Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 KEDATANGAN ALUNA
Langkah kaki Alya terdengar mantap ketika ia memasuki gedung perusahaannya. Sepagi ini, ia sudah menyusun jadwal rapat, memeriksa laporan dari divisi keuangan,. Suasana ruang kerjanya tertata rapi, penuh ketenangan yang berbeda jauh dari hiruk pikuk drama keluarga Darma yang kerap menjeratnya.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Suara ketukan sepatu hak tinggi yang menggema di koridor membuat beberapa karyawan menoleh. Suara itu khas tajam, berirama sombong, seakan ingin memberi tahu semua orang bahwa pemilik langkah itu adalah ratu.
Pintu ruang kerja Alya terbuka tanpa izin. Aluna masuk dengan senyum menyeringai, senyum yang sarat kemenangan. Ia mengenakan gaun pastel mewah, rambut terurai sempurna, wajah dihiasi make-up tipis yang semakin menonjolkan kepalsuan dirinya.
“Aku pikir kau sudah belajar, Alya,” ucap Aluna sambil menutup pintu dengan tenang. “Ternyata kau masih saja sibuk dengan perusahaan kecilmu ini. Padahal semua orang tahu, sebentar lagi kau akan benar-benar jatuh. Dan saat itu terjadi, aku akan berada di sana… untuk menonton kehancuranmu.”
Alya menutup laptopnya perlahan, lalu menyandarkan tubuh ke kursi dengan ekspresi dingin. Tidak ada keterkejutan di wajahnya. Tidak ada pula rasa takut. Justru tatapan matanya yang tajam membuat Aluna sedikit gusar, meski ia berusaha menutupinya dengan seringai angkuh.
“Aluna,” suara Alya tenang, bahkan lembut. “Kau masih sama saja. Datang ke sini hanya untuk berkoar, seolah-olah dunia ini milikmu. Aku penasaran, berapa lama lagi kau bisa mempertahankan topeng itu?”
Senyum Aluna menegang sesaat, tapi ia segera menertawakan kata-kata Alya. “Topeng? Lucu sekali. Kau yang harusnya bercermin, Alya. Kau pikir semua orang tidak tahu betapa egois dan liciknya dirimu? Papah dan mamah selalu berkata padaku, kau itu seperti racun. Dan lihat sekarang bahkan Arga lebih memilih berada di sisiku ketimbang menemanimu. Itu bukti nyata, bukan?”
Alya tidak bergeming. Senyum tipis tersungging di bibirnya, senyum yang bukan tanda kelemahan, melainkan sebuah tantangan.
“Arga memilihmu?” Alya menegakkan tubuhnya, menatap Aluna tajam. “Kalau benar begitu, kenapa kau masih repot datang ke sini, Aluna? Kalau kau sudah benar-benar menang, seharusnya kau tak perlu lagi repot mencampuri urusanku. Kecuali… kau takut. Takut kalau semua kebohonganmu terbongkar.”
Ucapan itu menancap tepat di dada Aluna. Ia melangkah mendekat, mencoba menutupi kegusarannya dengan tawa kecil.
“Kau memang pandai bicara, Alya. Tapi bicara saja tidak cukup. Buktinya, lihat sekelilingmu. Perusahaanmu mungkin masih berdiri, tapi semua orang tahu aku punya dukungan yang jauh lebih kuat. Arga ada di pihakku, mommy dan daddy Dirgantara juga. Sementara kau? Hanya ditemani asisten kecilmu yang tak bisa apa-apa.”
Alya berdiri. Posturnya tegak, penuh wibawa, hingga membuat Aluna sejenak terdiam. “Aku tidak butuh banyak orang di sisiku untuk menjatuhkanmu, Aluna. Aku hanya butuh kebenaran. Dan kebenaran itu… cepat atau lambat akan terungkap. Saat hari itu tiba, semua topengmu akan runtuh. Dan saat itu terjadi, aku tidak perlu melakukan apa pun selain menyaksikanmu hancur dengan sendirinya.”
Ruangan itu mendadak penuh ketegangan. Aluna menggertakkan gigi, berusaha mengendalikan emosinya. Ia tak menyangka Alya bisa begitu tenang menghadapi gertakan yang biasanya membuat orang lain ciut.
“Kau berani sekali bicara begitu padaku,” suara Aluna kini rendah, penuh ancaman. “Jangan menyesal nanti, Alya. Aku bisa membuatmu menyesal seumur hidup.”
Alya menatapnya tanpa gentar. “Aku tidak pernah takut padamu, Aluna. Justru aku menunggu hari itu. Karena setiap langkah licikmu hanya membuatku semakin kuat.”
Aluna menatap tajam, lalu menyeringai kembali. “Kita lihat saja, Alya. Aku janji, aku akan merebut segalanya darimu bisnismu, reputasimu, bahkan laki-laki yang kau incar. Dan saat itu terjadi, jangan harap kau bisa bangkit lagi.”
Dengan penuh gaya, Aluna membalikkan badan dan melangkah keluar. Suara hak sepatunya kembali bergema di koridor, kali ini dengan irama lebih keras—seperti ingin menegaskan kehadirannya.
Begitu pintu tertutup, Alya menarik napas panjang. Tatapannya berubah dingin, bibirnya melengkung membentuk senyum samar. Bagi Alya, kedatangan Aluna bukan ancaman, melainkan pengingat bahwa permainan ini baru saja dimulai.
“Aku akan buktikan, Aluna,” gumam Alya pelan, menatap keluar jendela ke arah langit biru yang cerah. “Kau boleh bersembunyi di balik dukungan orang tuamu, boleh menjerat simpati Arga dengan drama palsu. Tapi pada akhirnya, semua itu tidak akan bisa menyelamatkanmu dari kebenaran.”
Alya kembali duduk, menyalakan laptopnya. Jemarinya menari di atas keyboard, menyusun strategi baru. Setiap langkah, setiap keputusan, ia susun dengan hati-hati. Tidak ada ruang untuk kesalahan.
Di balik tatapan dinginnya, Alya sudah bertekad: perang ini bukan hanya tentang membalas dendam, melainkan tentang merebut kembali martabat yang pernah diinjak-injak oleh Aluna dan keluarganya.
Sementara itu, di sisi lain gedung, beberapa karyawan yang sempat mendengar perdebatan samar antara dua kakak-beradik itu saling berbisik. Mereka mulai melihat sisi lain dari Alya yang jarang ditampilkan sisi tegas, dingin, namun penuh wibawa.
Dan satu hal yang mereka sadari. perang antara Alya dan Aluna tidak lagi bisa dihindari. Pertarungan itu sudah dimulai, dan hanya satu dari mereka yang akan bertahan di puncak.