Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Wanita murahan
Langkah kaki Raline semakin cepat saat ia menjauh dari gedung apartemen. Sesekali, ia menoleh ke belakang, memastikan Harry tidak mengikutinya atau bahkan melihat kepergiannya dengan curiga. Setelah yakin bahwa tunangannya itu tidak ada di sekitar, ia menghela napas lega dan melanjutkan langkahnya ke ujung pertigaan, tempat Calvin sudah menunggu di dalam mobilnya yang terparkir di sana.
Sesampainya di depan mobil, Raline mengetuk kaca jendela dengan pelan. Tak butuh waktu lama, kaca itu turun, memperlihatkan wajah Calvin yang tampak tegang.
"Pagi, Daddy!" sapa Raline dengan senyum ceria, seolah tak terjadi apa-apa.
Calvin hanya mengangguk kecil tanpa membalas senyumannya. Raline bisa melihat dengan jelas sorot mata pria itu yang penuh dengan pikiran.
"Boleh aku masuk?" tanya Raline dengan nada manja.
Calvin diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan membuka kunci pintu mobil. Begitu masuk, Raline langsung menutup pintu, menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan nyaman.
"Maaf, Daddy!" ucapnya dengan nada lembut sambil melirik Calvin.
Pria paruh baya itu tetap diam, kedua tangannya menggenggam kemudi dengan erat. Raline menyadari wajah Calvin masih menegang, rahangnya mengeras, menandakan bahwa pria itu sedang menahan emosi.
Merasa suasana terlalu serius, Raline mencoba mencairkannya dengan nada menggoda. Ia mendekat sedikit, menempelkan kepalanya ke bahu Calvin sambil tersenyum kecil.
"Aku benar-benar nggak tahu kalau tunanganku itu ternyata anak Daddy sendiri," bisiknya, nada suaranya terdengar seperti anak kecil yang mencoba merayu agar tidak dimarahi.
Calvin akhirnya menghela napas panjang. "Aku juga nggak menyangka ini akan terjadi…" gumamnya.
Raline menatap pria itu lekat-lekat. "Kita harus bagaimana sekarang?" tanyanya pelan.
Calvin tidak langsung menjawab. Ia menatap lurus ke depan, pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ia tahu hubungan mereka tidak seharusnya terjadi. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa memungkiri perasaannya terhadap Raline. Gadis itu telah menjadi bagian dari kehidupannya dalam cara yang tidak bisa ia jelaskan.
"Aku…" Calvin mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku tidak bisa kehilanganmu, Raline."
Raline tersenyum tipis. Ia sudah tahu itu. Meski Calvin selalu mencoba bersikap tegas dan berwibawa, pada akhirnya pria itu tidak bisa menolak pesonanya.
"Tapi bagaimana kalau Harry tahu?" lanjut Calvin, kini suaranya lebih pelan, penuh kekhawatiran.
Raline terdiam sejenak sebelum akhirnya menyentuh tangan Calvin yang berada di atas pahanya. "Dia nggak akan tahu… selama kita bisa menjaga semuanya tetap rapi."
Calvin menatap Raline dengan keraguan. "Apa kamu yakin bisa?"
Raline tersenyum penuh keyakinan. "Tentu saja. Aku sudah terbiasa dengan permainan seperti ini."
Calvin menatap gadis itu dengan sorot mata yang sulit ditebak. Raline tahu betul bahwa pria itu sedang berada dalam dilema besar. Namun, ia juga tahu bahwa Calvin tidak akan meninggalkannya begitu saja.
Setelah beberapa saat terdiam, Calvin akhirnya menghela napas panjang lagi. "Baiklah…" katanya pelan.
Raline tersenyum puas. Ia lalu melepaskan pegangan tangannya dan bersiap untuk pergi. "Aku harus ke kampus sekarang, Daddy," katanya sambil membuka pintu mobil.
Calvin hanya mengangguk pelan, masih dengan ekspresi penuh kebingungan. Raline pun turun dari mobil dan menutup pintunya perlahan, sebelum akhirnya berjalan menuju mobilnya sendiri yang terparkir tak jauh dari sana.
÷÷÷
Raline hampir sampai di mobilnya sendiri ketika tiba-tiba sebuah tangan kuat menarik lengannya dari belakang. Ia terkejut, bahkan sempat hampir kehilangan keseimbangan sebelum akhirnya merasakan sesuatu yang hangat menempel di bibirnya.
Calvin.
Pria itu mencium bibirnya tanpa peringatan, tanpa peduli apakah ada orang yang melihat atau tidak. Sentuhannya begitu mendominasi, penuh gairah, seakan ingin menegaskan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Raline sempat terkejut, tapi detik berikutnya ia malah tenggelam dalam ciuman itu. Ia bisa merasakan betapa Calvin menginginkannya—lebih dari yang bisa ia bayangkan.
Saat akhirnya pria itu melepaskan ciumannya, napas mereka berdua sudah memburu. Raline menatap Calvin dengan mata berbinar, sementara pria itu menatapnya dengan intens, seolah tidak ingin melepaskannya begitu saja.
"Pergi bersamaku," ujar Calvin tiba-tiba, nadanya lebih terdengar seperti perintah daripada permintaan.
Raline mengerjapkan matanya, masih berusaha mencerna kata-kata Calvin. "Tapi—"
"Aku yang akan mengantarmu ke kampus," potong Calvin tegas.
Raline menghela napas, sedikit ragu. Tapi melihat tatapan pria itu yang penuh ketegasan, ia tahu bahwa menolak hanya akan membuat Calvin semakin mendesaknya.
"Baiklah…" akhirnya Raline mengalah dan mengikuti Calvin kembali ke mobilnya.
Begitu mereka masuk ke dalam, Calvin segera menyalakan mesin dan melajukan mobilnya ke arah kampus Raline. Suasana di dalam mobil terasa sunyi sejenak, hanya ada suara AC yang berhembus pelan dan deru mesin yang berjalan stabil. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama.
Tanpa peringatan, tangan Calvin bergerak ke arah paha Raline, mengusapnya dengan lembut sebelum mulai bergerak naik.
Raline menahan napas, menoleh ke arah pria itu dengan ekspresi penuh tanya. "Daddy…" bisiknya, setengah memperingatkan.
Calvin tersenyum tipis, matanya tetap fokus ke jalan. "Aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja, Raline."
Gadis itu menggigit bibirnya, merasakan bagaimana tangan Calvin terus bergerak di tubuhnya. Ia tahu pria ini menginginkannya, tapi ia tidak menyangka bahwa perasaan itu begitu besar hingga Calvin berani mengambil risiko sebesar ini.
"Aku akan terus memperjuangkanmu," lanjut Calvin, suaranya terdengar mantap. "Aku tidak peduli dengan Harry, aku tidak peduli dengan apa pun. Yang aku inginkan hanya kamu."
Raline mengerjapkan matanya, hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia tahu Calvin benar-benar serius dengan ucapannya.
"Lebih baik kamu putus saja dari Harry!" ujar Calvin kemudian, kali ini suaranya lebih dalam, lebih menuntut.
Raline tersentak. "Apa?"
Calvin menoleh sekilas, tatapannya tajam. "Kamu dengar apa yang aku bilang. Aku ingin kamu putus dari Harry. Dia tidak pantas untukmu."
Raline terdiam, pikirannya berkecamuk. Ia tahu ini tidak akan mudah, tapi di dalam hatinya, ada bagian kecil yang mengatakan bahwa mungkin Calvin benar…
÷÷÷
Begitu Raline melangkah turun dari mobil mewah milik Calvin, suasana kampus yang tadinya biasa saja langsung berubah menjadi penuh bisik-bisik.
Sejumlah mahasiswa menoleh ke arah mereka dengan ekspresi penasaran, beberapa bahkan tampak berbisik satu sama lain. Tak sedikit yang langsung mengeluarkan ponsel mereka, mungkin untuk mengambil foto atau merekam momen langka ini.
"Eh, itu Raline, kan?" bisik salah satu mahasiswi kepada temannya.
"Iya! Kenapa dia bisa turun dari mobilnya Pak Calvin?" balas temannya dengan suara rendah, meski jelas penuh rasa ingin tahu.
"Jangan-jangan dia punya hubungan spesial dengan Pak Calvin?"
"Tapi bukannya Pak Calvin itu terkenal dingin dan gak suka dekat-dekat sama mahasiswanya?"
Bisikan demi bisikan semakin banyak terdengar, membuat Raline mulai merasa tidak nyaman. Namun, ia berusaha bersikap tenang dan tetap berjalan seperti biasa.
Sementara itu, Calvin yang masih berada di dalam mobil menatap tajam ke arah para mahasiswa yang mulai bergosip. Tatapannya dingin, penuh peringatan. Dalam sekejap, sebagian dari mereka langsung terdiam dan pura-pura tidak melihat apa pun.
Raline menyadari tatapan tajam Calvin yang sukses meredam gosip-gosip itu, tapi ia tetap merasa canggung. Ia tidak ingin menciptakan masalah atau menjadi pusat perhatian lebih lama. Maka, setelah berpamitan secara singkat kepada Calvin, ia segera melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Namun, bukannya merasa lebih tenang, Raline justru menghadapi masalah lain saat berjalan menuju gedung fakultasnya.
Beberapa pria yang berdiri di sudut kampus mulai mendekatinya dengan tatapan meremehkan. Mereka adalah mahasiswa yang terkenal sering bermain-main dengan perempuan. Salah satu dari mereka, seorang pria tinggi dengan jaket kulit, mendekati Raline dengan senyum sinis.
"Eh, nggak nyangka ya, ternyata kamu spesial juga sampai bisa naik mobil Pak Calvin," ucap pria itu, suaranya sengaja dibuat keras agar bisa didengar oleh teman-temannya.
Raline menghentikan langkahnya, menatap pria itu dengan tajam. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan nada datar.
Pria lain yang berdiri di belakangnya tertawa kecil. "Udah nggak usah sok polos, Raline. Kita semua tahu Pak Calvin itu gak pernah dekat sama mahasiswa, apalagi nganterin mereka ke kampus kayak gini."
"Jadi, berapa tarifnya?" tiba-tiba salah satu dari mereka berkata dengan nada meledek.
Raline terkejut. "Apa?!"
Pria yang mengenakan jaket kulit itu menyeringai. "Santai, aku cuma mau tahu… kalau Pak Calvin bisa dapatin kamu, mungkin kita juga bisa, kan? Siapa tahu kamu bisa kasih harga spesial buat kami juga."
Tawa kasar terdengar dari kelompok itu, membuat darah Raline mendidih.
Matanya berkilat marah. "Kalian pikir aku ini apa?!" serunya tajam.
Pria itu mendekatkan wajahnya dengan ekspresi licik. "Wanita murahan, kan?"
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah pria itu. Semua orang yang berada di sekitar mereka langsung menoleh, terkejut melihat Raline yang wajahnya memerah karena marah.
"Aku bukan wanita murahan!" katanya tegas.
Pria yang ditamparnya itu mendengus, sementara teman-temannya mulai mundur, tampak sedikit waspada karena melihat kemarahan Raline. Namun, sebelum pria itu sempat membalas, tiba-tiba suara berat menggema di belakang mereka.
"Ada masalah apa di sini?"
Raline menoleh dan mendapati Calvin berdiri di sana dengan ekspresi dingin dan tajam. Wajahnya gelap, menunjukkan ketidaksenangan yang jelas.
Seketika, pria-pria itu terlihat pucat.