HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
malam pertama yang tak di inginkan
Pintu kamar tertutup.
Dewanga berdiri canggung di tengah kamar sempit yang kini menjadi kamar mereka—kasur single yang terlalu kecil untuk dua orang, lemari kayu tua yang pintunya miring, jendela dengan gorden lusuh yang sudah robek di beberapa bagian.
Tini duduk di pinggir kasur, melepas kerudungnya dengan gerakan kasar. Wajahnya datar—tidak ada senyum, tidak ada kehangatan yang biasanya ada di malam pertama sepasang pengantin.
"Tini..." Dewanga mendekati dengan hati-hati, duduk di sebelahnya. "Kamu... kamu capek?"
"Iya. Capek banget." Tini menjawab tanpa menatapnya.
Hening.
Dewanga menelan ludah. Tangannya berkeringat. Ia mencoba meraih tangan Tini—lembut, penuh harap.
"Tini... kita... kita kan udah nikah..."
Tini menoleh tajam. "Terus?"
Dewanga terdiam. Jantungnya berdegup kencang. "Maksudnya... aku... aku kan suami kamu sekarang. Aku punya... punya hak—"
"HAK?!" Tini berdiri tiba-tiba, wajahnya merah. "LO NIKAH SAMA GUA CUMA BUAT ITU DOANG?! CUMA MAU GITUAN?!"
Dewanga terkejut. Ia mundur sedikit. "Bukan gitu, Tini. Aku cuma—"
"CUMA APA?! LO PIKIR GUA ROBOT?! GUA CAPE, DEWA! GUA CAPE NGURUSIN SEMUA HAL SENDIRIAN! NIKAHAN INI AJA GUA YANG URUS SEMUA! LO CUMA DATANG, NGOMONG 'SAYA TERIMA,' TERUS SEKARANG MAU ENAK-ENAKNYA?!"
"Tini, pelanin suaranya... Bapak di luar—"
"EMANGNYA KENAPA?! INI RUMAH GUA! GUA MAU TERIAK JUGA HAK GUA!"
Suara Tini memenuhi seluruh rumah. Begitu keras sampai dinding tipis itu tidak bisa menahannya.
Di luar, Bapak Tini duduk sendirian di ruang tamu gelap. Mendengar bentakan anak perempuannya. Mendengar suara menantu yang baru beberapa jam menikah sudah dibentak habis-habisan.
Ia hanya bisa menunduk, meremas-remas tangannya yang keriput. Tidak berani masuk. Tidak bisa berbuat apa-apa.
Di dalam kamar, Dewanga berdiri dengan kepala tertunduk. Malu. Sakit. Bingung.
"Maafin aku, Tini... aku gak bermaksud—"
"LO SELALU BILANG MAAF! TAPI TETEP AJA EGOIS! LO PIKIR CUMA LO YANG CAPEK?! GUA JUGA CAPEK! GUA NGURUSIN EKA SENDIRIAN BERTAHUN-TAHUN! GUA HIDUP SUSAH! DAN SEKARANG LO MAU NAMBAH BEBAN GUA LAGI?!"
Air mata Dewanga mulai mengalir. Ia tidak sanggup menatap wajah istrinya yang penuh kebencian.
"Aku... aku cuma pengen... kita jadi keluarga yang beneran, Tini..."
Tini tertawa—tawa sinis yang dingin. "Keluarga yang beneran? Lo kira semudah itu? Lo kira cukup nikah terus langsung bahagia?"
Hening panjang.
Lalu Tini menghela napas keras. Wajahnya masih merah, tapi suaranya sedikit mereda—meski tetap tajam.
"Yaudah... yaudah lah. Biar cepet selesai."
Ia berbaring di kasur dengan punggung menghadap Dewanga. Tangannya melipat di dada. Tubuhnya kaku seperti papan.
"Cepetan. Gua mau tidur."
Dewanga terdiam. Dadanya sesak.
Ini bukan malam pertama yang ia bayangkan.
Ini bukan kehangatan yang ia rindukan.
Ini adalah... transaksi. Kewajiban yang dilakukan dengan terpaksa.
Ia berbaring di samping Tini—tangannya gemetar saat menyentuh pundak istrinya. Tidak ada pelukan. Tidak ada bisikan lembut. Tidak ada cinta.
Hanya dingin.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sebagai suami, Dewanga merasakan kesepian yang lebih dalam daripada saat ia masih sendirian.
***
Pagi hari.
Dewanga bangun lebih awal—sekitar pukul lima. Tini masih tidur, membelakanginya, tubuhnya di ujung kasur seolah menjauh sebisa mungkin.
Ia keluar kamar dengan hati berat. Mata sembab—tidak tidur nyenyak semalam.
Di ruang tamu, Bapak Tini sudah duduk di kursi tua, merokok kretek dengan tangan gemetar. Di atas meja kayu, secangkir kopi hitam pekat mengepulkan asap tipis.
Mata mereka bertemu.
Bapak Tini tersenyum lemah—senyum yang penuh penyesalan. "Dewa... duduk, Nak. Sini."
Dewanga duduk di seberangnya. Tidak tahu harus bilang apa.
Bapak Tini menyodorkan sebatang rokok. "Merokok?"
"Tidak, Pak. Saya gak biasa."
"Oh... bagus. Jangan mulai. Ini cuma bikin sakit." Bapak Tini menarik rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap perlahan. Matanya menatap kosong ke jendela yang masih gelap.
Hening.
Hanya suara jangkrik pagi dan asap rokok yang terdengar.
Lalu Bapak Tini berbicara—suaranya parau, bergetar, penuh penyesalan.
"Dewa... Bapak mau minta maaf."
Dewanga mendongak. "Maaf kenapa, Pak?"
"Maaf... karena Bapak gak bisa didik anak Bapak dengan baik." Air mata tua itu mulai mengalir perlahan. "Bapak tau... semalam kamu pasti... pasti kecewa. Bapak denger semuanya. Dinding rumah ini tipis, Nak. Bapak denger Tini bentak kamu. Bapak denger kamu minta maaf berkali-kali. Tapi Bapak... Bapak gak bisa berbuat apa-apa."
Dewanga terdiam. Dadanya sesak.
Bapak Tini melanjutkan dengan suara semakin parau. "Tini... dia keras kepala, Dewa. Sejak kecil. Bapak udah coba didik dia dengan baik. Tapi... tapi Bapak gagal. Bapak terlalu lemah. Bapak terlalu sering ngalah. Jadi dia tumbuh jadi... jadi kayak sekarang."
Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan yang keriput.
"Jangan kan sama Bapak, Dewa... sama almarhum ibu nya pun dia sering bentak. Waktu ibunya sakit keras—kanker payudara—Tini gak pernah ngerawat dengan sabar. Dia sering marah-marah. Bilang capek. Bilang ibunya merepotkan. Padahal ibunya cuma minta ditolong ke kamar mandi..."
Air mata Bapak Tini semakin deras. Tangannya gemetar memegang cangkir kopi.
"Ibunya nangis tiap malam, Dewa. Nangis diam-diam pas Tini tidur. Dia bilang, 'Pak, kenapa anak kita jadi kayak gini? Apanya yang salah?' Bapak gak bisa jawab. Bapak cuma bisa meluk dia sambil nangis."
Dewanga merasakan air matanya sendiri mulai jatuh. Ia tidak tahu harus bilang apa.
"Tiga bulan sebelum ibunya meninggal..." Bapak Tini menunduk dalam-dalam, suaranya pecah. "Tini bertengkar sama ibunya gara-gara Tini mau nikah sama Fiko. Ibunya gak setuju—karena Fiko suka main judi. Tapi Tini keras kepala. Dia bentak ibunya, bilang 'Mama gak tau apa-apa! Mama cuma mau ngatur hidup aku!' Padahal ibunya cuma mau yang terbaik..."
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis tersedu-sedu.
"Ibunya jatuh sakit makin parah setelah itu, Dewa. Stres berat. Tiga bulan kemudian... dia meninggal. Dan Tini... Tini gak pernah minta maaf. Sampai sekarang."
Dewanga tidak sanggup menahan tangisnya. Ia menangis—menangis untuk Bapak Tini yang kehilangan istri, menangis untuk ibu Tini yang meninggal dengan luka, menangis untuk dirinya sendiri yang baru menyadari ia menikahi wanita yang bahkan tidak pernah menyesali ibunya sendiri.
Bapak Tini meraih tangan Dewanga di atas meja, menggenggamnya erat dengan tangan tua yang dingin.
"Dewa... Bapak gak bisa minta kamu untuk sabar. Karena Bapak tau... hidup sama Tini itu berat. Bapak udah hidup sama dia puluhan tahun. Bapak tau. Tapi Bapak cuma bisa bilang... kalau kamu mau bertahan, kamu harus kuat. Sangat kuat. Karena Tini... dia gak akan berubah."
Dewanga menatap mata tua itu—mata yang penuh penyesalan, mata yang sudah terlalu lelah untuk berharap.
"Bapak mohon maaf, Nak... maafin Bapak karena gak bisa kasih kamu keluarga yang baik. Maafin Bapak karena anak Bapak... anak Bapak kayak gini."
Dewanga menggenggam tangan Bapak Tini balik—erat, penuh empati.
"Bapak gak salah, Pak. Bapak udah cukup kuat bertahan selama ini."
Mereka berdua duduk di sana—dua lelaki yang terjebak dalam rumah yang sama, dengan wanita yang sama, dalam penderitaan yang sama.
Dan matahari mulai terbit—cahayanya menyinari rumah kecil itu dengan sinar yang dingin, tanpa kehangatan.
---
**[Bab 24 - Bagian 1 Selesai]**
---
**Tiga hari setelah pernikahan.**
Dewanga mulai berjualan lagi—bangun pukul 3 pagi, menyiapkan adonan gorengan, menggoreng, lalu berangkat ke pasar malam pukul 5 pagi.
Ia berharap Tini akan membantu—setidaknya menemani, atau sekadar menyiapkan kopi untuknya sebelum berangkat.
Tapi tidak.
Tini tetap tidur. Bahkan saat Dewanga berisik di dapur—suara wajan, suara kompor, suara spatula yang bergesekan—Tini tidak bangun.
Dewanga menggoreng sendirian. Membungkus sendirian. Membereskan sendirian.
Pukul 5 pagi, ia mendorong gerobaknya keluar rumah. Tini masih tidur pulas.
***
**Siang hari, Dewanga pulang.**
Rejeki hari itu luar biasa—ia laku dua ratus ribu, hampir dua kali lipat dari biasanya. Beberapa pelanggan baru datang, ada yang pesan banyak untuk acara kantor.
Dewanga pulang dengan senyum tipis—setidaknya ada satu hal baik hari ini.
Ia masuk rumah dengan harap—berharap Tini akan senang mendengar kabar baik.
"Tini, aku pulang." Dewanga meletakkan gerobaknya di halaman, masuk ke dalam.
Tini duduk di sofa, menonton TV dengan wajah datar.
"Tini, tadi aku laku banyak. Dua ratus ribu! Hampir dua kali lipat dari biasanya!" Dewanga duduk di sebelahnya dengan antusias—antusias yang ia paksakan.
Tini meliriknya sekilas. "Oh. Bagus."
Hanya itu.
Tidak ada senyum. Tidak ada ucapan syukur. Tidak ada pelukan. Bahkan tidak ada tatapan.
Dewanga terdiam. Senyumnya perlahan memudar.
"Tini... kita... kita kan bisa nabung lebih banyak. Nanti bisa buat—"
"Iya, iya. Gua denger." Tini memotong dengan nada bosan. Matanya tidak lepas dari TV.
Dewanga menunduk. Tangannya meremas-remas ujung bajunya yang basah keringat.
"Tini... aku cape. Aku mau istirahat dulu sebentar..."
"Heh." Tini menoleh—kali ini dengan tatapan tajam. "Itu perabotan bekas jualan lo cepetan cuci. Bikin sumpek mata aja."
Dewanga menatap halaman—gerobaknya masih di sana, wajan kotor, nampan berminyak, spatula berkerak.
"Tapi aku baru pulang, Tini... aku cape banget—"
"GUA JUGA CAPE! GUA UDAH JAGA RUMAH SEHARIAN! GUA UDAH MASAK! LO PIKIR CUMA LO YANG CAPE?!"
Dewanga terdiam. Ia melirik dapur—tidak ada bau masakan. Tidak ada panci yang kotor. Bahkan tidak ada nasi yang dimasak.
Tapi ia tidak berani membantah.
"Iya... iya. Aku cuci sekarang."
Ia berdiri dengan tubuh limbung. Kepalanya pusing. Kakinya lemas.
Sebelum keluar, Tini berbicara lagi—dingin, datar.
"Sini. Mana uangnya?"
Dewanga mengeluarkan uang dua ratus ribu dari sakunya. Menyerahkannya pada Tini.
Tini mengambilnya tanpa bilang terima kasih. Menghitung dengan cepat. Lalu menyimpannya di saku celananya.
"Lo boleh ambil dua puluh ribu buat makan siang besok."
Dewanga terdiam. Dua puluh ribu dari dua ratus ribu yang ia hasilkan dengan kerja keras sejak subuh.
Tapi ia tidak bilang apa-apa.
Ia hanya mengangguk pelan, lalu keluar ke halaman untuk mencuci perabotan kotor sendirian—di bawah terik matahari siang yang membakar kulitnya.
Tidak ada yang menemani. Tidak ada yang memberinya minum. Tidak ada yang bertanya "Kamu udah makan?"
Hanya ia, air dingin, dan perabotan kotor yang harus ia cuci sampai bersih.
Dan untuk pertama kalinya sejak menikah, Dewanga merasakan—ia lebih sendirian sekarang daripada saat ia masih bujangan.
---