Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.
Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.
Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WIDARPA 26
Renjana terbangun dengan perasaan pusing, kepalanya berdenyut keras. Matanya masih samar-samar, namun perlahan-lahan ia mulai menyadari bahwa dirinya berada di sebuah ruangan yang sangat asing. Cahaya kuning dari lampu neon menggantung di atas langit-langit, memberikan suasana suram yang menambah ketegangan di dalam dirinya. Bau anyir yang menusuk hidung menyelimuti udara, menambah rasa mual yang mulai menguasai tubuhnya.
Dia merasa kaku dan terikat. Tangan dan kakinya terikat kuat, membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Mulutnya juga tertutup rapat, tak bisa berteriak atau berteriak minta tolong. Dengan segala keterbatasannya, Renjana mencoba untuk tetap tenang, meskipun perasaan panik mulai merayap.
Saat matanya mulai bisa melihat dengan jelas, dia menyadari bahwa di ruangan itu ada sebuah benda besar yang tertutup terpal hijau. Benda itu berbentuk persegi empat, dan suara gemerisik besi beradu terdengar dari dalamnya. Suara itu semakin jelas dan teratur, seakan ada sesuatu yang bergerak di dalamnya. Tidak hanya itu, Renjana juga bisa mendengar suara erangan, suara lemah seorang anak kecil, yang keluar dari benda tersebut.
Jantung Renjana berdetak lebih cepat. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya, membuat tubuhnya terasa semakin kaku. Apa yang terjadi di sini? Siapa anak itu? Mengapa suara erangan itu terdengar begitu menyedihkan?
Renjana ingin berlari menuju benda itu, mencoba untuk melihat lebih dekat, tapi tubuhnya terikat erat. Dia tak bisa bergerak, tak bisa melakukan apa-apa. Rasa cemas dan ketakutan semakin menggigit, namun dia tahu bahwa dia harus mencari cara untuk bebas, untuk melarikan diri dan membantu siapa pun yang ada di dalam benda tersebut.
Matanya tertuju pada benda besar yang tertutup terpal hijau itu. Setiap detik terasa begitu lama, dan suara erangan dari dalam benda itu hanya menambah ketegangan yang semakin kuat. Renjana menahan napasnya, berusaha untuk tetap berpikir jernih dan mencari cara untuk keluar dari sini.
Erangan anak itu semakin terdengar jelas, dan Renjana merasa hatinya tercekat. "Siapa itu?" pikirnya dalam hati, bertanya-tanya apakah itu anak yang sedang terperangkap, seperti yang ia duga sebelumnya.
Renjana berjuang keras untuk melepaskan ikatannya, meronta-ronta meskipun tubuhnya lemas dan tak berdaya. Setiap upaya terasa sia-sia, ikatan yang mengikatnya semakin membuatnya terjebak dalam kegelapan yang menekan. Namun, meskipun tubuhnya terikat, mata Renjana masih berusaha untuk fokus, mencari-cari apapun yang bisa memberinya petunjuk atau cara untuk melarikan diri.
Dia menoleh perlahan, pandangannya tertuju pada meja besar di sudut ruangan. Meja itu tampak asing dan dingin, dengan permukaan yang mengkilap. Sejenak, Renjana tidak mengerti mengapa meja itu terasa begitu mengerikan, tetapi saat pandangannya mengarah lebih jauh, dia baru menyadari sesuatu yang membuat hatinya terhentak. Di bawah meja, ada saluran pembuangan yang mengalirkan cairan merah ke dalamnya. Ya tuhan!
Aliran kemerahan itu mengalir perlahan, meluncur dengan tenang, namun seolah menggema dalam keheningan ruangan yang mencekam. Renjana merasakan perutnya terbalik. Tiba-tiba, napasnya terasa sesak. Kepalanya berdenyut, dan dia hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak pingsan. Bau anyir yang menyengat semakin kuat, menghujam indera penciumannya, semakin menambah rasa mual yang menghimpitnya.
Renjana berusaha menenangkan diri, berusaha untuk mengendalikan rasa takut yang meliputi dirinya. Melihat lebih jauh ke arah saluran pembuangan, Renjana merasakan ketegangan yang semakin menguasainya. Dihantui oleh rasa ingin tahu dan perasaan tidak berdaya, dia menahan napas, mencoba untuk berpikir jernih.
Renjana terkejut, matanya terbelalak saat sosok yang dikenalinya muncul di depan pintu. Kiwi, wanita yang sebelumnya tampak penuh simpati, kini menatapnya dengan senyuman yang sangat berbeda—senyum yang menyiratkan sesuatu yang sangat mengerikan. Kiwi berjongkok di hadapannya, matanya penuh kegembiraan yang tidak sesuai dengan situasi yang mencekam itu. Dia meraih plester yang tertempel di mulut Renjana dan membungkamnya dengan kasar.
“Renjana... kamu sangat gigih,” ujar Kiwi, suaranya lembut namun ada nada menghina yang tersembunyi di baliknya.
Renjana merasa tubuhnya gemetar. Pikiran-pikirannya bergejolak, mencoba mencari alasan di balik perubahan yang tiba-tiba pada Kiwi.
Kiwi melihat reaksi Renjana dengan ekspresi yang lebih puas. Perlahan-lahan, dia berdiri dan berjalan mengelilingi Renjana, menilai dirinya dengan cara yang sangat aneh, seolah dia sedang mengamati mangsanya.
"Jangan khawatir," katanya, suara yang kini terdengar lebih dingin, "Semua ini memang sudah direncanakan. Kamu hanya... bagian dari itu." Kiwi menatap Renjana, dan senyumannya semakin lebar, menambah kengerian dalam suasana itu.
Renjana menahan napas, berpikir secepat mungkin untuk mencari cara melarikan diri. Tapi tubuhnya terkunci, dan ikatan di tangannya tidak memberikan celah sedikit pun. Dia merasakan kebingungan dan ketakutan semakin menguasainya.
"Kenapa?" akhirnya Renjana berhasil bertanya, suaranya hampir berbisik. "Kenapa kamu melakukan ini? Apa yang kalian inginkan dari anak-anak itu?"
Kiwi tidak segera menjawab. Sebaliknya, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Renjana, cukup dekat untuk merasakan napasnya yang lembab. "Kamu akan mengerti," Kiwi berkata perlahan. "Semua yang terjadi... ini bukan kebetulan. Kamu hanya belum siap untuk melihat gambaran utuhnya."
Renjana mencoba untuk menenangkan diri, berusaha mengingat segalanya dengan lebih jelas. Apa yang dimaksud Kiwi dengan ‘gambarannya’? Apa yang sebenarnya dia dan orang-orang di panti ini lakukan? Dia tahu bahwa dia sedang menghadapi sesuatu yang lebih besar daripada apa yang dia duga, dan itu mengerikan.
Suara dari balik benda tertutup terpal itu menggema lagi, Renjana melirik sekilas. Kiwi menangkap pandangan mata Renjana dan dia bangkit berdiri berjalan ke arah benda itu. Renjana merasakan detak jantungnya mempercepat ketika Kiwi perlahan menarik terpal yang menutupi kotak besar itu. Suasana semakin mencekam, bau anyir semakin tajam, seolah seluruh ruangan itu memuat rasa takut yang menyesakkan dada. Ketika terpal itu terbuka sepenuhnya, mata Renjana langsung tertuju pada kurungan besi yang ada di dalamnya.
Di dalam kurungan itu, ada sosok yang sangat dikenalnya—dia terbungkus selimut kotor, tubuhnya tampak rapuh dan tak berdaya. Mata Renjana hampir melotot, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sosok yang terbaring dalam keadaan yang jauh lebih mengerikan daripada yang pernah dibayangkan.
Kiwi, dengan senyum yang semakin lebar, berdiri sambil memandang ke dalam kurungan itu. "Itu karyaku, bagaimana menurutmu?" katanya dengan nada yang tidak terkejut, seperti baru saja menunjukkan sebuah lukisan yang baru saja diselesaikan. Senyumannya mengandung kebanggaan yang sangat jelas, seolah dia baru saja melakukan sesuatu yang sangat luar biasa.
Renjana merasa tubuhnya kaku, tak tahu harus berbuat apa. Setiap inci dari ruangan itu, setiap suara yang terdengar, semakin memperparah perasaan takut dan kebingungannya. Kiwi, yang kini tampak begitu tenang dan penuh perasaan puas, menatapnya dengan tatapan tajam.
"Apa kamu tidak senang melihat hasil kerja kerasku?" Kiwi melanjutkan, suaranya semakin menekan, seolah sedang menguji reaksi Renjana. "Mereka semua ada di sini karena mereka membutuhkan 'perlakuan khusus'. Kamu tahu, bukan? Kadang-kadang dunia ini penuh dengan orang-orang yang tidak tahu bagaimana cara melindungi mereka. Jadi aku ambil alih. Aku beri mereka 'perhatian' yang pantas mereka terima."
Setiap kata Kiwi terasa menusuk hati Renjana. Rasanya tidak ada yang lebih mengerikan dari kenyataan bahwa orang yang tampaknya begitu baik dan perhatian itu kini telah melakukan sesuatu yang sangat kejam dan mengerikan.
Renjana menggigit bibirnya, berusaha menahan diri agar tidak menangis, agar tidak terlihat lemah di hadapan Kiwi. Namun dalam hatinya, ada satu hal yang pasti—dia harus keluar dari sana. Dia harus melindungi anak-anak yang masih tersisa, dan mengungkapkan kebenaran tentang apa yang terjadi di panti ini, tak peduli betapa sulitnya itu.
Kiwi terus tersenyum, tampak seperti orang yang benar-benar percaya bahwa tindakannya adalah sesuatu yang benar. Namun bagi Renjana, senyum itu hanyalah sebuah cerminan dari kegelapan yang sangat dalam.
"Kenapa, Kiwi?" tanya Renjana lirih berusaha menyelami alasan dibalik perlakuan keji wanita itu.
Kiwi tidak bergeming, pandangannya menerawang jauh. "Kenapa? Kenapa?... Apa harus ada jawaban untuk setiap pertanyaan itu? Terkadang kita bisa melakukan sesuatu tanpa alasan tertentu bukan?"
"Mereka tidak salah. Demi tuhan! Mereka masih kecil, tidak pantas diperlakukan seperti itu. Apa kamu tidak punya hati?!" teriak Renjana frustasi.
Kiwi tertawa kecil. "Tidak semua manusia punya hati, Renjana. Jangan salahkan aku, salahkan orangtua mereka yang menelantarkan anak-anaknya. Oh ya, kurasa kamu berhutang ucapan terima kasih padaku. Setiap kali gerak-gerik mencurigakanmu tertangkap di CCTV, pasti aku yang akan membereskannya. Apa kamu pikir selama ini tidak ada yang pernah memperhatikannya? Helena akan murka jika mengetahuinya. Tapi sebelum dia marah, kuputuskan untuk bermain-main denganmu." Kiwi berbalik sejenak menatap Renjana sambil mengedipkan mata. "Kau cocok jadi detektif, tak pantang menyerah, namun tetap saja bodoh." Renjana hanya bisa terpaku, tak bisa percaya dengan semuanya.
Ketika Renjana masih terdiam, mencoba menenangkan kegelisahan di dalam dirinya, tiba-tiba suara pintu terbuka lagi, kali ini sangat pelan. Renjana yang sudah berada dalam ketegangan penuh, mengarahkan pandangannya ke pintu. Dengan gerakan cepat namun tenang, sosok yang tak terduga masuk ke dalam ruangan.
Sosok itu bergerak seperti bayangan, begitu gesit dan tak terlihat oleh Kiwi yang masih berdiri menghadap kurungan. Tanpa sempat bereaksi, saputangan menutupi sebagian wajah Kiwi, menutupi hidung dan mulutnya dengan cepat. Kiwi yang masih tidak menyadari apa yang sedang terjadi, hanya sempat mengerang pelan sebelum tubuhnya terkulai lemas dan jatuh tak sadarkan diri ke lantai.
Renjana terkejut, matanya membelalak melihat siapa yang baru saja datang. Dokter Gio berdiri dengan wajah datar, tanpa ekspresi, sambil memandangi Kiwi yang tergeletak di lantai, lalu berbalik memandangnya. Renjana samar-samar menatap tubuh Kiwi dan dokter Gio bergantian, ketika badannya melemah dan pandangannya tidak lagi fokus, dia pun ambruk terkapar di lantai dingin itu.