Penasaran dengan cerita nya lansung aja yuk kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26: Mahakarya di Palais de Tokyo
Malam di Palais de Tokyo terasa magis sekaligus mencekam. Gedung seni kontemporer paling prestisius di Paris itu kini dipenuhi oleh aroma parfum mahal, denting gelas sampanye, dan bisik-bisik tajam para kritikus mode dunia. Arini berdiri di balik panggung, tangannya yang biasanya stabil kini terasa dingin. Di depannya, sepuluh manekin mengenakan koleksi "The Sovereign Thread"—puncak dari segala rasa sakit, pengkhianatan, dan kebangkitannya.
"Kau siap, Arini?" Damar muncul dari balik tirai, mengenakan setelan tuksedo hitam yang elegan. Ia menggenggam tangan Arini, menyalurkan kehangatan di tengah ketegangan yang memuncak.
"Aku tidak pernah mengira benang-benang khianat itu akan membawaku sampai ke sini, Damar," bisik Arini. "Aku takut jika sorot lampu ini padam, aku hanya akan kembali menjadi wanita yang hancur."
Damar menggeleng tegas. Ia menyentuh kancing emas bunga bakung yang kini tersemat di kerah mantel Arini. "Lampu itu tidak menciptakan kekuatanmu, Arini. Lampu itu hanya menunjukkannya pada dunia. Kau sudah utuh sebelum kau menginjakkan kaki di Paris."
Musik mulai mengalun—sebuah komposisi cello yang dalam dan menyayat, namun memiliki ketukan drum yang kuat di latar belakang, melambangkan detak jantung yang menolak untuk berhenti. Satu per satu, model mulai melangkah keluar.
Gaun pertama, "Robeknya Kepercayaan", melintas di atas catwalk dengan dramatis. Kain sutra putih yang sengaja dibuat berlubang-lubang artistik, disatukan kembali dengan lilitan benang emas yang membentuk pola sayap. Para penonton terdiam. Mereka tidak melihat sekadar pakaian; mereka melihat sebuah narasi tentang jiwa yang dipaksa untuk pulih.
Di barisan terdepan, Helena Vance duduk dengan wajah tanpa ekspresi, namun matanya tidak sedetik pun lepas dari setiap jahitan yang lewat. Kritikus dari The New York Times sibuk mencatat, wajah mereka yang biasanya sinis kini tampak penuh rasa ingin tahu.
Saat model terakhir keluar mengenakan gaun merah marun dengan aksen kancing emas bunga bakung, seluruh ruangan seolah menahan napas. Gaun itu tampak seperti api yang tenang, melambangkan kebebasan murni. Arini melangkah keluar ke panggung untuk melakukan final bow.
Kilatan lampu kamera membutakan matanya sejenak. Namun, di tengah kerumunan itu, Arini melihat sesuatu yang membuatnya terpaku. Di barisan belakang, berdiri seorang pria dengan wajah yang sangat ia kenal: Adrian.
Pria itu tampak kuyu, namun ia mengenakan setelan jas yang dipaksakan rapi. Rupanya, pengaruh ibunya berhasil membuatnya keluar dengan jaminan luar negeri, dan ia nekat terbang ke Paris hanya untuk menyaksikan kesuksesan yang seharusnya ia hancurkan. Mata Adrian penuh dengan kebencian sekaligus kerinduan yang beracun.
Arini tidak goyah. Ia tidak memalingkan muka. Ia justru mengangkat dagunya lebih tinggi, menatap Adrian lurus-lurus sebelum membungkuk hormat kepada seluruh penonton. Tepuk tangan riuh pecah, mengguncang aula Palais de Tokyo. Helena Vance berdiri paling pertama, memberikan standing ovation yang langka.
Di balik panggung, setelah acara selesai, Adrian mencoba menerobos masuk, namun Rendra dan tim keamanan segera menghadangnya.
"Arini! Kau harus mendengarkanku! Semua ini karena aku! Tanpa luka yang kuberikan, kau tidak akan pernah sampai di sini!" teriak Adrian dari kejauhan, suaranya parau oleh keputusasaan.
Arini berhenti di ambang pintu menuju ruang ganti. Ia berbalik dan menatap Adrian untuk terakhir kalinya. "Kau benar, Adrian. Kau memberiku benang khianat itu. Tapi akulah yang memilih untuk menjahitnya menjadi mahakarya, bukan menjadi jerat leher. Sekarang, kembalilah ke lubangmu. Karena di duniaku, kau sudah tidak punya tempat lagi."
Arini menutup pintu itu dengan tenang. Ia berjalan menuju Damar yang sudah menunggunya dengan senyum bangga. Malam ini, di Paris, Arini menyadari bahwa luka memang meninggalkan bekas, namun bekas itulah yang membuat polanya menjadi unik dan tak ternilai harganya.