Shanna Viarsa Darmawan melakukan kesalahan besar dengan menyerahkan kehormatannya pada Rivan Andrea Wiratama. Kepercayaannya yang begitu besar setelah tiga tahun berpacaran berakhir dengan pengkhianatan. Rivan meninggalkannya begitu saja, memaksa Shanna menanggung segalanya seorang diri. Namun, di balik luka itu, takdir justru mempertemukannya dengan Damian Alexander Wiratama—paman Rivan, adik kandung dari ibu Rivan, Mega Wiratama.
Di tengah keputusasaan, Damian menjadi satu-satunya harapan Shanna untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi apa yang akan ia temui? Uluran tangan, atau justru penolakan yang semakin menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesuai Harapan
Damian memasukkan kunci ke pintu apartemen dan membukanya tanpa mengetuk. Begitu masuk, aroma kopi yang hangat langsung menyambutnya.
"Kalian sedang sarapan?" tanyanya, membuat Shanna dan Willy tersentak kaget.
Willy mendengus. "Lo ngomongin etika ke gue, tapi lo sendiri nyelonong masuk gini?"
Damian menaikkan alis. "Ini apartemen gue, kan? Atau lo mau gaji lo gue potong buat bayar sewa tiap bulan ke gue?"
"Eits, nggak gitu, Bos! Hahaha." Willy terkekeh, lalu berdiri sambil membawa secangkir kopi yang baru saja diseduhnya. "Gue udah selesai sarapan, kalau kalian mau ngobrol, silakan." Ia menarik diri, meninggalkan mereka berdua.
Damian membiarkan Shanna menyelesaikan makannya lebih dulu. Ia sendiri memilih duduk di ruang santai, menyalakan televisi tanpa benar-benar menonton.
"Om sudah makan?" tanya Shanna dari meja makan, ragu-ragu.
"Belum," jawab Damian singkat.
"Mau saya masakkan sesuatu?"
"Nggak usah."
"Oh, oke."
Damian menoleh sekilas. "Kalau sudah selesai, ke sini."
Shanna mengangguk pelan. Namun, hatinya mulai gelisah. Inilah momen yang ia tunggu, tetapi kini, ketika saatnya tiba, dadanya terasa sesak oleh ketidakpastian.
Shanna menarik napas dalam sebelum akhirnya berdiri dan melangkah menuju ruang santai. Damian masih duduk di sofa, tampak santai, tapi ekspresinya sulit ditebak.
"Silakan duduk," ujar Damian tanpa menoleh.
Shanna menurut, duduk di seberang pria itu dengan perasaan yang tak menentu.
"Kamu sudah berpikir matang soal ini?" tanya Damian akhirnya, menatap Shanna dengan tajam.
"Tentu, Om. Saya tidak punya pilihan lain," jawab Shanna mantap.
Damian menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatapnya lekat. "Apa yang akan kamu lakukan kalau saya menolak permintaanmu?"
Shanna terdiam sesaat sebelum berbisik, "Entahlah, Om. Saya tidak berpikir sejauh itu. Mungkin saya akan mati."
Damian menyipitkan mata. "Mudah sekali kamu mengucapkannya."
"Hidup pun rasanya percuma, Om," lanjut Shanna lirih. "Saya akan dihantui rasa bersalah karena menggugurkan bayi ini." Matanya mulai berkaca-kaca. "Jadi lebih baik kami berdua menghilang."
"Kamu masih muda, Shanna. Pikiran seperti itu terlalu bodoh," ujar Damian datar. "Masa depanmu masih panjang."
"Om pikir saya bisa hidup tenang?" Suaranya bergetar. "Tidak, Om. Saya justru bisa gila."
Damian menghela napas panjang. "Hmm… baiklah, Shanna."
Shanna menatapnya dengan harapan.
"Kalau saya mengikuti permintaanmu, berarti saya harus mengakui bayi itu sebagai anak saya?" tanyanya, memastikan.
"Ya, Om. Anak ini perlu status yang jelas."
Damian terdiam sejenak sebelum berucap, "Saya harus memberikan status, nama belakang saya. Meski bagaimanapun, dia juga bagian dari Wiratama."
Shanna mengangguk. Permintaannya memang terasa tidak tahu diri, tapi ia tidak punya pilihan lain.
"Kamu yakin? Apa pun risikonya?"
"Saya yakin, Om," jawab Shanna mantap.
Damian mengamati wajahnya dalam-dalam, lalu menyunggingkan senyum dingin.
"Saya ada beberapa syarat," katanya akhirnya.
Shanna menegang. Namun, bagi Shanna, ucapan itu terdengar seperti persetujuan.
"Saya bisa menikahimu," Damian melanjutkan, "tapi sejak hari pernikahan kita, tidak ada lagi nama Rivan dalam hidupmu. Bagaimanapun, dia keponakan saya, dan saya tidak ingin berbagi wanita yang sama dengannya."
Shanna menggigit bibirnya. Hatinyanya mencelos.
"Saya akan mengakui bayi dalam kandunganmu. Saya akan memberinya status, nama, dan bahkan memasukkannya dalam daftar pewaris harta saya nantinya. Tapi tidak seujung kuku pun Rivan boleh mengklaim anak itu sebagai anaknya. Dan kamu pun, Shanna, tidak boleh mengungkapkan identitas aslinya. Dia hanya boleh tahu bahwa saya ayahnya."
Shanna menunduk. Ini terlalu berat. Perasaannya terhadap Rivan masih begitu besar. Bagaimana bisa ia benar-benar memutuskan hubungan dengan ayah kandung bayinya?
Damian memperhatikannya dengan ekspresi tanpa kompromi. "Saya tidak ingin menunggu, Shanna. Putuskan sekarang sebelum saya berubah pikiran."
Shanna termenung sesaat. Tapi ia tahu, prioritasnya bukan lagi perasaannya—melainkan kehidupan bayi itu dan dirinya sendiri.
"Baik, Om," ucapnya pelan. "Saya akan menuruti syaratnya."
"Bagus." Damian mengangguk, puas. "Selanjutnya, hanya saya yang bisa menuntut perpisahan. Kamu tidak memiliki hak untuk meminta cerai. Kamu akan terikat dengan saya, dan kamu harus menjaga nama baik saya."
Shanna menelan ludah.
"Kamu harus melepaskan seluruh latar belakangmu yang sederhana," lanjut Damian. "Saya tidak suka orang yang lambat beradaptasi. Hidupmu akan terkekang oleh banyak aturan, karena begitulah kami hidup, Shanna."
Shanna menatap Damian dengan ketakutan. Semua ini terdengar semakin menakutkan, tetapi ia tidak bisa mundur lagi.
"Sejak awal saya sudah katakan, Om. Bahkan jika Om meminta nyawa saya, maka saya akan berikan."
Damian tersenyum samar. "Baiklah. Jadi kamu tidak keberatan dengan apa pun yang saya minta?"
Shanna menggeleng.
"Kalau begitu, kita buat surat perjanjian," kata Damian dingin. "Saya tetap perlu jaminan dari setiap ucapanmu, Shanna."
Shanna menggigit bibirnya, menahan gejolak di dadanya. Surat perjanjian? Ia sudah menduga Damian tidak akan mudah percaya, tapi mendengar permintaan itu langsung dari mulut pria itu membuatnya semakin yakin—ini bukan sekadar pernikahan demi menyelamatkan anaknya. Ini adalah perangkap.
Namun, bukankah ia sudah menyerahkan dirinya sepenuhnya?
"Baik, Om," akhirnya ia berkata dengan suara lirih. "Saya akan menandatangani apa pun yang Om minta."
Damian tersenyum tipis. "Bagus." Ia mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu dengan cepat. "Saya akan meminta pengacara untuk menyusun perjanjiannya. Begitu selesai, kita langsung tanda tangan dan menikah."
Shanna menatapnya ragu. "Secepat itu?"
Damian menatapnya tajam. "Semakin cepat, semakin baik. Atau kamu ingin ada waktu untuk berubah pikiran?"
Shanna buru-buru menggeleng. "Tidak, Om. Saya siap."
"Oke, kamu boleh kembali ke kamarmu. Saya akan mengurus sisanya."
Shanna menunduk dan berdiri. Namun, sebelum ia melangkah pergi, Damian kembali berbicara.
"Satu lagi, Shanna."
Ia berhenti, berbalik menatap pria itu.
"Mulai saat ini kamu ada di bawah pengawasan saya. Jangan coba coba melanggar ucapan mu sendiri. Karena bahkan bernafas mu pun saya akan tahu."
Shanna mengangguk pelan. "Saya mengerti, Om."
Tanpa menunggu lagi, ia melangkah menuju kamarnya. Begitu pintu tertutup, tubuhnya langsung melemas. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tahu menangis tidak akan mengubah apa pun.
Damian telah menyetujui pernikahan ini.
Namun, apakah itu benar-benar kabar baik?
Damian memanggil Willy, mereka nampak berdiskusi dengan serius. Ya ini bukan masalah kecil, Damian akan menikahi gadis yang bukan hanya tidak pernah ada dalam rencana nya apalagi hatinya. Juga Damian akan menjadikan nya sebagai Nyonya keluarga Wiratama.
"Gue rasa pilihan lo udah tepat buat saat ini, Dam," ujar Willy, menatap sahabatnya dengan ekspresi penuh pertimbangan.
Damian menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Sama kayak dia, gue juga gak punya pilihan lain. Ini satu-satunya cara biar keluarga gue berhenti ganggu Shanna dan bayinya."
Willy terkekeh kecil. "Gue gak nyangka lo punya hati sehangat itu."
Damian meliriknya tajam. "Lo kira gue apaan? Gak punya hati?"
Willy mengangkat bahu. "Setidaknya, lo bagian terbaik yang dimiliki keluarga Wiratama."
Damian tersenyum sinis. "Jangan sampai Shanna tahu gue peduli sama dia dan anaknya. Cukup dia tahu kalau pernikahan ini cuma sebatas di atas kertas."
Willy menggelengkan kepala pelan. "Lo yakin bisa terus pura-pura kayak gitu?"
"Harus," jawab Damian singkat. "Kalau gue kasih celah, dia bakal berharap lebih. Gue gak mau ada perasaan yang terlibat."
Willy menghela napas panjang. "Yaudah, terserah lo. Gue harap lo gak ke makan omongan lo sendiri Dam, siapa tau suatu saat lo yang malah berharap sama hubungan ini."
Damian tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah jendela, seakan mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan ini hanyalah bagian dari rencana, bukan karena perasaan.