"Gue tahu gue salah," lanjut Ares, suaranya dipenuhi penyesalan. "Gue nggak seharusnya mengkhianati Zahra... Tapi, Han, gue juga nggak bisa bohong."
Hana menggigit bibirnya, enggan menatap Ares. "Lo sadar ini salah, kan? Kita nggak bisa kayak gini."
Ares menghela napas panjang, keningnya bertumpu di bahu Hana. "Gue tahu. Tapi jujur, gue nggak bisa... Gue nggak bisa sedetik pun nggak khawatir sama lo."
****
Hana Priscilia yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari pembunuh kekasihnya, malah terjebak oleh pesona dari polisi tampan—Ares yang kebetulan adalah tunangan sahabatnya sendiri.
Apakah Hana akan melanjutkan balas dendamnya, atau malah menjadi perusak hubungan pertunangan Zahra dan Ares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Setelah puas “menghajar” Dafa dengan buku catatan tebal yang ia kibaskan ke lengan pria itu, Zahra kembali duduk di sebelah Hana. Napasnya masih sedikit naik turun, “ngeselin banget tuh temen lo, Han. Seneng banget bikin kesel orang.”
“Temen lo kali, Ra. Lo yang lebih sering nongkrong sama dia daripada gue,” balas Hana santai, tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
Zahra mendengus pelan, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. “Ih, nyebelin banget sumpah! gue ogah deket-deket lagi sama dia. Capek hati.”
Hana hanya mengangguk samar, tak terlalu tertarik menanggapi keluhan Zahra. Tangannya terus bergerak menulis, mencoba mengejar tugas yang tertinggal selama ia sakit.
“Eh, btw,” Zahra tiba-tiba mengubah topik pembicaraan, “Sorry ya, Han. Kemarin-kemarin gue nggak sempet jengukin lo.”
“Nggak apa-apa, santai aja. Gue ngerti kok lo sibuk.”
“Tapi tetep aja, gue merasa nggak enak,” Zahra menunduk sedikit, memainkan ujung pashminanya dengan jari. “Lo kan sahabat gue. Harusnya gue lebih perhatian.”
Hana berhenti menulis sejenak, menoleh pada Zahra sambil tersenyum kecil. “Ra,” ia menepuk pelan tangan Zahra, membuat gadis itu mengangkat wajah. “Beneran, nggak perlu merasa bersalah. Gue udah baik-baik aja sekarang, kan? Lagian, lo udah cukup banyak bantuin gue. Nih aja, tugas lo gue salin.”
“Ya udah, kalau gitu habis ini gue traktir lo makan deh. Biar lo tambah sehat.”
“Deal,” jawab Hana cepat, membuat Zahra terkekeh.
"Eh, Han. Coba pilihin dong, bagus yang ini atau yang ini?" Zahra mendekatkan ponselnya ke Hana, memperlihatkan dua foto baju dari marketplace dengan semangat. “Malam ini gue mau makan malam sama Mas Ares,” lanjutnya dengan mata berbinar, senyumnya tak bisa disembunyikan.
Hana yang sedang sibuk menyalin catatan, terpaksa mengalihkan perhatiannya ke ponsel Zahra. Tapi begitu mendengar nama *Ares*, tangannya berhenti menulis, dan pandangannya beralih pada gadis cantik di depannya.
Senyum Hana sedikit kaku, dan sudut bibirnya berkedut halus. Ada sesuatu di dalam dadanya yang mendadak terasa mengganjal, berat, meski ia tak tahu pasti apa itu. Namun, satu hal yang jelas: kabar bahagia dari Zahra barusan terasa seperti tamparan kecil baginya.
“Oh,” gumam Hana pelan, mencoba menguasai ekspresi wajahnya. Ia berpura-pura memperhatikan kedua foto di layar ponsel Zahra. “Yang ini aja,” tunjuknya asal pada salah satu baju.
Zahra menatap pilihan Hana dengan senyum lebar. “Beneran? Gue juga suka yang ini. Aduh, thanks, Han! Lo emang selalu tau apa yang cocok buat gue.”
Hana hanya mengangguk pelan, tak mampu mengatakan lebih dari itu. Tangannya kembali bergerak menulis, tapi pikirannya mendadak terasa berat.
“Gue harus buru-buru check out sebelum kehabisan,” Zahra bergumam, kembali sibuk dengan ponselnya. Sementara itu, Hana hanya bisa diam, menunduk, dan pura-pura fokus pada catatannya.
***
"Sukses ya buat makan malamnya nanti." Kata Hana saat jam mata kuliah hari ini berakhir.
"Thanks, Han! Besok gue bakal ceritain deh gimana serunya," balas Zahra antusias.
Hana mencoba tersenyum mendengarnya.
"Oiyah, ini buku catatan gue lo bawa aja dulu. Lo pasti butuh buat ngejar pelajaran kemaren."
"Thanks, Ra." Hana menerima buku itu dengan senang hati.
"Lo sahabat gue, nggak usah sungkan gitu, ah. Btw gue duluan ya, mau nyalon dan shopping dulu."
"Iya, dandan yang cantik."
"Tentu, gue bakalan bikin Mas Ares jatuh cinta, lagi dan lagi sama gue." Ujar Zahra sambil tersenyum lebar lalu melambai dan berjalan pergi dengan langkah riang.
Sedangkan Hana tetap berdiri di tempatnya, memandangi punggung Zahra yang menjauh. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Lo emang sahabat terbaik gue, Ra.” gumam Hana pelan, lebih pada dirinya sendiri, mencoba mengingatkan hati yang mulai memberontak.
“Kenapa bengong? Masih nggak enak badan?” suara Yuna tiba-tiba memecah lamunannya.
“Enggak kok,” jawabnya singkat sambil menggandeng lengan Yuna. “Ayo balik.”
“Ck, ngopi dulu lah, cuy. Masa mau balik gitu aja sih,” protes Yuna, berhenti sejenak sambil menatap Hana penuh harap.
Hana menghela napas. “Gue lagi nggak mau ngopi, Yuna.”
“Gue bayarin, please… temenin gue ngopi.” Pinta Yuna memelas, memasang wajah mengiba yang sulit ditolak.
“Sama Dafa aja sih?”
“Nggak rame kalau nggak ada lo, Hanhan,” sahut Dafa yang entah sejak kapan sudah muncul di sebelah mereka. Pria itu langsung gelendotan manja di lengan Yuna, ikut menimpali.
“Iya-iya,” Hana akhirnya menyerah, merasa tak ada gunanya melawan keinginan kedua sahabatnya itu. Lagipula, mungkin ini bisa jadi semacam *healing* kecil untuk mengalihkan pikirannya.
***
Akhirnya, ketiganya sampai di kafe kecil dekat kampus yang sering mereka datangi. Dafa dengan sigap menuju konter untuk memesan minuman serta makanan kesukaan mereka, seolah sudah hafal di luar kepala. Sementara itu, Yuna langsung sibuk dengan ponselnya, asyik bermain game online tanpa peduli sekitar.
Hana duduk di sudut meja, menatap ke luar jendela kafe yang mengarah ke jalan kecil.
“Han, jangan bengong mulu, entar kesambet lo.” tegur Dafa yang sudah kembali dengan nampan penuh makanan. Ia meletakkannya di meja, lalu menyerahkan segelas capucino dingin kepada Hana. “Nih, biar otak lo nggak panas.”
Hana hanya tersenyum kecil sambil menerima gelas itu. “Thanks, Fa.”
“Ada masalah apa sih?” tanya Dafa sambil menyedot frappuccino-nya dengan gaya sok cool. "Kangen cowok lo? Udah deh Han, move on. Cowok disini banyak loh, siapa tahu di sini ada jodoh lo."
"Apa sih, nggak nyambung banget lo Fa."
"Emang," timpal Yuna tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel.
“Eh Yu, lo ngapain ikut-ikutan? Gue nggak lagi ngomong sama lo ya."
"Suka-suka gue lah."
"Anying nih bocah," Dafa yang kesal tiba-tiba merebut ponsel Yuna.
"Balikin Fa, gue tonjok lo."
"Lo ngajakin kita kesini cuma buat nyari wifi gratisan buat main game, suek banget loh!" omel Dafa sambil melotot ke arah Yuna.
"Ya udah sih, lagian gue nanti bakalan ganti uang lo, Fa," jawab Yuna santai, menatapnya sekilas dengan ekspresi tak peduli.
"Kapan?"
Yuna berhasil mengambil ponselnya kembali dari tangan Dafa yang nggak fokus. "Kalau gue punya duit." ledeknya dengan senyum penuh kemenangan.
"Suek lo!" seru Dafa kesal. Ia menunjuk Yuna dengan wajah gemas. "Gini nih, tipe-tipe cewek toxic yang kudu dijauhi!"
"Gue bakalan ganti, Dafa! Aelah, pelit amat lo cuma cepek doang, ge." Yuna mendengus dingin, lalu dengan santai meneguk minumannya, seolah tak peduli.
"Udah-udah, pusing gue dengerin kalian ribut mulu," lerai Hana sambil mengangkat tangan, mencoba menghentikan pertengkaran kecil itu.
Yuna mendelik ke arah Dafa, lalu menunjuknya dengan sumpit yang ada di tangannya. "Tuh, dengerin si Hana. Berisik lo, Fa."
"Lah, gue yang berisik? Lo kali yang mulai duluan!"
Hana hanya bisa menghela napas panjang sambil menatap kedua temannya yang masih sibuk saling meledek. Namun, sebelum ia sempat menegur mereka lagi, suasana kafe mendadak berubah. Pintu kaca yang tadinya berayun pelan kini terbuka lebar, dan sekelompok pemuda dengan jaket hitam bergambar naga merah di punggungnya masuk dengan langkah penuh percaya diri.
Sorot mata mereka tajam, membawa aura mengintimidasi yang langsung membuat pengunjung lain terdiam. Beberapa bahkan buru-buru merapikan barang mereka, bersiap meninggalkan tempat.
Hana menegang di tempatnya. Pandangannya langsung terkunci pada logo mencolok di jaket mereka. "Red Dragon," gumamnya pelan, tapi penuh emosi. Kedua tangannya mengepal erat di bawah meja, kukunya hampir menancap ke telapak tangan.
“Hah? Red Dragon?” Yuna berbisik, kebingungan. “Apaan tuh? Nama geng?”
Dafa, yang duduk di sebelahnya, ikut melirik dengan waspada. “Yaelah, mereka tuh geng motor paling nyebelin di kota ini. Gara-gara mereka, gue pernah nyaris celaka di jalan.”
Sementara itu, Hana tetap diam, rahangnya mengeras. Salah satu pemuda Red Dragon tampak mengenalinya. Ia menatap Hana dengan seringai licik, lalu berbisik pada teman-temannya.
“Lo kenal mereka?” tanya Dafa, melirik Hana dengan bingung. Tapi Hana tidak menjawab. Ia hanya mengatur napas, mencoba menenangkan dirinya. Ada masa lalu kelam yang ia tahu tak bisa ia abaikan begitu saja.
Pemuda yang tadi menatap Hana mulai melangkah mendekat, seringainya semakin lebar. “Hei, gue nggak nyangka bakal ketemu lo di sini, Hana.”
Yuna dan Dafa langsung menoleh, kaget. “Han, siapa mereka?” tanya Yuna, nadanya penuh kekhawatiran.
Namun, Hana tetap diam. Matanya tidak lepas dari pria itu. Ketegangan di antara mereka terasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Bersambung...