Di sebuah universitas yang terletak kota, ada dua mahasiswa yang datang dari latar belakang yang sangat berbeda. Andini, seorang mahasiswi jurusan psikologi yang sangat fokus pada studinya, selalu menjadi tipe orang yang cenderung menjaga jarak dari orang lain. Dia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca buku-buku tentang perilaku manusia, dan merencanakan masa depannya yang penuh dengan ambisi.
Sementara itu, Raka adalah mahasiswa jurusan bisnis. raka terkenal dengan sifatnya yang dingin dan tidak mudah bergaul, selalu membuat orang di sekitarnya merasa segan.
Kisah mereka dimulai di sebuah acara kampus yang diadakan setiap tahun, sebuah pesta malam untuk menyambut semester baru. Andini, yang awalnya hanya ingin duduk di sudut dan menikmati minuman, tanpa sengaja bertemu dengan Raka.
Yuk guys.. baca kisah tentang perjalanan cinta Andini dan Raka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 PERAYAAN KECIL.
Andini tidak pernah benar-benar berharap akan dirayakan. Baginya, kerja keras dan pencapaian adalah sesuatu yang cukup ia rayakan dalam diam, dengan secangkir kopi, playlist favorit, dan tidur lebih awal.
Tapi kali ini berbeda.
Sore itu, Andini diajak Raka ke kafe, katanya cuma mau kumpul santai. Ia menurut, tidak ada curiga kenapa Raka tiba-tiba ngajak nongkrong bersama para sahabatnya, karena biasa juga sering nongkrong bareng.
Saat pintu kafe di buka
"SELAMAAAT, DINDIN!!!"
Nana muncul dari balik pintu sambil membawa cupcake berhiaskan huruf-huruf kecil. " Kamu hebat ". Sofi berdiri di belakangnya dengan balon-balon kecil yang membentuk angka "100" — sebagai simbol semangat dan kesempurnaan versi mereka.
Denis dan Irfan, seperti biasa, udah standby dengan gitar dan sound kecil. Mereka mulai menyanyikan lagu yang diubah liriknya khusus untuk Andini. sedikit fals, tapi penuh cinta.
Raka menggenggam tangan Andini, lalu menyerahkan satu kotak kecil.
"Bukan hadiah mewah. Cuma catatan kecil tentang setiap langkah kamu selama ini, yang mungkin kamu lupa, tapi aku ingat semuanya."
Andini membuka kotak itu. Di dalamnya, ada puluhan kertas kecil, masing-masing bertuliskan momen-momen perjuangan.
"3 Maret: Kamu nangis karena ada senior yang tidak menyukaimu "
"10 April: Kamu bilang mau menyerah. karena senior selalu mengganggu dan memberikan pekerjaan di luar nalar "
" 18 April: kamu di hujat sana sini, bahkan banyak rumor yang ingin menjatuhkan kamu "
"21 Mei: Kamu berhasil membuktikan jika kamu layak berada di antara mereka, karena kamu sudah membuktikan jika ingin pencapaian itu butuh otak."
Air mata Andini menetes, tapi bibirnya tersenyum lebar.
"Terima kasih. Kalian semua... perjalanan ku memang seperti biang lala. Tapi aku beruntung punya kalian."
" Sekarang semuanya sudah beres, teruslah berjalan sesuai keinginan kamu, Andini. aku dan yang lain akan selalu ada dan selalu mendukung kamu "
Untung kafe terlalu ramai, hanya beberapa meja terisi, musik akustik mengalun pelan di latar, cukup untuk menemani obrolan ringan dan tawa yang mengalir.
Di pojok kafe, satu meja panjang Di sanalah mereka berkumpul malam itu makan malam kecil untuk merayakan keberhasilan Andini. Hanya baru ada makanan favorit, segelas es krim, jus dan mereka juga sedang menunggu pesanan makanan dari restoran luar.
Andini duduk di tengah, diapit Raka dan Sofi. Nana sibuk memotret makanan mereka, Denis dan Irfan debat kecil soal makanan.
Raka menyentuh lengan Andini pelan “Malam ini buat kamu. aku sudah memerankan makanan kesukaan kamu ”
Andini tertawa, matanya berbinar. “Terimakasih Raka ”
Makanan datang, pizza tipis kesukaan Nana, pasta pedas yang selalu dipesan Irfan, dan nasi goreng spesial yang jadi favorit bersama dan jangan lupa Seafood spesial khusus untuk Andini.
Tawa mereka mewarnai meja itu, menyisip di antara suapan dan cerita-cerita lucu masa lalu. Sofi yang pernah jatuh dari motor karena ngantuk, Denis yang ketahuan curhat ke dosen pembimbing lewat email typo, dan momen saat Andini hampir menyerah tapi ditelpon Raka tengah malam hanya untuk dibilang,
“Tidur dulu, besok baru galau lagi.”
Malam itu tidak mewah. Tapi terasa mahal.
Saat kafe mulai sepi dan lagu terakhir mengalun pelan, mereka duduk lebih dekat, lebih diam, menikmati sisa malam, memotret momen dalam ingatan.
Satu meja, enam cerita. Dan satu malam yang akan mereka kenang lama.