Yang Suka Action Yuk Mari..
Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Bab 26-
Penipu tua itu tampak benar-benar murka. Meski ia punya banyak alasan untuk tetap berada di kota, wajahnya menunjukkan kegelisahan yang sulit disembunyikan. Dalam hatinya, ia tahu masih ada peluang untuk pergi, tapi waktu sudah tidak berpihak padanya.
Tiba-tiba, sirene meraung keras di seluruh penjuru Barbar City. Suaranya menggema panjang, menusuk telinga, membuat udara seakan bergetar.
Di Jalan Sukamiskin, orang-orang segera menjulurkan kepala keluar jendela, melihat ke arah pusat kota dengan wajah tegang dan bingung.
Penipu tua itu menatap sekeliling, menyadari kepanikan yang mulai melanda. Ia menggigit bibirnya, lalu buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku mantelnya. Jemarinya bergetar ketika menekan nomor seseorang.
Tak butuh waktu lama, panggilan itu tersambung.
Yang menjawab adalah orang yang kini menjadi penanggung jawab The Next, kelompok yang dulu ditinggalkan Rangga. Meski sang pemimpin telah lama pergi, organisasi itu tetap menguasai seluruh Distrik Utara dan terus berkembang pesat di bawah kepemimpinan baru.
Hubungan antara penipu tua itu dengan The Next kini cukup baik. Sebelum Rangga pergi, ia memang telah mempercayakan beberapa urusan pada pria tua licik itu.
Suara di seberang terdengar sopan namun gugup.
“Bang, ada apa ini? Kenapa sirene di Barbar City tiba-tiba berbunyi sekencang itu?”
“Berhenti bicara omong kosong!” seru penipu tua itu dengan nada panik. “Sialan, sepertinya dua raksasa itu akan saling bertarung! Cepat, perintahkan semua orang The Next dan warga di sekitar Jalan Sukamiskin untuk segera evakuasi keluar kota!”
Ia berhenti sejenak, menjilat bibirnya gugup, lalu menambahkan dengan suara lebih dalam,
“Ingat baik-baik, semua orang harus keluar... tapi siapa pun yang pergi ke alun-alun pusat—bunuh tanpa ragu.”
Suara di seberang terdiam. “A-Apa maksudmu, Bang?” tanyanya terbata.
“Tidak usah banyak tanya! Lakukan saja yang aku bilang!” bentaknya lagi. “Evakuasi dari Distrik Timur dulu, kita masih punya waktu. Cepat bertindak!”
“Baik, aku mengerti! Aku akan urus sekarang juga!” sahut orang itu, suaranya tergesa. Setelah itu sambungan terputus.
Penipu tua itu menoleh ke kerumunan di sekitarnya dan berteriak lantang,
“SEMUA ORANG! LARI KELUAR DARI BARBAR CITY! KECUALI KALAU KALIAN INGIN MATI, JANGAN BERDIAM DIRI DI SINI!”
Teriakannya menggema, mengguncang suasana yang semula beku. Dalam sekejap, kepanikan meledak. Orang-orang berlarian, menenteng tas, menyeret anak-anak, menubruk satu sama lain di jalanan sempit.
Sirene terus meraung — suara panjang dan dalam seperti lolongan kematian yang menandai datangnya bencana.
Sementara itu, jauh di tepi pantai, angin laut berhembus membawa aroma asin.
Meskipun lokasi mereka jauh dari Barbar City, Mahatir masih bisa mendengar suara sirene samar dari kejauhan.
Di atas kapal pesiar, seorang pria tua berambut perak mengerutkan dahi.
“Suara apa itu?” tanyanya datar, memandang ke arah daratan.
“Itu sirene dari Barbar City,” jawab Mahatir tanpa ekspresi. “Hedges pasti sudah tahu bahwa kau datang. Bertahun-tahun terakhir ini, dia diam-diam mengumpulkan banyak kekuatan di kota.”
Pria tua itu menghela napas panjang. “Hal ini sudah bisa diperkirakan sejak awal. Lalu sekarang, setelah sirene berbunyi... kau ingin kita mundur?”
“Seharusnya begitu,” jawab Mahatir singkat, matanya tetap menatap ombak yang bergulung.
Pria tua itu menoleh. “Dan menurutmu apa langkah selanjutnya?”
Mahatir menatapnya datar, lalu menjawab pelan tapi tajam,
“Bunuh dia. Baru kita pergi.”
Di sisi lain pulau, di wilayah dalam yang tersembunyi, sirene yang sama menggema hingga ke langit-langit batu.
Orang-orang segera keluar dari markas mereka, sebagian membawa senjata, sebagian hanya berlari tanpa arah.
Vergas dan tiga rekannya sedang berlatih ketika mendengar suara itu. Mereka semua berhenti bersamaan.
“Apa-apaan ini?!” seru Vergas, wajahnya menegang.
“Jangan banyak tanya!” bentak sang pelatih sambil menendang kakinya. “Cepat kemasi barang-barang kalian dan segera ke pantai barat. Harusnya masih ada kapal pesiar di sana. Naik, tunggu di atas kapal, dan jangan kembali ke sini.”
Wiji menatapnya ragu. “Tapi... ada apa sebenarnya, Pak? Kenapa semua orang berlarian seperti ini?”
Pelatih itu malah tersenyum miring. Ia meraih dua belati di meja, menyelipkannya ke punggung, lalu berkata dengan tenang,
“Keseimbangan pulau ini sudah hancur. Ada pihak-pihak yang tak ingin kita pergi dengan selamat.”
Ia menatap murid-muridnya satu per satu, lalu menambahkan dingin,
“Kalau perlu, kita potong habis mereka yang menghalangi. Baru kemudian kita angkat kaki dari tempat terkutuk ini.”
Keempat pemuda itu saling pandang, bingung sekaligus takut.
Pelatih mendengus keras dan menendang kaki Vergas. “Apa lagi yang kau tunggu? Kalau tak mau mati, segera berkemas dan pergi!”
“Baik, kami mengerti!” jawab Vergas terburu-buru. Ia langsung lari menuju kamarnya untuk mengemasi barang.
Sepanjang jalan, ia melihat pemandangan kacau — semua anggota Night Watcher berlari keluar sambil mengenakan seragam lengkap dan membawa belati ganda di tangan.
Kepanikan telah berubah menjadi gerakan besar-besaran.
“Ini... terlalu tiba-tiba,” gumam Wiji pelan, masih tak mengerti apa yang terjadi.
Sama seperti mereka, kebanyakan orang di seluruh Barbar City juga tak tahu apa yang sedang terjadi.
Sebagian penduduk melihat sekelompok orang menuju alun-alun pusat, sementara sebagian lainnya justru melarikan diri ke luar kota.
Namun banyak pula yang hanya bersembunyi di rumah, memandangi jendela dengan wajah cemas.
Semakin lama, alun-alun pusat — yang terletak di antara empat distrik dan dekat dengan kediaman Hedges — semakin padat. Ribuan orang berkumpul, termasuk para pengawal elit, petarung bayaran, dan bahkan satu-satunya Holy Master Distrik Selatan yang tersisa.
Nama-nama besar seperti Fruye juga terlihat di antara kerumunan.
Dalam hitungan menit, lautan manusia memenuhi alun-alun. Suasana begitu tegang hingga udara terasa berat.
Di ruang pribadinya, Hedges duduk santai sambil memutar segelas anggur merah. Senyum licik terlukis di wajahnya, sementara satu tangannya menghitung sesuatu di udara, seolah tengah memperkirakan waktu.
“Sudah berapa tahun aku berada di pulau ini?” gumamnya pelan. “Selama ini, aku adalah raja di tempat ini. Siapa pun yang ingin pergi harus mendapatkan izinku lebih dulu.”
“Bos,” ucap salah satu bawahannya, “kalau nanti kita benar-benar menang melawan Mahatir, apakah kita akan tetap di sini?”
“Tentu saja,” jawab Hedges sambil tersenyum dingin. “Dunia luar biarlah mereka yang mengurus. Kita menjaga kekuatan di dalam. Membiarkan Mahatir dan Night Watcher terkunci di sini adalah kontribusi terbesar yang bisa kita berikan.”
Pria di sampingnya melapor lagi, “Kapal pesiar kelompok Arsapin baru saja tiba di pelabuhan.”
“Oh?” mata Hedges menyipit. “Waktunya pas. Bawa dia ke sini. Aku ingin tahu apakah informasi yang kudapat kali ini benar.”
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang pria berpakaian merah masuk dan berlutut di depannya.
“Bos, mereka sudah bersatu dan sekarang menuju Barbar City,” lapornya.
Mata Hedges berkilat. “Bagus,” ucapnya dingin. “Mahatir benar-benar berani datang sendiri. Aku akan kirim pasukan ke pantai untuk menyambutnya. Begitu sirene berbunyi, dia pasti datang langsung ke sini... dan itu mempersingkat segalanya.”
Ia menyeringai, “Sudah waktunya bertemu dengan orang terkuat dari Night Watcher itu.”
Sementara itu, jauh di Kota NewJersey, Rangga duduk di kamarnya seperti biasa, menyerap energi Tulang Naga dalam keheningan.
Suasana tenang mendadak terpecah oleh ketukan pintu yang keras dan berulang.
Ia mengerutkan alis. Biasanya tak ada tamu — Togu sedang beKerja, sementara Menik sudah berangkat ke sekolah.
Mungkin ibunya Menik datang lagi, pikirnya. Ia berdiri dan melangkah ke pintu, lalu membukanya tanpa banyak curiga.
Namun di luar, berdiri seorang pria asing dengan setelan jas rapi, wajahnya teduh tapi sulit dibaca.
Rangga memicingkan mata. Ia tak mengenal orang ini sama sekali.
“Sepertinya Anda salah alamat,” ucapnya dingin.
Pria itu tersenyum sopan. “Anda Rangga, bukan?”
Nada bicaranya tenang, dan Bahasa Aerion-nya begitu lancar hingga terdengar alami.
Rangga menatapnya penuh curiga. “Dan Anda siapa?”
Pria itu menunduk sedikit, lalu memperkenalkan diri dengan senyum halus.
“Perkenalkan. Anda bisa memanggil saya... Prof. Q.”
Rangga membeku sesaat. Nama itu langsung membuat darahnya mendidih.
Sosok legendaris itu — pria yang pernah menyelamatkan Luke.
Beberapa detik kemudian, mata Rangga memancarkan aura berbahaya. Udara di sekitarnya terasa bergetar oleh energi marah yang ditekan.
Prof. Q masih tersenyum ringan. “Bukankah kau akan mengundangku masuk?”
Rangga menjilat bibirnya pelan, menatap lurus ke arah tamunya.
“Kurasa tidak perlu,” katanya datar. “Lagi pula, kau pernah menyelamatkan Luke... sepertinya kau berutang penjelasan padaku.”
Si Misterius vs Si Terkuat, Apa yang bakal terjadi?
Bersambung
thumb up buat thor