dalam mobil patroli. Berjalan jongkok dengan tangan di atas kepala. Kemudian berbaris di halaman kantor polisi.
"Push up!" perintah seorang petugas pada mereka semua.
"Jangan berhenti sebelum saya suruh!" sambung petugas tersebut sambil berjalan mengelilingi barisan.
"Boni di mana ... Boni di mana ... Boni di mana ...." rengekan Ko Rafa kembali terdengar.
"Sssttt!" desisnya meminta Ko Rafa agar diam.
"Hei, kamu yang di sana! Kenapa nggak push up!" bentak petugas dengan suara menggelegar.
Ko Rafa langsung menggeleng berkali-kali, sambil menutupi telinga dengan kedua telapak tangan.
"Dia berkebutuhan khusus, Pak," jawabnya berusaha memberanikan diri. Di antara deru napas memburu sebab sedang melakukan push up.
"Ini teman kamu?" bentak petugas lagi.
Ia mengangguk.
Sementara Ko Rafa masih menutupi kedua telinga erat-erat sembari terus bergumam, "Tidak boleh teriak ... tidak boleh teriak ... tidak boleh teriak ...."
"Mau jadi apa kamu! ABK diajak tawuran!" gerutu petugas sambil berlalu. Membiarkan Ko Rafa tetap berjongkok, tak harus melakukan push up seperti yang lain.
Usai push up, mereka diminta untuk melepas baju. Disusul beberapa orang petugas yang datang menghampiri.
"Nama?" tanya seorang petugas dengan mata menyelidik.
Dalam waktu singkat, otaknya harus berputar keras mencari solusi. Ia tentu tak ingin membuat Mama bersedih dan khawatir dengan apa yang sedang menimpanya saat ini. Membuatnya nekat memutuskan, untuk memberikan nomor ponsel Bu Reni, walikelasnya. Daripada harus memberikan nomor telepon Mama.
Mama nggak boleh tahu, batinnya antara sedih dan menyesal.
"Rafa takut ... Rafa mau pulang ...." gumam Ko Rafa sambil memegangi lengannya erat-erat.
"Rafa mau pulang ... harus ganti celana ...."
Ia mendesis, "Sssttt!" sembari memeragakan gerakan mengunci mulut, seperti yang dilakukan oleh Boni ketika di bus tadi.
Ko Rafa manggut-manggut. Mengikuti gerakannya mengunci mulut dengan patuh.
Tapi tak lama berselang, Ko Rafa kembali merengek-rengek, "Rafa harus ganti celana ... Rafa harus ganti celana ...."
Ia menggerutu tak percaya. Tapi tak sampai terucap.
Sementara di depan, sejumlah petugas yang mengenakan kemeja bertuliskan Jatanras (pasukan anti kejahatan dan tindak kekerasan) di bagian punggung, mulai menggelar puluhan senjata tajam hasil sitaan. Senjata yang digunakan untuk tawuran itu disimpan berjejer di atas lantai.
"Selamat sore adik-adik!" seru seorang petugas.
Dan selama petugas di depan memberikan pengarahan, Ko Rafa terus menerus memeluk lengannya sambil bergumam-gumam.
"Mau pulang ... Rafa mau pulang ... Rafa mau pulang ...."
Usai pengarahan singkat, tentang mengapa mereka ditangkap dan harus menunggu di kantor polisi. Tiga orang petugas mulai menghampiri dan menggunduli mereka satu persatu.
Ia masih menunggu giliran untuk digunduli, ketika sebuah mobil berwarna hitam yang terlihat sangat keren, melaju pelan memasuki halaman kantor polisi. Disusul turunnya seorang berseragam cokelat dari pintu penumpang.
Matanya langsung menyipit memperhatikan sosok yang baru turun tersebut. Seperti seseorang yang dikenalnya. Seseorang yang pernah ditemuinya.
Tapi belum juga berhasil memastikan siapa orang tersebut. Apakah memang sosok yang dikenalnya atau bukan. Ko Rafa kembali merengek-rengek sambil menarik-narik lengannya.
"Sudah malam ... sudah malam ... Rafa harus pulang ...."
Ia mengendikkan bahu agar terlepas dari cengkeraman Ko Rafa. Namun Ko Rafa justru semakin mencengkeram lengannya.
"Jangan berisik!" gerutunya kesal. "Nanti Boni marah!"
Ko Rafa menggelengkan kepala keras-keras, "Boni nggak boleh marah ... Boni nggak boleh marah ...."
"Makanya diem!" gerutunya lagi. Berusaha mendorong tubuh Ko Rafa agar sedikit berjarak dengannya.
"Nanti ditembak polisi!" ancamnya sudah kehilangan akal. "Duduk di sana!"
Dengan wajah mengerut Ko Rafa mengikuti perintahnya. Duduk menjauh sambil menundukkan kepala dalam-dalam.
Begitu juga dirinya. Tertunduk memandangi aspal kasar yang menjadi alas duduk. Memperhatikan beberapa bongkah kerikil tajam yang menyembul. Namun yang terbayang justru wajah Mama.
"Siapa yang namanya Teuku Risyad Ishak?" seru seorang petugas. Saat tersisa satu antrean lagi, tiba gilirannya untuk digundul.
"Teuku Risyad Ishak?" ulang petugas yang menggunduli seraya mengedarkan pandangan.
Ia mengangkat tangan dengan takut-takut.
"Ikut saya!" petugas yang memanggil menatapnya tajam.
Ia pun berusaha bangkit meski harus perlahan. Sebab kakinya terasa kebas dan kesemutan. Akibat terlalu lama duduk usai push up sebanyak 30 kali.
Tapi Ko Rafa langsung menggelayuti lengannya sambil merengek-rengek, "Icad ... Icad ... Icad ...."
Ko Rafa memang sudah mengenal baik dirinya dan Kioda. Sebab mereka berdua pernah beberapa kali bertandang ke rumah Boni. Ko Rafa bahkan bisa mengingat dengan baik nama panggilannya.
Petugas yang memanggilnya mengerutkan dahi melihat tingkah Ko Rafa, "Siapa dia?"
"T-teman, Pak," jawabnya takut-takut.
"Ikut sama Icad ... ikut sama Icad ... ikut sama Icad ...."
Petugas itu masih mengerutkan dahi. Lalu berkata dengan lantang, "Ajak temanmu ikut!"
Ketika anak-anak lain berjalan jongkok dengan kepala pelontos dan tangan terangkat di atas kepala. Ia dan Ko Rafa berjalan biasa mengikuti langkah petugas yang tadi memanggilnya.
Namun mendadak hatinya dicekam oleh ketakutan yang teramat sangat. Bahkan lebih takut dibandingkan saat melihat seragam Kioda yang berwarna merah darah.
Dan sejumlah pertanyaan buruk pun mulai bermunculan lalu berputar mengelilingi kepalanya.
Apa mereka akan dibawa ke penjara?
Apa mereka akan disiksa?
Apa mereka akan dipukuli?
Kapan kira-kira Bu Reni bisa datang menjemputnya?
----------
Ternyata petugas membawa mereka memasuki sepasang pintu yang terbuat dari kaca berwarna hitam, bertuliskan Ruang Kerja Kapolres di bagian atasnya.
Di mana mereka langsung disambut oleh udara sejuk AC. Dan seperangkat sofa berwarna cokelat yang terlihat empuk dan nyaman.
"Duduk!" perintah petugas seraya menunjuk ke arah sofa.
Tapi ia mengernyit, "Teman saya habis mengompol, Pak. Nanti sofanya kotor."
Selama petugas mencari celana ganti, ia dan Ko Rafa berdiri menunggu tanpa berani menyentuh apapun.
Kini, usai Ko Rafa berganti memakai celana training pemberian dari petugas. Mereka telah duduk manis di atas sofa yang memang terasa sangat empuk.
"Pak Kapolres masih rapat," terang petugas yang di badge namanya tertulis Devano. "Kalian tunggu di sini."
"Makan dulu," sambung petugas sambil menunjuk pada dua box bertuliskan restoran siap saji dan dua botol air mineral, yang tersimpan di atas meja.
"Asyik makan ... asyik makan ... asyik makan ...." Ko Rafa melonjak-lonjak kegirangan di atas kursi.
"Icad makan ... Icad makan ... Icad makan ...."
Ko Rafa langsung meraih box makanan. Lalu menyimpannya di atas pangkuan.
"Tuhan terima kasih ... Tuhan terima kasih ... Tuhan terima kasih ...." gumam Ko Rafa sambil memejamkan mata dan mengaitkan kedua telapak tangan dengan khusyu.
Sementara ia memilih untuk memperhatikan keseluruhan ruangan. Dengan hati yang semakin bertanya-tanya,
Mengapa mereka dibawa ke ruang kerja Kapolres?
Apakah Kapolres sendiri yang akan menghukum mereka berdua?
Atau Bu Reni yang akan menjemput mereka di ruangan ini?
Dan ia sangat berharap, semoga pertanyaan terakhir yang akan menjadi kenyataan.
"Enyak ... enyak ... enyak ...." Ko Rafa terkekeh-kekeh dengan riangnya. Sambil memasukkan nasi dan potongan ayam berukuran besar ke dalam mulut.
Diedarkannya pandangan ke setiap sudut ruangan. Selain sofa empuk yang sedang mereka duduki. Terdapat seperangkat meja dan kursi kerja berwarna hitam, yang terlihat tak kalah empuk dan nyaman.
Juga seperangkat komputer berlogo buah tergigit yang sangat canggih, mesin printer, setumpuk berkas.
Kemudian di belakang kursi kerja terdapat satu set lemari berdesain khusus. Di mana di dalamnya terdapat sejumlah piala dan plakat yang lumayan banyak. Berjejer dengan rapi.
Lalu bendera merah putih, bendera kepolisian berwarna cokelat, foto presiden dan wakil presiden, foto pejabat kepolisian tertinggi, dan foto terakhir yang ....
"Icad makan ... Icad makan ... Icad makan ...." Ko Rafa makin cengengesan dengan mulut dipenuhi butiran nasi yang menempel hingga pipi.
Tapi foto terakhir yang dilihat, berhasil membuat nafsu makannya hilang dalam sekejap.
***
Tama
Ia tak bisa langsung mendekat dan membantu Icad. Sebab masih harus memberi pengarahan dalam rapat terbatas dengan jajaran Kabag dan Kanit.
"Pegang anak ini," perintahnya pada Devano, sambil melingkari no. 27 dengan spidol. "Paham maksud saya?"
"Paham, Pak," Devano mengangguk mengerti.
"Sama ... minta laporan tentang tawuran ini. Langsung tembuskan ke saya!"
"Siap, Pak."
Di tengah rapat terbatas, Devano menghampirinya.
"Ada empat orang. Dua di rumah sakit. Mereka berasal dari sekolah yang berbeda dengan sebagian besar pelaku," bisik Devano.
Ia mengangguk.
"Dan nomor telepon yang tercantum, adalah nomor telepon walikelasnya. Bukan orangtuanya."
Ia mengembuskan napas panjang, "Makasih, Van."
Usai memberi pengarahan, ia bergegas keluar hendak menuju ke ruangannya. Sudah tak sabar ingin mengetahui alasan Icad, tentang mengapa memilih mencantumkan nomor telepon walikelas daripada orangtuanya.
Tapi di pertengahan koridor langkahnya terhenti. Ketika tak sengaja menangkap bayangan sosok familiar di antara sejumlah orang, yang sedang berjalan memasuki ruang rapat.
Dengan kening mengerut, ia segera mengalihkan tujuan. Membelokkan langkah menuju ke ruang rapat. Tempat di mana pengarahan terhadap orangtua pelajar yang terlibat tawuran akan berlangsung.
Dan dari balik pintu ruang rapat, dilihatnya Pocut mengambil duduk di kursi paling belakang.
Dipandanginya Pocut sambil memijat kening.
Selama itu pula, setiap anggota yang lalu lalang mengangguk ke arahnya.
"Pak?"
Namun ketika Ahadian, Kanit Jatanras mulai berbicara di depan para orangtua. Ia memutuskan untuk beranjak menuju ke ruang kerjanya.
"Sudah makan?" sapanya begitu membuka pintu. Pada dua anak laki-laki yang sedang duduk di sofa.
Seorang anak laki-laki berusia cukup dewasa dengan karakteristik wajah berkebutuhan khusus. Dan seorang anak laki-laki berwajah lebam yang menundukkan kepala dalam-dalam. Icad.
"Sudah makan ... sudah makan ... sudah makan ...." jawab anak tersebut sambil melonjak-lonjak kegirangan di atas kursi.
Ia tersenyum.
Sementara Icad, dengan isyarat mata meminta anak tersebut agar tak melonjak-lonjak di atas kursi.
"Terima kasih ... terima kasih ... terima kasih ...." Tapi anak tersebut justru semakin melonjak-lonjak kegirangan.
"Berisik, Ko!" sungut Icad sambil memelototi anak yang melonjak-lonjak.
Ia kembali tersenyum sembari mengembuskan napas panjang.
Sementara anak yang dipelototi Icad mulai asyik dengan dunianya sendiri. Memandangi kesepuluh jemari miliknya sendiri sambil berhitung dan bergumam.
"Boni ... Icad ... Kioda ... Koko ...." Lalu terkikik sendiri.
"Koko ... Boni ... Icad ... Kioda ...." Anak tersebut kembali bergumam-gumam.
"Gimana ceritanya bisa ikut tawuran?" tanyanya ingin tahu. Mengalihkan perhatian dari anak yang asyik berhitung dan bergumam sendiri.
Tapi Icad diam seribu bahasa. Sama sekali tak menjawab pertanyaannya. Kepala Icad bahkan makin tertunduk dalam-dalam.
"Sekarang kita sedang dalam proses penyidikan," gumamnya antara serius, tapi juga ingin tertawa demi melihat ekspresi wajah tegang yang ditampakkan oleh Icad.
"Kalau kamu diam nggak mau jawab, bisa dianggap melawan petugas," terangnya sambil terus menatap Icad yang masih saja tertunduk.
"Salah sasaran," jawab Icad dengan suara yang hampir tak terdengar.
Ia tersenyum sambil menggelengkan kepala, melihat keteguhan hati Icad yang tak mau melihat ke arahnya.
A brave boy (seorang anak yang pemberani).
"Ada lagi yang mau disampaikan?" tanyanya mengetes keberanian Icad.
Saat itulah Icad mengangkat kepala. Membuatnya bisa melihat luka lebam di wajah anak SMP itu dengan lebih jelas.
"Saya minta tolong sama Om," jawab Icad dengan suara tegas.
"Apa?"
"Jangan bilang Mama kalau saya ada di sini."
***
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭