Dipaksa pulang karena suatu perintah yang tak dapat diganggu gugat.
ya itulah yang saat ini terjadi padaku.
seharusnya aku masih berada dipesantren, tempat aku belajar.
tapi telfon hari itu mengagetkanku
takbisa kuelak walaupun Abah kiyai juga sedikit berat mengizinkan.
namun memang telfon ayah yang mengatas namakan mbah kakung tak dapat dibantah.
Apalagi mbah kakung sendiri guru abah yai semakin tak dapat lagi aku tuk mengelak pulang.
----------------------------------
"entah apa masalahmu yang mengakibatkan akhirnya kita berdua disini. tapi aku berharap kau tak ada niat sekali pun untuk menghalangiku menggapai cita2ku" kataku tegas. takada sama sekali raut takut yang tampak diwajahku
masabodo dengan adab kali ini. tapi rasanya benar2 membuatku ingin melenyapkan seonggok manusia didepanku ini.
" hei nona, bukankah seharusnya anda tidak boleh meninggikan suara anda kepada saya. yang nota bene sekarang telah berhak atas anda" katanya tak mau kalah dengan raut wajah yang entah lah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsa Salsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
BAB 26
‘Apakah aku serindu itu dengannya hingga semua wanita yang kutemui ditempat ini kuanggap itu adalah dia’
******
( Pov Dipta )
Sudah beberapa hari aku berada di tempat ini. Tempat yang luar biasa. Aku benar- benar berusaha untuk mengikuti semua kegiatan yang bisa aku ikuti berbarengan dengan para santri. Berusaha untuk bisa menguasai setidaknya beberapa zikir- zikir yang rutin mereka lantunkan setiap waktu.
Entah kenapa rasanya begitu damai.
Malam hari setelah semua kegiatan belajar mengajar usai bisa berkumpul dengan para pejuang ilmu. Mengobrol dan juga berbagi pengalaman. Seperti aku belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Ditambah dengan keinginan yang tiba- tiba datang untuk setidaknya berusaha sebisaku mengambil sebanyak mungkin ilmu di tempat ini selagi aku bisa.
Semakin lama aku bergaul dengan para santri senior disini aku merasa semakin tak pantas.
Tak hannya tak merasa tak pantas menerima begitu banyak nikmat dunia sedangkan tak ada rasa terima kasihku kepada sang pemilik dunia. Tapi juga rasa tak pantas kurasakan setiap kali kuingat dengannya.
Otakku kadang berbicara pasti sosok seperti merekalah yang sebenarnya menjadi sosok yang di impikannya untuk menjadi pemimpinnya, menjadi imamnya, menjadi nahkodanya. Bukan sosok sepertiku yang bahkan barang yang diharamkan oleh agama pun pernah kunikmati.
Semakin tertampar rasanya saat semakin banyak ilmu yang kuterima dari para santri senior di sini. Mereka yang sudah bisa memaknai hidup ini dengan begitu indah. Dengan penuh rasa cinta pada Tuhan dan juga para utusannya. Orang- orang yang sangat menghormati guru- gurunya melebihi apa pun. Karena mereka sadar bahwa mereka tak bisa mendapatkan begitu banyak ilmu tanpa adanya sosok guru.
Aku tak pernah tak takjub setiap kali melihat mereka begitu ta’dhim kepada guru mereka. Sebuah hal yang sudah sangat langka kutemui di kota metropolitan itu. Bahkan di luaran sana banyak sekali yang merasa sombong dengan segala gelar yang mereka punya. Dengan segala jabatan yang mereka punya. Tanpa sekali pun mereka menengok dan merenung kalau bukan dengan campur tangan guru mau jadi apa mereka ini.
Yah, sudah beberapa hari aku lebih sering menghabiskan waktuku dengan kang Ridwan yang notabene adalah orang pertama yang kukenal di tempat ini pun juga orang yang menjadi penanggung jawab kami selama disini. Berkumpul di sela- sela kegiatan pondok bersama banyak orang. Mungkin sepertinya hanya aku yang seperti ini di bandingkan dengan para aktor dan juga crew yang lain.
“Kang Ridwan”. Suara teriakan cempreng khas anak- anak membuat kami semua terdiam sesaat. Sedangkan sang objek sudah menjawab dengan begitu halus panggilan gadis kecil nan cantik itu.
“Neng Nesya kalian sinten?”. Tanya kang Ridwan kepada si gadis kecil ini dengan tutur kata yang begitu halus.
“Sama mbak Aliya”. Jawab gadis kecil itu yang kutahu bernama neng Nesya.
Deg.
Kenapa jantungku serasa berhenti berdetak. Padahal hanya namanya saja yang terucap. Pun lagi pasti di negeri ini nama itu dimiliki oleh ribuan orang. Mulai dari emak- emak hingga bayi merah. Tapi kenapa perasaanku begitu berharap kalau itu adalah dia.
Kuedarkan penglihatanku sejelas yang kubisa. Tak ada orang yang melewati tempat ini sedari tadi kami disini.
Tapi ternyata mata ini melihat sebuah bayangan. Apa aku sudah berada ditahap berhalusinasi. Kenapa setiap orang yang kulihat berpenampilan mirip dengannya kuanggap itu dia.
Di ujung lorong itu kulihat siluet dirinya. Persisi sama seperti apa yang ada di dalam ingatanku tentangnya. Apa ini hanya fatamorgana saja.
Sosok yang sedang berlari kecil mengejar balita yang juga sudah berlari didepannya. Sungguh pemandangan yang sama sekali tak kurasa membuatku terpana.
“Tapi mbak Aliyanya sama dek Musa terus. Jadinya aku gak ada yang nemenin”. Adu gadis kecil itu pada kang Ridwan.
Fokusku kembali setelah kedua sosok yang telah mengambil atensiku itu benar- benar telah lenyap berbelok arah. Memasuki gerbang yang tak dapat kumasuki karena itu area khusus santri putri.
“Lah kan nanti kalo do pondok banyak mbak- mbak. Bisa diajak main”. Kata salah satu santri.
“Kata umma gak boleh ganggu mbak- mbak kalo lagi belajar. Nanti mbaknya marah. Kayak Nesya kalo lagi belajar digangguin sama dek Musa Nesya marah sama dek Musa”. Jawab neng Nesya yang dimataku begitu menggemaskan. Didikan yang begitu baik dari kedua orang tuanya.
Pada akhirnya kita malahan mendengarkan gadis kecil ini berceloteh sesukanya. Dengan ditambah pertanyaan- pertanyaan yang dilontarkan oleh orang- orang disini yang membuat celotehan ini seperti tak ada ujung. Tapi entah rasanya begitu menyenangkan hanya sekedar ngobrol ringan dengan seorang bocah yang kuyakin betul kalau dia masih berada dibangku taman kanak- kanak.
Entah sudah berapa lama kita berada di sat seperti ini. Tapi obrolan random ini berhenti saat suara gerbang yang dibuka terdengar jelas. Membuat atensi kita semua yang berada di tempat ini teralihkan seutuhnya
.
“Mbak Aliya itu loh neng”. Celetuk kang Ridwan kepada si gadis kecil ini.
Tatapan mataku melebar seutuhnya saat sosok wanita yang memiliki nama yang sama dengannya itu keluar dali balik gerbang yang terbuka.
‘Oh Tuhan apakah itu benar- benar dirinya. Apakah ini masih halusinasiku yang kesekian kali di tempat ini. Ya Tuhan jangan hukum aku dengan perasan bersalah sebegitu besar’.
kalo siang ada jadwal yang lebih penting.
makasih ya dukungannya🙏🙏🫶🫶