Cole Han, gangster paling ditakuti di Shanghai, dikenal dingin dan tak tersentuh oleh pesona wanita mana pun. Namun, semua berubah saat matanya tertuju pada Lillian Mei, gadis polos yang tak pernah bersinggungan dengan dunia kelam sepertinya.
Malam kelam itu menghancurkan hidup Lillian. Ia terjebak dalam trauma dan mimpi buruk yang terus menghantuinya, sementara Cole justru tak bisa melepaskan bayangan gadis yang untuk pertama kalinya membangkitkan hasratnya.
Tak peduli pada luka yang ia tinggalkan, Cole Han memaksa Lillian masuk ke dalam kehidupannya—menjadi istrinya, tak peduli apakah gadis itu mau atau tidak.
Akankah Lillian selamanya terjebak dalam genggaman pria berbahaya itu, atau justru menemukan cara untuk menaklukkan hati sang gangster yang tak tersentuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
“Bos, rekaman ini tersebar luas, Nona Mei mungkin telah melihatnya,” lapor Julian dengan nada panik sambil berdiri tegak di hadapan Cole.
Wajah Cole tetap datar, sorot matanya tajam dan berbahaya. Ia menatap layar ponselnya yang memperlihatkan potongan video penyiksaan Andy dan Fuya—video yang kini viral di berbagai media sosial.
“Aku akan mengurus masalah ini,” ucap Cole pelan namun penuh tekanan. “Ingat, dua jam ke depan aku ingin pelakunya di depanku.”
“Baik, Bos,” jawab Julian cepat, lalu keluar dengan langkah tergesa.
Belum sempat Cole berdiri, ponselnya bergetar lagi. Nama yang muncul di layar membuat rahangnya menegang—Luwis Han.
Ia menarik napas dalam sebelum menggeser tombol hijau.
“Ada apa?” tanyanya datar.
“Cole, pulang sekarang!” suara Luwis terdengar tegas, bahkan sedikit menahan amarah.
Beberapa jam kemudian…
Langit malam kota itu tampak pekat, lampu-lampu halaman keluarga Han menyala redup, menciptakan suasana tegang di ruang tamu besar yang penuh keheningan.
Cole duduk di sofa kulit hitam, menyandarkan tubuhnya santai seolah tak terjadi apa pun. Di tangannya, ia terus memainkan pemantik api, membukanya berulang kali hingga suara klik… klik… klik memenuhi ruangan.
Luwis duduk di kursi utama dengan wajah tegang, sementara Sammy tampak gelisah di sebelahnya.
Aroma parfum mahal bercampur dengan hawa dingin dari AC membuat suasana semakin menyesakkan.
“Cole,” suara Luwis memecah keheningan, “cepat jelaskan… siapa yang ada di dalam rekaman itu? Apakah benar itu adalah dirimu?”
Cole mendongak perlahan, tatapannya tenang tapi tajam. Ia menutup pemantik apinya dengan bunyi tuk.
“Iya atau tidak, memang kenapa?” jawabnya dengan nada dingin, seolah sedang membicarakan hal sepele.
Sammy mencondongkan tubuh, suaranya naik penuh emosi. “Cole! Masalah ini sudah meluas, nama keluarga Han ikut terseret! Siapa yang tidak tahu kalau kau adalah putra Luwis Han?”
Cole menoleh sekilas, sudut bibirnya terangkat dingin. “Apa yang harus dicemaskan? Kalau media bertanya, cukup jawab saja tidak mengenalku. Hanya rekaman. Tidak bisa membuktikan apa pun. Apakah orang yang di dalam rekaman itu benar-benar aku?”
Nada santainya membuat Sammy menggigit bibir, menahan emosi. Luwis memijat pelipisnya dengan wajah muram.
“Polisi pasti akan menyelidiki sampai ke sini,” ujar Luwis berat. “Kau harus siap. Jangan sampai mengaku.”
Cole hanya tersenyum tipis. “Aku sedang menunggu kedatangan mereka.”
“Cole,” Luwis menatapnya dengan sorot kecewa, “karena rekaman itu, banyak investor mulai ragu. Mereka menunda kerja sama dan menanyakan tanggung jawabmu. Jika kau memang melakukannya, mereka ingin kau pergi dari sini. Jadi, jangan mengaku apa pun!”
Cole mengangkat pandangannya, menatap langsung ke mata ayahnya. Tatapan itu dingin dan tajam seperti pisau.
“Aku ingin tahu,” ucapnya perlahan, “apakah mereka punya hak untuk mengusirku? Setiap kali ada masalah di lapangan, mereka datang memohon perlindungan padaku. Karena aku memiliki sejumlah anggota yang siap mempertaruhkan nyawa. Tapi sekarang…” ia menyeringai tipis, “hanya karena satu rekaman dengan wajah tak jelas, mereka tidak sabar ingin menyingkirkanku?”
“Cole, nama baikmu akan tercemar andaikan kau memang terbukti bersalah. Kau tidak bisa begitu santai!” ujar Luwis dengan nada meninggi.
Cole hanya menatapnya datar, lalu mengeluarkan sebatang rokok dari saku jas hitamnya. Ia menyalakannya perlahan, menghembuskan asap ke udara.
“Rekaman itu akan segera dihapus, tenang saja. Hanya berita tidak bermanfaat. Beberapa hari kemudian semuanya akan berlalu. Semua orang akan lupa,” ucap Cole dengan nada datar dan dingin, seolah tidak ada beban sedikit pun.
***
Di sisi lain, malam itu angin berembus lembut di halaman rumah besar milik Cole. Penerangan di depan pintu utama memantulkan cahaya ke wajah Lillian Mei yang tampak ragu saat melangkah masuk ke gerbang.
Ia mengenakan mantel panjang berwarna abu muda, rambutnya terurai lembut, dan matanya tampak gelisah.
Seorang pria paruh baya, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja untuk Cole, segera membukakan pintu dan menunduk sopan.
“Nona Mei, apakah Anda ingin menemui Tuan?” tanyanya dengan suara lembut namun penuh hormat.
“Iya,” jawab Lillian pelan. “Apakah dia di rumah?”
“Tuan belum pulang, Nona. Silakan tunggu di dalam,” ujar asisten itu sopan.
“Baik.” Lillian mengangguk dan melangkah masuk ke ruang tamu yang luas dan mewah.
Lampu gantung kristal memancarkan cahaya lembut ke seluruh ruangan, menciptakan bayangan di dinding marmer putih.
“Nona, saya akan buatkan minuman. Silakan tunggu sebentar,” kata sang asisten dengan sopan.
“Terima kasih,” ucap Lillian lirih sambil duduk di sofa panjang berwarna krem.
“Sudah malam begini… ke mana dia pergi?” gumam Lillian pelan, jemarinya memainkan cangkir teh kosong di depannya. “Apakah Mama Fuya dan Andy benar-benar disiksa? Tapi… rekaman itu… memang sangat jelas… itu mereka…”
Tidak lama kemudian, terdengar suara langkah tergesa dari arah luar. Salah satu anggota yang berjaga di depan rumah melangkah masuk dengan napas sedikit tersengal.
“Paman Hu, di luar ada polisi yang mencari Bos,” ucapnya dengan nada tegang.
Asisten Hu, yang saat itu sedang membawa nampan berisi minuman untuk Lillian, spontan menghentikan langkahnya. Cangkir di atas nampan bergetar pelan karena tangannya ikut gemetar.
“Polisi?” gumamnya lirih, lalu menatap ke arah pintu dengan wajah cemas. Ia kemudian menoleh pada Lillian yang tampak kebingungan.
Lillian segera berdiri, matanya menatap ke arah luar dengan waspada. “Polisi? Mereka datang untuk apa?” tanyanya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Suasana ruang tamu mendadak berubah tegang. Paman Hu meletakkan minuman itu di meja, lalu memberi isyarat kepada anggota penjaga tadi.
“Baik, aku akan ke luar. Kau tetap di sini dan pastikan tidak ada yang masuk tanpa izin,” perintahnya tegas.
Lillian menggigit bibirnya, hatinya berdebar kencang. Ia menatap pintu masuk yang kini dijaga dua pria berbadan besar. "Apakah Cole benar-benar terlibat dalam rekaman itu?" pikirnya dengan cemas.
Tak lama kemudian, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, diikuti langkah-langkah berat dari beberapa orang berseragam. Udara malam terasa menekan, seolah membawa ketegangan yang tak terhindarkan.
sekarang ini will itu dendam sama cole karena telah di usir dari rumahnya bersama ibunya.
lilian, jangan terpancing oleh foto maupun video itu. lebih baik kau tanyakan langsung sama cole. aku yakin cole itu benar benar cinta kamu bukan cuma mempermainkan kamu saja.
ayo lilian, kamu harus kuat